Sabtu, 29 Agustus 2009

PEMEKARAN GARSEL VERSUS SEMANGAT MORATORIUM

Aksi kekerasan di Sumatera Utara yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat (3/1) merupakan momentum untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru. Moratorium atau penghentian itu diperlukan untuk membenahi rancangan dasar kebijakan pemekaran daerah yang selama ini telah melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik.

Peristiwa unjuk rasa rusuh yang berujung kematian tersebut terkait desakan pendukung bakal Provinsi Tapanuli terhadap DPRD agar segera mengeluarkan rekomendasi pemekaran, membuat miris semua pihak. Betapa upaya pemekaran wilayah yang niatnya untuk kepentingan rakyat agar lebih sejahtera namun diperjuangkan dengan cara kasar.
Dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, menyimpulkan pemerintah mesti secepatnya mengevaluasi daerah otonomi baru dan sekaligus menyiapkan kerangka besar sebagai panduan pemekaran wilayah. Mardiyanto menyebutkan, kerangka pemekaran itu masih dipersiapkan. Sampai dengan 2025, jumlah provinsi di Indonesia diprediksi bisa mencapai 40 provinsi.

Sebaiknya pemerintah jangan menunda pembentukan daerah baru. Setelah pemilihan legislatif dan presiden, jangan dibuka lagi kesempatan untuk mengajukan proposal pemekaran daerah. Jika hanya ditunda, masyarakat di daerah akan melihat ada peluang untuk memperjuangkan pemekaran daerah. Pemerintah harus bisa lebih tegas. Kalau tidak, tuntutan dari bawah akan menguat terus dan pemerintah tidak akan mampu menghadang. Hadangan selalu jebol seperti pengalaman selama ini.

Dengan kejadian di Medan itu, DPR dan pemerintah harus berani mengambil keputusan politik menetapkan moratorium. Tingginya konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh lemahnya kontrol pemerintah pusat dan luasnya partisipasi masyarakat terhadap pemekaran daerah. Hal ini terlihat dari persiapan dan uji kelayakan yang lebih banyak diserahkan kepada masyarakat. Akibatnya, kebijakan ini pun menjadi sangat mudah dimanfaatkan dan dimanipulasi.

Mudahnya pengajuan aspirasi pemekaran wilayah membuat banyak pihak berlomba-lomba memanfaatkannya dengan tujuan mencari keuntungan. Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, yaitu untuk mengembangkan daerah, menjadi celah untuk mencari keuntungan. Setiap kali pemerintahan daerah wilayah baru terbentuk, dana alokasi umum dari pusat akan langsung mengalir meski dalam perjalannya rentan diselewengkan.

Menurut peneliti otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, dan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, pertimbangan politik masih menjadi acuan utama pemekaran sebuah wilayah otonom. Kerangka normatif yang menjadi prasyarat pembentukan daerah otonom baru justru terabaikan.

Kriteria pemekaran dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran. Namun, aturan itu tidak berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi. Semua kriteria yang sudah terukur jelas menjadi kabur ketika prosesnya menjadi sangat politis. Dalam nuansa politik yang kental itu, uang menjadi faktor dominan.

Kuatnya politisasi dalam pemekaran daerah membuat tujuan pemekaran untuk menciptakan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tak terperhatikan. Pemekaran daerah seharusnya memerhatikan kondisi bangsa yang masih dalam kondisi transisi, dalam politik maupun ekonomi. Karena itu, kemampuan keuangan negara yang lemah harus menjadi faktor utama membentuk daerah otonom baru.

Sejak tahun 1999, otonomi daerah memang dihajatkan untuk bertumpu pada kabupaten dan kota. Namun sayang, ”kue” yang dihasilkan provinsi malah jauh lebih besar. PAD kabupaten dan kota palinglah hanya dari pajak hotel dan restoran, serta pajak galian C yang agak lumayan. Sementara provinsi mendapat PAD salah satunya pajak kendaraan bermotor yang jumlahnya sungguh besar.

Singkatnya, otonomi daerah memperbesar kewenangan tanpa memperkuat struktur keuangan kabupaten dan kota. Wajar pula lantas di banyak kabupaten kota muncul retribusi resmi maupun tak resmi yang aneh-aneh untuk mendatangkan PAD, baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) maupun Keputusan Bupati lainnya. Buntutnya daya saing daerah sebagai tujuan investasi sulit didongkrak.

Dari sini, penulis ingin menjelaskan bahwa ketimpangan sentra dan pinggir ini murni soal struktur. Ini sekaligus membantah pendapat yang menyatakan suatu daerah perlu dimekarkan dengan alasan etnis dan agama. Maka penyelesaian yang dilakukan harusnya juga bersifat struktur. Toh negara ini dibangun bukan untuk membangun sekat primordial. Jika dirunut dari masalah tadi, maka pemekaran wilayah dapat dibaca sebagai upaya instan untuk menyelesaikan masalah. Dan jalan pintas pasti selalu mahal. Hitung saja. pemekaran berarti ada lembaga-lembaga baru. Ada posisi gubernur, anggota DPRD, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang perlu diisi. Ini perlu dibiayai tidak hanya penghasilannya, tapi juga pengadaan kantor, peralatan, perlengkapan, kendaraan dinas, perjalanan dinas, kunjungan kerja, dan masih banyak lagi.

Dengan pengeluaran yang banyak tadi, maka seharusnya kemampuan daerah membiayai diri dari berbagai sektor menjadi sangat penting. Akan jadi aneh jika potensi daerah yang masih jauh dari kesiapan dijadikan bakal sumber pendapatan. Nah, perihal kemampuan daerah inilah yang tidak benar-benar jadi pertimbangan. Buktinya, hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan justru daerah baru mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar