Senin, 18 Januari 2010

MOBIL DINAS DAN 11 JUTA RAKYAT MISKIN

Terbit di TRIBUN JABAR, Hal 20, Tribun Forum, Referat, Edisi 4 Januari 2010.

Eksekutif dan legislatif Pemerintah Provinsi Jawa Barat akhirnya sepakat untuk menganggarkan pengadaan mobil dinas bagi Anggota DPRD Jabar senilai Rp 20 miliar dalam APBD tahun 2010. Dalam waktu yang bersamaan, secara diam-diam Pemerintah Kota (pemkot) Bandung juga mengalokasikan dana sebesar Rp 5 miliar dalam RAPBD 2010 untuk membeli 40 mobil dinas baru yang diperuntukan bagi pejabat eselon II.
Anggota DPRD Jabar dan pejabat eselon II di Pemkot Bandung rupanya tidak mau ketinggalan dengan para menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang sudah menikmati mobil Toyota Crown Royal Saloon senilai Rp 1,3 milyar sebagai kendaraan dinasnya. Dengan dalih yang sama bahwa pengadaan mobil dinas baru tersebut adalah untuk meningkatkan kinerja mereka.
Meski sempat diwarnai kontroversi dan reaksi dari elit partai yang menolak pengadaan mobil dinas bagi Anggota DPRD Jabar, tetap saja rencana itu kemungkinan akan berjalan mulus. Reaksi dan kontroversi itu hanya angin lalu. Yang jelas, sesaat lagi seluruh anggota DPRD Jabar kecuali unsur Pimpinan DPRD akan segera menikmati mobil dinas baru. Pemerintah Provinsi Jawa Barat rencananya akan memberikan pola pinjam pakai mobil dinas tersebut kepada 95 orang Anggota DPRD Jabar.
Begitupun dengan 26 camat di Kota Bandung rupanya akan segera menikmati mobil Toyota Avanza, delapan kepala seksi di Setda Kota Bandung akan menikmati mobil Toyota Rush, tiga asisten daerah akan menikmati mobil Toyota Vios dan tiga mobil Toyota Innova akan dinikmati oleh dua SOTK baru dan Ketua Korpri.
Jika kita melihat, tradisi membeli mobil dinas baru selalu terjadi pada setiap awal masa jabatan pemerintahan, baik itu menteri, anggota DPR/DPD, anggota DPRD provinsi atau kabupaten/kota dan juga pejabat pemerintahan lainnya yang meliputi gubernur, bupati/wali kota dan pejabat setingkat eselon. Memang pengadaan mobil dinas tersebut bukan sesuatu hal yang diharamkan, akan tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan APBD dan skala prioritas penggunaan anggaran daerah terutama untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Apalah artinya tindakan elit partai politik di DPRD Jabar yang memanggil anggotanya untuk dimintai keterangan terkait dengan lolosnya anggaran pengadaan mobil dinas senilai Rp 20 miliar. Semua itu sudah terlambat karena APBD 2010 sudah diketuk palu. Jika mereka serius, kenapa tindakan itu tidak dilakukan sejak awal proses pembahasan. Jangan mencoba membodohi rakyat, karena tindakan itu hanya tindakan akal-akalan saja. Mencoba cuci tangan. Seolah bersih dan peduli pada nasib serta kepentingan rakyat.
Pengadaan mobil dinas tersebut sangat melukai hati rakyat. Anggota DPRD Jabar, misalnya, ternyata mereka tidak peka dengan kondisi masyarakat Jawa Barat yang masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Sebagai wakil rakyat seyogyanya lebih mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang mementingkan kepentingan dirinya. Pengadaan mobil dinas tersebut tak lebih menunjukan sikap hedonisme yang melekat pada pejabat negara.
Anggaran Rp 20 miliar sangat cukup untuk mendongkrak kehidupan 11 juta rakyat Jawa Barat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Anggaran tersebut pun bisa dipergunakan untuk menutupi defisit alokasi anggaran pendidikan yang baru 16% dari rencana Gubernur 20%. Atau bisa digunakan untuk membuka lapangan kerja baru guna mengurangi angka pengangguran yang kian tinggi, karena janji Gubernur yang akan membuka sejuta lapangan pekerjaan hingga saat ini belum terealisasi.
Begitu juga dengan rencana Pemkot Bandung yang akan membeli 40 mobil dinas baru untuk pejabat eselon II yang menyedot uang rakyat sebesar Rp 5 miliar, seharusnya ditinjau ulang. Uang sebesar itu akan lebih maslahat jika dialokasikan untuk memperbaiki jalan-jalan di Kota Bandung yang masih rusak parah atau memperbaiki saluran/drainase air yang selalu mengakibatkan banjir ‘cileuncang’ ketika turun hujan.
Hal yang paling dikhawatirkan dan harus diperhatikan adalah jangan sampai anggaran pengadaan mobil dinas tersebut diambil dari pos belanja publik, apalagi untuk kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang menyangkut insfrastruktur utama, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Jika yang terjadi demikian, maka jelas-jelas pengadaan mobil dinas tersebut telah mengorbankan hak-hak rakyat.

Peningkatan kinerja
Pertanyaan yang kini muncul adalah apakah dengan adanya mobil dinas baru tersebut kinerja mereka akan meningkat? Justru hal inilah yang kemudian diragukan oleh banyak pihak. Tidak ada jaminan dengan adanya mobil dinas baru kinerja mereka akan meningkat. Terlebih kegiatan mereka akan banyak di kantor, kecuali kegiatan reses bagi anggota DPRD atau kunjungan dinas. Sehingga besar kemungkinan (bukan menuding) mobil dinas hanya akan digunkan untuk kepentingan pribadi di luar urusan kedinasan.
Terlebih, secara mayoritas para anggota DPRD dan pejabat setingkat eselon telah memiliki kendaraan pribadi. Jika berniat baik maka mereka bisa menggunakan fasilitas yang telah dimilikinya untuk mengabdi pada tugas negara. Adapun negara dalam hal ini adalah pemerintah daerah, dimana tempat ia bekerja, hanya memfasilitasi biaya yang keluar dalam setiap perjalanan dinas seperti akomodasi dan biaya transportasi. Dengan demikian maka pemerintah tidak akan menghambur-hamburkan anggarannya hanya untuk membeli mobil dinas baru.
Selain itu, kita patut mempertanyakan bagaimana sistem manajemen aset yang saat ini dijalankan oleh Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung. Mobil dinas untuk Anggota DPRD Jabar dan pejabat setingkat eselon di Pemkot Bandung, sudah ada dari dulu. Lantas bagaimana nasibnya kini? Apakah sudah benar-benar tidak layak pakai atau hilang dikemplang oleh pejabat lama yang enggan mengembalikannya.
Pengalaman membuktikan bahwa banyak kendaraan dinas yang berganti status menjadi kendaraan milik pribadi atau kendaraan tersebut tidak kembali kepada posnya karena digelapkan oleh pejabat lama. Kondisi ini harus segera diakhiri dengan tata kelola manajemen aset yang benar, kondisi ini akan merugikan anggaran daerah karena setiap tahun harus membeli mobil dinas baru, akhirnya anggaran untuk rakyat yang akan dikorbankan.
Mekanisme pemeliharaan dan pengembalian mobil dinas tersebut harus diatur dengan tegas sehingga bisa terukur seberapa lama kekuatan daya pakainya dan kapan mobil dinas tersebut harus dikembalikan. Kekhawatiran mobil dinas yang tidak terawat dan terpelihara secara baik serta tidak dikembalikan oleh pemakainya ketika habis masa kerjanya, akan terus terjadi jika manajemen aset yang dijalankan tidak benar, sehingga setiap tahun harus membeli mobil dinas baru yang menyedot anggaran miliaran rupiah.
Meski demikian, kita masih pantas menaruh harapan kepada Anggota DPRD Jabar yang mayoritas wajah baru dan pejabat eselon II Pemkot Bandung agar terpacu kinerjanya dalam mengemban amanat dan memenuhi kepentingan rakyat. Kita akan sama-sama menunggu peningkatan kinerja itu. (*)

KOKON DARMAWAN
Alumnus FIKOM UNPAD,
Bergiat di HKTI Jawa Barat

Rabu, 30 Desember 2009

DPD Dukung Moratorium

Rabu, 30 Desember 2009 | 03:16 WIB

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah mendukung upaya moratorium pemekaran daerah. DPD juga mendukung pemerintah yang sudah tidak lagi mengajukan usulan rancangan undang-undang pembentukan provinsi/kabupaten/ kota dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014 dan RUU Prioritas 2010.

Posisi politik itu disampaikan Ketua DPD Irman Gusman (Sumatera Barat) saat menyampaikan catatan refleksi DPD menyambut tahun 2010 di Gedung DPD, Selasa (29/12). Hadir juga Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DI Yogyakarta) dan Ketua Komite III Sulistiyo (Jawa Tengah) serta Sekretaris Jenderal DPD Siti Nurbaya.

Menurut Irman, salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan publik dari pemerintah lokal dalam konteks otonomi daerah adalah pemekaran.

”Namun, jika kita melihat kinerja dari 205 daerah otonom baru, perlu dilakukan moratorium atau jeda yang bertujuan untuk menghindari usulan yang hanya memenuhi kebutuhan taktis dan pragmatis, bukan strategis,” ucapnya.

DPD berpandangan, pembentukan dan pemekaran daerah otonom baru yang tidak memenuhi persyaratan administrasi serta keuangan hanya membebani negara. Kebijakan jeda ini untuk mempertimbangkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru yang dibentuk sepuluh tahun terakhir.

Andalkan pemerintah

Meski demikian, DPD sangat mengandalkan pemerintah untuk mengambil peran besar adanya moratorium pemekaran tersebut.

”Pemerintah jangan lagi mengirim surat presiden yang menugaskan menterinya untuk membahas RUU Pemekaran,” ujar Irman.

Ketika ditanya apakah DPD tidak akan lagi mengajukan RUU Pembentukan Daerah Otonom pada masa mendatang, Irman tidak bisa memastikan itu. DPD juga masih akan ikut membahas RUU Pembentukan Daerah Otonom yang diusulkan DPR.

Menurut Irman, implementasi dukungan DPD terhadap moratorium pemekaran lebih pada bentuk sikap kehati-hatian dalam menjustifikasi RUU Pemekaran.(sut)

Senin, 28 Desember 2009

Bagai Pungguk Ketiban Bulan

Oleh Kokon Dharmawan *)

Judul : Produksi Siaran untuk Radio Komunitas
Penulis : Masduki (Adink)
Penerbit : Combine Resource Institution
Tahun : Cetakan pertama tahun 2003
Tbeal : iv + 108 halaman

"Bagaikan pungguk yang ketiban bulan," itulah sebuah ungkapan yang tepat ketika membaca buku panduan bertajuk Produksi Siaran untuk Radio Komunitas, yang disusun oleh Masduki (Adink), seorang praktisi radio yang dekat dengan gerakan pengembangan radio komunitas (rakom). Buku panduan seperti inilah yang sangat dinantikan dari dulu oleh kalangan pengelola rakom.

Pentingnya buku panduan untuk pengelola radio komunitas didasarkan pada fakta tentang masih terbilang barunya kiprah rakom di kancah dunia penyiaran. Realitanya, masih banyak pengelola rakom yang belum bisa menata dan mengatur dirinya dalam mengemban perannya sebagai radio milik warga yang harus mampu memberikan segala akses informasi kepada warga tersebut.

Lewat bahasanya yang lugas dan tidak bertele-tele, buku ini telah banyak menjawab beberapa masalah di atas. Melalui alur penulisannya yang runtut, isi buku ini menjelaskan bagaimana sebuah rakom dapat berperan aktif dalam komunitasnya. Dimulai dari tahap perencanaan pembuatan radio, proses pembuatan radio, peran dan fungsi radio.

Selain itu juga tentang tata kelola rakom, maupun proses kegiatan penyiaran rakom, seperti bagaimana proses mencari informasi: wawancara, investigasi, dan liputan langsung; mengolah informasi: pengumpulan berita, editing; dan menyampaikan kembali informasi tersebut kepada komunitas sasarannya; semuanya telah dijelaskan dengan gamblang. Bahkan, buku ini juga membahas tentang apa itu radio jika dilihat dari segi kelebihan dan kelemahannya jika dibandingkan dengan media lain.

Gambar-gambar ilustrasi yang mengisi buku ini, ikut mempertajam makna dialog dan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan tulisan yang pendek, ditambah dengan ilustrasi yang tepat dan bentuk tuturan dialog yang sederhana, membuat pembaca semakin mengerti maksud dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.

Misalnya, ilustrasi orang yang sedang bersiaran di studio beserta alat-alat siarannya, atau orang yang sedang melakukan wawancara di lapangan beserta narasumbernya, telah menarik imajinasi pembaca untuk melihat sebuah realita keseharian mereka yang biasa dilakukannya. Yang pasti, segala realita keseharian dan kegiatan maupun perilaku mereka selaku insan radio dapat tergambarkan dengan jelas pada isi buku ini.

Buku ini akan makin menarik, jika tata letaknya diatur sedemikian rupa. Ada beberapa halaman yang tata letak gambarnya atau tulisanya telah membuat mata si pembaca meloncat-loncat atau dibuat miring. Padahal hal seperti ini akan membuat si pembaca tidak nyaman dalam membaca dan menjadi cepat lelah.

Terlalu banyak ruang kosong merupakan masalah juga. Padahal halaman-halaman kosong tersebut bisa diisi dengan tulisan lain yang bisa memperjelas atau mempertajam inti pembahasan. Selain itu, bentuk tulisannya pun cukup berbeda-beda, sehingga ada bagian yang terlalu mencolok. Dengan demikian, bagian yang tidak mencolok akan terlewatkan oleh pembaca, padahal bagian itu memiliki nilai penting untuk dibaca.

Untuk memperjelas isi kandungan buku ini, alangkah lebih baiknya lagi jika dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang berisi contoh-contoh profil sebuah rakom, contoh format program siaran rakom yang telah dijalankan, atau contoh naskah berita dan contoh-contoh lainya yang bisa dijadikan sebagai bahan kajian dan perbandingan oleh para pengelola rakom. Karena dengan contoh seperti itu, akan makin mempertajam dan memperjelas pemahaman pembaca. Walau demikian, buku ini telah mampu memberi konstribusi sangat besar bagi perjalanan dan proses berlangsungnya kehidupan sebuah rakom.

*) Fasilitator dan Pegiat Radio Komunitas RASI FM Cisewu, Garut, ]awa Barat

Irianto MS Syafiudin Mampu Membawa Perubahan di Tubuh Golkar Jabar

Rabu, 02 Desember 2009 14:08

PRO3RRI - Bandung:: Dengan terpilihnya Irianto MS Syafiudin alias Yance sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat periode 2009-2014,diharapkan dapat membawa perubahan di tubuh partai Golkar bangkit dari keterpurukan meskipun cukup berat tantangannya

Dengan terpilihnya Irianto MS Syafiudin alias Yance sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat periode 2009-2014,diharapkan dapat membawa perubahan di tubuh partai Golkar bangkit dari keterpurukan meskipun cukup berat tantangannya dengan kondisi partai tersebut pada saat ini,karena pada 2009 Golkar di Jabar terpuruk dari perolehan kursi di DPRD Kabupaten/Kota,Propinsi maupun di tingkat pusat dalam Pemilu lalu. Menurut pengamat politik Kokon Darmawan,Yance harus berani melakukan reformasi strukturisasi artinya berani memunculkan figure-figur baru dengan ide dan gagasan baru. Figur Golkar saat ini tegas Kokon,tidak mampu mendongkrak Golkar dalam reposisi,restrukturisasi,rekonsolidasi dan reorientasi di tubuh Golkar jika Golkar ingin besar di Jawa barat.

”Intinya Yance harus berani mengambil tindakan yang controversial,saya lihat figure yang ada di Golkar Jabar bukan figure yang mampu menjual dan membesarkan Golkar dan mampu merestrukturisasi di tubuh Golkar di DPD II maupun DPD I”.

Sementara itu menurut Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Jabar Sunatra,jika melihat kinerja Irianto MS Syafiudin atau Yance,diantara Ketua Ketua DPD Partai Golkar di Kabupupaten/Kota di Indonesia,Yance merupakan sosok yang berprestasi,artinya satu-satunya Partai Golkar Kabupaten Indramayu yang naik dalam Pemilu 2009 dalam perolehan suara.

”Kalaulah ini gaya kepemimpinan pak Yance diterapkan diterapkan di wilayah Jabar bisa signifikan. Gaya komunikasi pak Yance antar pengurus cukup bagus. Yang paling bagaimana komunikasi politik diantara para pengurus menjadi kompak dan bagaimana memperjuangkan aspirasi rakyat dengan benar”.

Apabila Partai Golkar tidak mau ditinggalkan oleh rakyat,tegas Sunatra maka semua pengurus dan jajaran partai Golkar harus sekuat tenaga berjuang untuk rakyat.

Euforia Calon Perseorangan

Terbit di Kompas Jabar, Halaman D, Forum, Edisi 23 Desember 2009

Terpilihnya pasangan HM Aceng Fikri dan Dicky Candra sebagai pasangan Bupati-Wakil Bupati Garut periode 2009-2014 dari jalur perseorangan pada pemilihan umum kepala daerah (pilkada) Kabupaten Garut tahun 2008 merupakan potret baru atas proses pilkada di Jawa Barat. Pasangan ini mampu mengempaskan pasangan lain yang dicalonkan partai politik.

Kemenangan calon perseorangan tersebut mendatangkan semangat baru dan daya tarik yang luar biasa bagi para politisi, baik dari kalangan partai politik maupun perseorangan, setidaknya bagi mereka yang memiliki obsesi menduduki takhta tertinggi di daerah masing-masing melalui kontes pilkada.

Kita akan segera menyaksikan kontes pilkada di Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok pada 2010. Menyusul kemudian Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya pada awal 2011. Apakah calon perseorangan akan banyak bermunculan, atau kontes pilkada itu hanya milik calon dari partai politik?

Calon perseorangan telah mendapatkan respons luar biasa dari masyarakat. Penelitian Lembaga Studi Indonesia (2008) menunjukkan bahwa komitmen masyarakat (80 persen responden) semakin kuat terhadap demokrasi, tetapi di sisi lain kurang merespons partai politik. Artinya, masyarakat sudah merasa jemu dan bosan dengan partai politik, terlebih kultur masyarakat kita suka mencoba hal-hal yang bersifat baru, termasuk calon perseorangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007 telah membuka kesempatan bagi calon perseorangan untuk maju dalam kontes pilkada. Wajar saja jika ada yang berpendapat bahwa putusan MK tentang calon perseorangan merupakan peringatan bagi partai politik. Itu menunjukkan bahwa kredibilitas partai politik sudah jauh merosot.

Namun, anggapan itu sesungguhnya tidaklah sepenuhnya benar. Penggiat partai politik pun selayaknya tidak menanggapi secara berlebihan atau "kebakaran jenggot" karena logikanya, calon perseorangan, bila dibandingkan dengan sekelompok orang, tentunya akan berlaku peribahasa ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Artinya, kemungkinan menangnya perseorangan jauh lebih kecil dibandingkan dengan sekelompok orang yang bargabung dalam sistem partai politik, yang mana jaringan dan kekuatan mekanisme organisasi akan sangat berperan. Hanya, jika fungsi partai politik tidak berjalan dengan benar, calon perseorangan kemungkinan memiliki peluang paling besar memenangi perhelatan pilkada.

Introspeksi, pembenahan, perbaikan, dan pelayanan yang terbaik oleh partai politik terhadap konstituennya yang notabene adalah rakyat harus lebih ditingkatkan. Ego dan eksklusivitas komunitas partai politik sudah saatnya dibaurkan pada kepentingan rakyat, bukan dibalik, yang mana rakyat harus membaur dan harus mengerti kepentingan partai politik.

Jika ditelisik lebih mendalam, calon perseorangan lebih melekat dengan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari proses awal pencalonannya yang harus mendapatkan dukungan langsung dari masyarakat yang tecermin dari bentuk surat pernyataan dukungan dan fotokopi kartu tanda penduduk. Di lain pihak, calon perseorangan dalam menentukan tim suksesnya ditentukan oleh calon sendiri tanpa intervensi pihak lain. Berbagai tantangan

Berbeda dengan posisi partai politik, yang mana partai politik merupakan kendaraan dan pintu bagi semua calon yang akan ikut dalam pilkada. Dukungan tecermin dari jumlah kursi partai politik bersangkutan di DPRD meski hal itu tidak menjadi jaminan sukses dalam pilkada. Maklum, dalam pilkada faktor figur menentukan. Partai politik memiliki insfrastruktur hingga tingkat kecamatan dan desa. Tim pemenangan pilkada ditentukan partai politik.

Partai politik menghadapi persoalan saat masyarakat sudah apatis dan jenuh dengan partai politik. Partai politik besar pun tidak menjamin menjadi pemenang dalam pilkada. Calon dari partai politik harus melalui tahapan konvensi atau setidak-tidaknya rapat pimpinan dalam partai politik bersangkutan dan harus mendapatkan restu dari pengurus provinsi dan pengurus pusat.

Antara calon perseorangan dan calon dari partai politik masing-masing dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama menyangkut dana dan infrastruktur. Calon perseorangan membutuhkan biaya besar untuk pengumpulan dukungan masyarakat. Misalnya, jika hak pilih di Kabupaten Bandung dalam pilkada 2010 mencapai 2,5 juta orang, pasangan calon perseorangan membutuhkan dukungan minimal sekitar 75.000 orang (3 persen).

Jumlah ini akan berkaitan dengan biaya pengumpulan dukungan. Selain itu, akan muncul juga banyak pihak yang memberikan dukungan terhadap calon perseorangan, dengan konsekuensi membengkaknya beban keuangan bagi biaya operasional mereka. Calon perseorangan juga memerlukan penguatan jaringan infrastruktur hingga ke desa.

Adapun calon dari partai politik akan membutuhkan biaya besar dalam proses konvensi (penggalangan dukungan) dari kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Bagi calon yang bukan kader, akan ada istilah "membeli partai" yang biasanya didasarkan pada jumlah kursi di DPRD atau tergantung komitmen antara calon dan elite partai politik bersangkutan. Calon pun membutuhkan biaya besar dalam proses kampanye karena tim pemenangan akan meliputi tim kampanye internal calon dan tim kampanye yang dibentuk partai politik pengusung calon (double budgeting).

Kehadiran calon perseorangan dalam kontes pilkada semakin hari semakin membumi. Hampir setiap pilkada di kabupaten/kota selalu diikuti calon perseorangan. Namun, keputusan akhir ada pada nurani masyarakat yang akan memilih. Bagaimanapun, faktor figur akan lebih utama dibandingkan dengan kendaraan pengusungnya. Semoga masyarakat tidak salah memilih.

KOKON DARMAWAN, Pemerhati Sosial dan Politik

Jumat, 23 Oktober 2009

Sikap Megawati Perlu Diapresiasi

Jakarta, Kompas - Masyarakat harus mengapresiasi sikap Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang memutuskan tidak berkoalisi dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tetapi memilih menjadi partai penyeimbang pemerintah.

Guru besar ilmu politik dari Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, mengemukakan hal itu saat ditemui pers seusai menjadi pembicara di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jakarta, Jumat (23/10).

Ia menilai langkah yang telah dilakukan Megawati tersebut memberikan manfaat besar bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.

Maswadi menduga, sikap Megawati ini pun akan menimbulkan simpati masyarakat dan dapat membangun citra PDI-P di mata publik menjadi lebih baik.

Maswadi bahkan mengusulkan, pada masa mendatang undang-undang perlu mengatur adanya anggaran negara khusus bagi partai yang berada di luar pemerintahan karena partai tersebut tidak mendapat banyak fasilitas seperti partai yang berada di pemerintahan.

”Anggaran khusus ini untuk menggairahkan oposisi,” ungkap Maswadi.

Adanya anggaran khusus untuk partai oposisi ini pun bisa membuat partai politik tidak takut menjadi oposisi dan semua bergabung dalam pemerintahan yang bisa mencelakakan proses demokrasi.

Bersinergi

Dari sembilan fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat, hanya tiga fraksi yang tidak masuk dalam pemerintahan, yaitu PDI-P, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Ketiga fraksi ini pun memiliki keinginan untuk saling menguatkan satu sama lain.

Hal itu terlihat ketika Ganjar Pranowo (PDI-P), Ahmad Muzani (Gerindra), dan Fauzi Achmad (Hanura) hadir sebagai pembicara dalam ”Diskusi Dialektika Demokrasi” di ruang wartawan DPR, kemarin. Ketika ditanya soal kemungkinan menyusun sekretariat bersama, ketiganya tidak menutup kemungkinan itu dan akan menjajaki hal tersebut.

Sebagai mantan Ketua Panitia Khusus RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menurut Ganjar, dalam pembahasan RUU tersebut pernah diusulkan pembentukan gabungan fraksi yang berada di pemerintahan dan di luar pemerintahan, dengan tujuan agar mendapat dukungan sistem. Namun, usulan itu ditolak.

Muzani juga menegaskan bahwa peran pers sangat besar untuk mendorong hadirnya kelompok penyeimbang yang kuat.

Fauzi juga mengingatkan bahwa tanpa adanya kontrol yang kuat, kekuatan pemerintah bisa menjadi absolut dan itu sangat membahayakan.

”Kalau ada absolute power (kekuasaan absolut), (partai penyeimbang) tidak hanya mati suri, tapi mati beneran,” ujar Fauzi. (sut)

Jumlah Kursi di Daerah Pemekaran Naik

Jakarta, Kompas - Jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang dimekarkan, baik untuk daerah induk maupun daerah pemekaran, naik dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kursi DPRD wilayah induk.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) Hadar N Gumay dalam diskusi ”Pengisian Kursi DPRD Kabupaten/Kota Pemekaran” di Jakarta, Kamis (22/10).

Semula, 20 kabupaten induk, sebelum pemekaran, hanya memiliki 710 kursi DPRD. Namun, setelah dimekarkan hingga menjadi 20 kabupaten induk dan 26 kabupaten/kota pemekaran, jumlah kursi DPRD untuk daerah induk dan pemekaran menjadi 1.255 kursi DPRD atau naik 76,76 persen. ”Ini konsekuensi dari pemekaran daerah. Jadi, kursi DPRD-nya harus segara diisi,” katanya.

Namun, ternyata pengisian kursi DPRD untuk daerah yang dimekarkan, baik daerah induk maupun daerah pemekaran, belum dapat dilakukan.

Padahal, tiap-tiap daerah pemekaran yang rata-rata dimekarkan pada tahun 2008 itu, menurut Koordinator Forum Calon Anggota Legislatif Lintas Partai Kota Tangerang Selatan Robert Usman, terancam dikembalikan ke daerah induk jika tidak mampu membentuk pemerintahan definitif setelah dua tahun disahkan.

Robert menambahkan, sudah ada UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang Dibentuk Setelah Pemilu Tahun 2004 untuk mengisi kursi DPRD di daerah pemekaran.

Aturan itu tidak digunakan karena KPU mengacu kepada UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru disahkan akhir Agustus lalu. Namun, UU itu belum bisa dilaksanakan karena belum ada peraturan KPU untuk menjalankan UU itu.

”KPU sudah selesaikan naskah akademis peraturannya. Awal November nanti diperkirakan sudah selesai,” kata anggota KPU, I Gusti Putu Artha.

KPU menjanjikan aturan itu akan mengatur secara mendetail pengisian kursi DPRD pemekaran sehingga KPUD wilayah pemekaran terhindar dari tekanan partai politik dan menghindari benturan di antara sesama caleg partai.

Lambannya pembentukan peraturan KPU karena tidak detailnya UU No 27/2009 sehingga KPU kesulitan untuk mengimplementasikan ketentuan UU dalam membagi kursi DPRD pemekaran. Terlebih lagi, banyak daerah pemilihan dalam pemilu anggota DPRD lalu yang ternyata tidak sinkron dengan daerah yang dimekarkan. (MZW)