Sabtu, 29 Agustus 2009

MENAKAR PENGGABUNGAN KE KAB. BANDUNG

Hiruk-pikuk pemekaran Garut Selatan diwarnai pula oleh munculnya keinginan warga di Garut Selatan (Cisewu, Caringin dan Talegong) untuk bergabung dengan Kab. Bandung. Tetapi, apakah dengan bergabung ke Kab. Bandung akan lebih baik atau kita akan tetap tertinggal karena secara teritori kita berada di daerah paling jolok? Secara normatif, apakah mudah proses penggabungan satu wilayah ke wilayah lain (lintas kabupaten)?

Sebenarnya, keinginan beberapa wilayah di Garut Selatan untuk bergabung dengan Kab. Bandung sudah bergulir sejak tahun 1952, ketika Kab. Garut belum memperhatikan pembangunan di wilayah Garut Selatan, terutama insfrastruktur jalan dan jembatan (pembangunan jalan dimulai tahun 1974).

Bahkan jika melihat sejarah masa lalu, isu ini terdengar bersamaan dengan adanya rencana tukar guling dengan daerah Nagreg dan Cicalengka (Bandung ke Garut) dan Caringin, Cisewu, dan Talegong (Garut ke Bandung), kemudian banyak tokoh-tokoh masyarakat dari Garut Selatan yang di panggil ke Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) untuk membicarakan masalah itu diantaranya Bapak Sutanandika, M. Wiganda dan Moch Dahlan, serta tokoh-tokoh lainnya.

Lantas, seberapa jauh kemungkinan proses penggabungan ini bisa dilakukan? PP No.78 tahun 2007 (perubahan dari PP No.129 tahun 2000) yang merupakan turunan dari UU Pemerintahan Daerah (No.32/2004 hasil amandemen No.22/1999) sudah mensiratkan besar kemungkinan dilakukannya penggabungan suatu wilayah guna mencapai kesejahteraan dan kemajuan masyarakat di daerah bersangkutan. Artinya, secara normatif konsepsi penggabungan sudah dihalalkan.

Pertanyaannya, apakah dengan bergabung ke Kab. Bandung bisa menjamin timbulnya kesejahteraan? Apakah Kab.Bandung mau menerima beberapa kecamatan di Garsel menjadi bagian dari pemerintahannya? Bukankah Kab. Bandung juga dimekarkan menjadi Kabupaten Bandung Barat (KBB), bahkan santer Kabupaten Bandung Timur (KBT) akan segera dimekarkan? Apakah Kab. Garut akan merelakan begitu saja proses kepindahan wilayahnya ke Kab. Bandung? Seabrek pertanyan itu perlu kita jawab bersama.
Memang, jika dilihat dari konsepsi sejarah dan kekinian, masyarakat Garut Selatan terutama Caringin, Cisewu, dan Talegong, dalam berbagai aspek kehidupan sudah berhubungan dan bergantung kepada Kab. Bandung. Dalam sektor perekonomian, misalnya, sejak dulu roda perekonomian masyarakat Garsel sudah terikat dan bergantung dengan Bandung, baik dalam hal pemasaran hasil pertanian maupun pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat Garsel.

Hal lain bisa dilihat dalam aspek pendidikan, sosial, dan budaya. Pelajar dari Garsel mayoritas melanjutkan sekolah ke Bandung. Kehidupan sosial-budaya masyarakat Garsel mengadopsi dari Bandung, termasuk urbanisasi masyarakat berlangsung ke Bandung terutama pencarian lapangan pekerjaan. Ini artinya secara ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Garsel berhubungan dengan Bandung. Tapi cukupkah alasan itu untuk bisa meyakinkan kita memilih bergabung ke Kab. Bandung?

Sebetulnya, khusus untuk daerah Kecamatan Cisewu, Caringin dan Talegong, bergabung dan tidaknya ke Kabupaten Bandung, tidak akan terlalu berpengaruh karena mobilisasi penduduk dan distribusi hasil produksi pertanian masyarakat garsel (sistem perekonomian) sejak lama tetap berlangsung dengan Bandung, namun pengaruh tersebut mungkin akan dirasakan pada pelayanan sistem pemerintahan dan pembangunan insfrastruktur. Setidaknya ada beberapa alasan menguatnya keinginan masyarakat ketiga kecamatan tersebut untuk pindah ke Kab. Bandung adalah sebagai berikut :

1.Aspek Jarak (proximity)

Jauhnya jarak tempuh antara ibu kota Kabupaten Garut dengan beberapa kecamatan di Garut Selatan merupakan salah satu alasan untuk bergabung ke Kab. Bandung. Jarak tempuh antara Garut Selatan (Talegong, Cisewu, Caringin) dengan Kota Kabupaten Garut bisa ditempuh sekitar 6-8 jam (Talegong-Garut 146 KM, Cisewu-Garut 120 KM, Caringin-Garut 95 KM), sementara jarak ke Kabupaten Bandung bisa ditempuh dengan perjalanan sekitar 2 jam. Jarak ini setidaknya berpengaruh terhadap biaya transportasi, ongkos dari Cisewu ke Bandung hanya Rp 15.000,- sementara dari Cisewu ke Garut Rp 30.000,-.

2.Aspek Perekonomian

Kegiatan perekonomian mayoritas penduduk Garut Selatan banyak berhubungan dengan Kab. Bandung. Sebagai contoh, pedagang grosir dan warung kecil di Garut Selatan melakukan transaksi jual-beli (menjual hasil produksi pertanian dan mendatangkan kebutuhan pokok masyarakat/sembako) dilakukan dengan para pedagang di Kabupaten Bandung.

Mayoritas hasil produksi pertanian yang dihasilkan masyarakat Garsel, seperti padi, pisang, gula, cengkih, kapol, kopi, teh rakyat, palawija, sayur-sayuran, umbi-umbian, biji-bijian, ternak, dan lainnya, semua dijual ke Bandung, seperti ke Pasar Pangalengan, Banjaran, Caringin dan Ciroyom. Hal serupa terjadi pada proses pemasaran hasil produksi batu templek, batu ukir, batu hias atau kerajinan tangan lainnya, semuanya dipasarkan ke Bandung.

Begitu juga sebaliknya, masyarakat Cisewu, Caringin dan Talegong mendatangkan kebutuhan mereka dari Kab. Bandung, seperti minyak kelapa, minyak tanah, bensin, barang-barang kelontongan atau paket sembako lengkap, kebutuhan pakaian jadi, kain, bahan bangunan, furniture, sarana komunikasi, dan kendaraan bermotor (leasing).
Dengan demikian, dari sisi perekonomian, masyarakat garsel sudah banyak bergantung ke Kab. Bandung, ini artinya sudah terjadi interaksi simbiosa mutualisme yang kuat antara masyarakat garsel dengan masyarakat Bandung dalam hal perekonomian.

3.Aspek Urbanisasi

Dalam tingkat mobilisasi atau distribusi dan transformasi penduduk, secara mayoritas penduduk di Garut Selatan banyak melakukan interaksi kehidupannya dengan Kabupaten Bandung. Hampir sekitar 90% penduduk Garut Selatan mobilisasi kegiatannya ke Kabupaten Bandung.

Hal itu bisa dibuktikan bahwa ada sekitar 8.500 tenaga kerja asal Cisewu, Caringin dan Talegong yang bekerja di Kab. Bandung. Tenaga kerja usia produktif dari Garut Selatan kebanyakan mencari kerja dan bekerja di Kabupaten Bandung bukan di Garut, hal ini disebabkan orientasi pencarian peluang hidup di Kabupaten Bandung lebih menjanjikan ketimbang mencari pekerjaan di Garut.

Dengan demikian, dari sisi urbanisasi, masyarakat Garsel lebih besar terjadi ke Kab. Bandung tetapi urbanisasi ini berdampak positif bagi pertumbuhan industri manufaktur/ pabrik di Bandung karena tersedianya tenaga kerja (man) yang memadai.

4.Aspek Pendidikan

Hal lain yang menunjukan tingginya ketergantungan antara masyarakat garsel dengan Bandung dapat terlihat dalam sektor pendidikan. Sebagian besar anak sekolah lulusan SMP atau SMA rata-rata melanjutkan sekolahnya (kuliah) ke Bandung, selain yang melanjutkan di daerahnya masing-masing. Mereka lebih memilih sekolah ke Bandung ketimbang sekolah ke Garut. Sekolah SMP/SMA yang dipilih biasanya di Pangalengan, Banjaran, Soreang, Dayeuh Kolot ataupun Baleendah.

Apalagi untuk pendidikan tinggi, hampir 90% lulusan SMA melanjutkan kuliah ke Bandung, baik negeri maupun swasta, seperti STKIP Bale Bandung, STAI Siliwangi, STIMIK, UPI, UNPAD, UIN, UNIKOM, UNJANI, Akper/Akbid, atau perguruan tinggi lainnya. Padahal di Garut pun tidak sedikit perguruan tinggi, ada UNIGA, STKIP, STHG, Mussadadiyah, Muhammadiyah, atau Akper/Akbid.

5.Aspek Politik

Dalam kehidupan politik, penduduk Garut Selatan kebanyakan mengakses informasi dan perkembangan politik dari Kabupaten Bandung. Karena lancarnya arus transportasi dan komunikasi, yang menjadi salah satu faktor pendorong cepatnya transformasi pendidikan politik dari Bandung ke Garut Selatan.

Pendidikan politik dari Kab. Garut hanya terjadi dan dapat dirasakan secara musiman saja seperti dalam pesta demokrasi lima tahunan (pemilu dan pilkada). Bahkan ada hal yang sangat naif, beberapa kejadian yang penting di Kabupaten Garut tidak banyak diketahui oleh masyarakat Garut Selatan seperti proses Pemilihan Bupati dan perkembangan kasus politik seperti Kasus Korupsi Bupati Garut atau kasus APBD-Gate/Jaring Asmara yang menjerat anggota DPRD Garut.

6.Aspek Sosial Budaya

Masalah pengaruh dan perkembangan budaya untuk beberapa daerah di Garut Selatan mengadopsi dari Bandung. Gaya hidup maupun corak budaya moderen masyarakat garsel banyak dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat Bandung, baik pada sisi positif maupun negatif. Tidak bisa dipungkiri, tingginya interaksi mereka memudahkan dan mempercepat terjadinya fenetrasi ataupun asimilasi budaya diantara mereka.

7.Aspek Transportasi dan Komunikasi

Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi dari Garsel ke Bandung atau sebaliknya, telah memudahkan distribusi dan alur komunikasi antara kedua belah pihak. Sarana trapsortasi Garsel ke Bandung dipandang sangat memadai. Hal itu dapat dilihat dari jumlah trayek kendaraan angkutan umum . Trayek dari Cisewu ke Bandung lebih dari 20 kendaraan, sementara ke Garut hanya 2 kendaraan saja. Hal ini menunjukan bahwa mobilisasi ke Bandung lebih tinggi. Belakangan ini sudah dibuka trayek angkutan Caringin/Rancabuaya-Soreang/Bandung.

Dalam kepemilikan kendaraan bermotor (motor & mobil), masyarakat garsel hampir 90% bernomor polisi ‘D’ artinya kendaraan tersebut dibeli dari Kab. Bandung, sehingga Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tersebut masuk dan menjadi sumber PAD Kab. Bandung bukan Kab. Garut.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas telah menunjukan bahwa masyarakat garsel, terutama yang ada di Kec. Cisewu, Caringin dan Talegong dalam aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya, urbanisasi, politik dan transportasi telah bergantung ke Kab. Bandung. Kondisi ini jelas akan semakin baik dan akan lebih cepat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat garsel jika dilegitimasi dengan proses penggabungan wilayah. Dimana secara administratif, de jure dan de facto ketiga wilayah tersebut resmi menjadi wilayah depinitif Kab. Bandung.

Meski dukungan terhadap rencana penggabungan tiga kecamatan di garsel ke Kab. Bandung sudah kuat, tetapi tetap saja proses penggabungan itu memerlukan usaha dan kerja keras serta kebersamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar