Sabtu, 29 Agustus 2009

MENAKAR PENGGABUNGAN KE KAB. BANDUNG

Hiruk-pikuk pemekaran Garut Selatan diwarnai pula oleh munculnya keinginan warga di Garut Selatan (Cisewu, Caringin dan Talegong) untuk bergabung dengan Kab. Bandung. Tetapi, apakah dengan bergabung ke Kab. Bandung akan lebih baik atau kita akan tetap tertinggal karena secara teritori kita berada di daerah paling jolok? Secara normatif, apakah mudah proses penggabungan satu wilayah ke wilayah lain (lintas kabupaten)?

Sebenarnya, keinginan beberapa wilayah di Garut Selatan untuk bergabung dengan Kab. Bandung sudah bergulir sejak tahun 1952, ketika Kab. Garut belum memperhatikan pembangunan di wilayah Garut Selatan, terutama insfrastruktur jalan dan jembatan (pembangunan jalan dimulai tahun 1974).

Bahkan jika melihat sejarah masa lalu, isu ini terdengar bersamaan dengan adanya rencana tukar guling dengan daerah Nagreg dan Cicalengka (Bandung ke Garut) dan Caringin, Cisewu, dan Talegong (Garut ke Bandung), kemudian banyak tokoh-tokoh masyarakat dari Garut Selatan yang di panggil ke Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) untuk membicarakan masalah itu diantaranya Bapak Sutanandika, M. Wiganda dan Moch Dahlan, serta tokoh-tokoh lainnya.

Lantas, seberapa jauh kemungkinan proses penggabungan ini bisa dilakukan? PP No.78 tahun 2007 (perubahan dari PP No.129 tahun 2000) yang merupakan turunan dari UU Pemerintahan Daerah (No.32/2004 hasil amandemen No.22/1999) sudah mensiratkan besar kemungkinan dilakukannya penggabungan suatu wilayah guna mencapai kesejahteraan dan kemajuan masyarakat di daerah bersangkutan. Artinya, secara normatif konsepsi penggabungan sudah dihalalkan.

Pertanyaannya, apakah dengan bergabung ke Kab. Bandung bisa menjamin timbulnya kesejahteraan? Apakah Kab.Bandung mau menerima beberapa kecamatan di Garsel menjadi bagian dari pemerintahannya? Bukankah Kab. Bandung juga dimekarkan menjadi Kabupaten Bandung Barat (KBB), bahkan santer Kabupaten Bandung Timur (KBT) akan segera dimekarkan? Apakah Kab. Garut akan merelakan begitu saja proses kepindahan wilayahnya ke Kab. Bandung? Seabrek pertanyan itu perlu kita jawab bersama.
Memang, jika dilihat dari konsepsi sejarah dan kekinian, masyarakat Garut Selatan terutama Caringin, Cisewu, dan Talegong, dalam berbagai aspek kehidupan sudah berhubungan dan bergantung kepada Kab. Bandung. Dalam sektor perekonomian, misalnya, sejak dulu roda perekonomian masyarakat Garsel sudah terikat dan bergantung dengan Bandung, baik dalam hal pemasaran hasil pertanian maupun pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat Garsel.

Hal lain bisa dilihat dalam aspek pendidikan, sosial, dan budaya. Pelajar dari Garsel mayoritas melanjutkan sekolah ke Bandung. Kehidupan sosial-budaya masyarakat Garsel mengadopsi dari Bandung, termasuk urbanisasi masyarakat berlangsung ke Bandung terutama pencarian lapangan pekerjaan. Ini artinya secara ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Garsel berhubungan dengan Bandung. Tapi cukupkah alasan itu untuk bisa meyakinkan kita memilih bergabung ke Kab. Bandung?

Sebetulnya, khusus untuk daerah Kecamatan Cisewu, Caringin dan Talegong, bergabung dan tidaknya ke Kabupaten Bandung, tidak akan terlalu berpengaruh karena mobilisasi penduduk dan distribusi hasil produksi pertanian masyarakat garsel (sistem perekonomian) sejak lama tetap berlangsung dengan Bandung, namun pengaruh tersebut mungkin akan dirasakan pada pelayanan sistem pemerintahan dan pembangunan insfrastruktur. Setidaknya ada beberapa alasan menguatnya keinginan masyarakat ketiga kecamatan tersebut untuk pindah ke Kab. Bandung adalah sebagai berikut :

1.Aspek Jarak (proximity)

Jauhnya jarak tempuh antara ibu kota Kabupaten Garut dengan beberapa kecamatan di Garut Selatan merupakan salah satu alasan untuk bergabung ke Kab. Bandung. Jarak tempuh antara Garut Selatan (Talegong, Cisewu, Caringin) dengan Kota Kabupaten Garut bisa ditempuh sekitar 6-8 jam (Talegong-Garut 146 KM, Cisewu-Garut 120 KM, Caringin-Garut 95 KM), sementara jarak ke Kabupaten Bandung bisa ditempuh dengan perjalanan sekitar 2 jam. Jarak ini setidaknya berpengaruh terhadap biaya transportasi, ongkos dari Cisewu ke Bandung hanya Rp 15.000,- sementara dari Cisewu ke Garut Rp 30.000,-.

2.Aspek Perekonomian

Kegiatan perekonomian mayoritas penduduk Garut Selatan banyak berhubungan dengan Kab. Bandung. Sebagai contoh, pedagang grosir dan warung kecil di Garut Selatan melakukan transaksi jual-beli (menjual hasil produksi pertanian dan mendatangkan kebutuhan pokok masyarakat/sembako) dilakukan dengan para pedagang di Kabupaten Bandung.

Mayoritas hasil produksi pertanian yang dihasilkan masyarakat Garsel, seperti padi, pisang, gula, cengkih, kapol, kopi, teh rakyat, palawija, sayur-sayuran, umbi-umbian, biji-bijian, ternak, dan lainnya, semua dijual ke Bandung, seperti ke Pasar Pangalengan, Banjaran, Caringin dan Ciroyom. Hal serupa terjadi pada proses pemasaran hasil produksi batu templek, batu ukir, batu hias atau kerajinan tangan lainnya, semuanya dipasarkan ke Bandung.

Begitu juga sebaliknya, masyarakat Cisewu, Caringin dan Talegong mendatangkan kebutuhan mereka dari Kab. Bandung, seperti minyak kelapa, minyak tanah, bensin, barang-barang kelontongan atau paket sembako lengkap, kebutuhan pakaian jadi, kain, bahan bangunan, furniture, sarana komunikasi, dan kendaraan bermotor (leasing).
Dengan demikian, dari sisi perekonomian, masyarakat garsel sudah banyak bergantung ke Kab. Bandung, ini artinya sudah terjadi interaksi simbiosa mutualisme yang kuat antara masyarakat garsel dengan masyarakat Bandung dalam hal perekonomian.

3.Aspek Urbanisasi

Dalam tingkat mobilisasi atau distribusi dan transformasi penduduk, secara mayoritas penduduk di Garut Selatan banyak melakukan interaksi kehidupannya dengan Kabupaten Bandung. Hampir sekitar 90% penduduk Garut Selatan mobilisasi kegiatannya ke Kabupaten Bandung.

Hal itu bisa dibuktikan bahwa ada sekitar 8.500 tenaga kerja asal Cisewu, Caringin dan Talegong yang bekerja di Kab. Bandung. Tenaga kerja usia produktif dari Garut Selatan kebanyakan mencari kerja dan bekerja di Kabupaten Bandung bukan di Garut, hal ini disebabkan orientasi pencarian peluang hidup di Kabupaten Bandung lebih menjanjikan ketimbang mencari pekerjaan di Garut.

Dengan demikian, dari sisi urbanisasi, masyarakat Garsel lebih besar terjadi ke Kab. Bandung tetapi urbanisasi ini berdampak positif bagi pertumbuhan industri manufaktur/ pabrik di Bandung karena tersedianya tenaga kerja (man) yang memadai.

4.Aspek Pendidikan

Hal lain yang menunjukan tingginya ketergantungan antara masyarakat garsel dengan Bandung dapat terlihat dalam sektor pendidikan. Sebagian besar anak sekolah lulusan SMP atau SMA rata-rata melanjutkan sekolahnya (kuliah) ke Bandung, selain yang melanjutkan di daerahnya masing-masing. Mereka lebih memilih sekolah ke Bandung ketimbang sekolah ke Garut. Sekolah SMP/SMA yang dipilih biasanya di Pangalengan, Banjaran, Soreang, Dayeuh Kolot ataupun Baleendah.

Apalagi untuk pendidikan tinggi, hampir 90% lulusan SMA melanjutkan kuliah ke Bandung, baik negeri maupun swasta, seperti STKIP Bale Bandung, STAI Siliwangi, STIMIK, UPI, UNPAD, UIN, UNIKOM, UNJANI, Akper/Akbid, atau perguruan tinggi lainnya. Padahal di Garut pun tidak sedikit perguruan tinggi, ada UNIGA, STKIP, STHG, Mussadadiyah, Muhammadiyah, atau Akper/Akbid.

5.Aspek Politik

Dalam kehidupan politik, penduduk Garut Selatan kebanyakan mengakses informasi dan perkembangan politik dari Kabupaten Bandung. Karena lancarnya arus transportasi dan komunikasi, yang menjadi salah satu faktor pendorong cepatnya transformasi pendidikan politik dari Bandung ke Garut Selatan.

Pendidikan politik dari Kab. Garut hanya terjadi dan dapat dirasakan secara musiman saja seperti dalam pesta demokrasi lima tahunan (pemilu dan pilkada). Bahkan ada hal yang sangat naif, beberapa kejadian yang penting di Kabupaten Garut tidak banyak diketahui oleh masyarakat Garut Selatan seperti proses Pemilihan Bupati dan perkembangan kasus politik seperti Kasus Korupsi Bupati Garut atau kasus APBD-Gate/Jaring Asmara yang menjerat anggota DPRD Garut.

6.Aspek Sosial Budaya

Masalah pengaruh dan perkembangan budaya untuk beberapa daerah di Garut Selatan mengadopsi dari Bandung. Gaya hidup maupun corak budaya moderen masyarakat garsel banyak dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat Bandung, baik pada sisi positif maupun negatif. Tidak bisa dipungkiri, tingginya interaksi mereka memudahkan dan mempercepat terjadinya fenetrasi ataupun asimilasi budaya diantara mereka.

7.Aspek Transportasi dan Komunikasi

Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi dari Garsel ke Bandung atau sebaliknya, telah memudahkan distribusi dan alur komunikasi antara kedua belah pihak. Sarana trapsortasi Garsel ke Bandung dipandang sangat memadai. Hal itu dapat dilihat dari jumlah trayek kendaraan angkutan umum . Trayek dari Cisewu ke Bandung lebih dari 20 kendaraan, sementara ke Garut hanya 2 kendaraan saja. Hal ini menunjukan bahwa mobilisasi ke Bandung lebih tinggi. Belakangan ini sudah dibuka trayek angkutan Caringin/Rancabuaya-Soreang/Bandung.

Dalam kepemilikan kendaraan bermotor (motor & mobil), masyarakat garsel hampir 90% bernomor polisi ‘D’ artinya kendaraan tersebut dibeli dari Kab. Bandung, sehingga Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tersebut masuk dan menjadi sumber PAD Kab. Bandung bukan Kab. Garut.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas telah menunjukan bahwa masyarakat garsel, terutama yang ada di Kec. Cisewu, Caringin dan Talegong dalam aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya, urbanisasi, politik dan transportasi telah bergantung ke Kab. Bandung. Kondisi ini jelas akan semakin baik dan akan lebih cepat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat garsel jika dilegitimasi dengan proses penggabungan wilayah. Dimana secara administratif, de jure dan de facto ketiga wilayah tersebut resmi menjadi wilayah depinitif Kab. Bandung.

Meski dukungan terhadap rencana penggabungan tiga kecamatan di garsel ke Kab. Bandung sudah kuat, tetapi tetap saja proses penggabungan itu memerlukan usaha dan kerja keras serta kebersamaan.

TINJAU ULANG PEMEKARAN GARUT SELATAN

Kabupaten Garut memiliki luas wilayah 3.066,88 KM2, terdiri dari 42 Kecamatan, 424 Desa dan Kelurahan, juga 4.000 Rukun Warga dan 13.051 Rukun Tetangga. Berdasarkan BPS tahun 2007, jumlah penduduk Kab. Garut sebanyak 2.309.773 jiwa dengan jumlah pencari kerja 24.223 orang, adapun jumlah pengangguran terbuka adalah 49.829 jiwa.
Berdasarkan data itulah, elit-elit pro-pemekaran memandang penting agar Kab. Garut dimekarkan menjadi 2 atau 3 kabupaten baru, mengingat wilayah terlalu luas dan jumlah kecamatan atau desa/kelurahan terlalu gemuk. Padahal, luas geografis ataupun banyaknya kecamatan dan desa/kelurahan, bukanlah satu-satunya alasan untuk memekarkan suatu daerah, tapi yang lebih penting adalah ketersediaan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sumber daya manusia dan insfrastruktur yang harus terukur sehingga dengan pemekaran akan membawa dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Berhasil dan tidaknya sebuah proses pemekaran dapat dilihat dari indikator kemajuan daerah bersangkutan. Pertama, aspek ekonomi daerah. Apakah dengan pemekaran akan berdampak terhadap peningkatan perekonomian masyarakat yang ujung-ujungnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, pelayanan publik (public service delivery). Apakah pelayanan publik semakin baik jika dibandingkan sebelum pemekaran. Ketiga, pembangunan demokrasi politik. Sejauhmana perubahan peran serta masyarakat dalam berdemokrasi dan berpolitik.

Keberhasilan dari satu daerah yang dimekarkan tidak terlepas dari apa yang dimiliki oleh daerah bersangkutan sebagai sumber pendapatan asli daerahnya. Bagaimanapun, PAD akan menjadi faktor penentu kemajuan daerah hasil pemekaran. Maju dan tidaknya sebuah daerah baru dapat dilihat dari sebesar apa PAD yang dimilikinya. Daerah pemekaran tidak bisa hanya terpaku pada Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK) yang bersumber dari APBN, tetapi harus bisa hidup dan mandiri dari PAD yang dimilikinya. Lantas dari mana sumber PAD Garut Selatan?

Secara kasat mata PAD Garsel hanya bersumber dari sektor agraris. Garsel diisukan memiliki potensi besar di sektor pertambangan, seperti bijih besi, pasir besi, timah, bahkan emas. Namun hingga saat ini belum ada satu pun perusahaan yang mampu melakukan eksplorasi/eksploitasi terhadap potensi alam tersebut. Impian Garut Selatan bisa maju dan berkembang dari industri pertambangan, masih diragukan karena hingga saat ini belum bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya, apalagi mampu menyerap ribuan tenaga kerja.

Selain daerah agraris, Garsel bisa dikembangkan menjadi daerah perkebunan rakyat, mengingat banyak lahan tidur yang belum dimanfaatkan secara produktif. Selain itu Garsel kaya akan khasanah bahari yang bisa dikembangkan sebagai daerah wisata dan penghasil ikan laut ataupun tambak. Akan tetapi, kondisi Garsel saat ini terhambat oleh keterbatasan dan ketersediaan insfrastruktur. Jalan kabupaten atau jalan arteri, secara umum dalam keadaan rusak. Bahkan masih banyak daerah di Garsel yang terisolir karena belum tersedia akses jalan, hal serupa terjadi dalam masalah penerangan/listrik. Banyak warga desa di Garsel masih menggunakan lampu “cempor” sebagai alat penerangan.

Kekurangan lain yang sangat vital dan menonjol terlihat pada kurangnya pusat pelayanan publik, seperti pusat perkantoran pemerintah, perbank-kan (mayoritas BPR dalam kondisi buruk, bahkan banyak yang bangkrut), sarana pendidikan (terutama pendidikan tinggi), sarana kesehatan (rumah sakit tipe C di Pameungpeuk belum bisa digunakan bahkan sudah mulai rusak, rata-rata tiap kecamatan hanya memiliki puskesmas biasa bukan DTP), belum ada pusat perekonomian baik pasar tradisional maupun pasar moderen, serta terbatasnya tempat wisata, hiburan & rekreasi.

Melihat fakta di lapangan, maka bagi pihak yang bersemangat untuk memekarkan Garsel, sepantasnya kembali meninjau ulang rencana pemekaran tersebut, bagaimanapun semangat pemekaran jangan sampai mengorbankan masyarakat luas ke jurang kemiskinan dan kesengsaraan yang lebih parah. Mari kita bersama-sama dengan kelegowoan dan kearifan untuk menunda pemekaran Garsel sampai semua persyaratan kelayakan terpenuhi dan semua pihak telah siap hidup di daerah otonomi baru.

Kita harus sepakat bahwa gairah untuk memekarkan daerah sudah saatnya harus dihentikan. Banyak daerah yang dimekarkan ternyata kemudian menjadi daerah otonom yang membawa sengsara. Itulah pemekaran yang justru memperluas dan menambah parah kemiskinan rakyat. Pangkalnya karena pemekaran daerah cenderung berbasiskan kepentingan sempit, bahkan dari perspektif kebangsaan mundur jauh ke belakang. Mundur, sebab sangat kuat diwarnai kepentingan primordialisme. Sesungguhnya yang sedang terjadi adalah gairah memekarkan dengan tujuan yang kontradiktif, yaitu ingin menyempitkan daerah sehingga menjadi teritorial otonomi primordialisme tertentu.

PERCEPATAN PEMBANGUNAN, TAK HARUS MELALUI PEMEKARAN

Memang betul bahwa peluang pemekaran dimungkinkan oleh UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Namun aturan ini tidak dibuat dengan kesadaran betapa niat pemekaran tak selalu lurus. Pengalaman banyak daerah menunjukkan nilai tambah lebih dirasakan elit yang mendapat jabatan-jabatan baru. Lalu, solusi apa yang bisa dilakukan? Mengacu pada kelemahan daerah induk yang relatif gagal melakukan pemerataan.

Pertama, maka perlu menyusun kebijakan yang berpihak ke daerah pinggir. APBD selalu disahkan oleh DPRD. Anggota DPRD yang berkepentingan harus lebih ngotot memperjuangkan kepentingan daerahnya. Maka kalau ada ketimpangan anggaran yang patut dipertanyakan adalah sejauh mana kontribusi legislator benar-benar mewakili konstituennya dalam menyusun APBD. Kebijakan yang berpihak ini juga bisa dikawal dengan rencana strategis jangka menengah dan jangka panjang.

Kedua, perlu harmonisasi dalam hal kewenangan yang dimiliki provinsi dengan kabupaten dan kota. Ini hal yang sering dipandang sepele namun sensitif. Sebagai contoh kecil di banyak provinsi masih mengeluarkan izin bagi praktek bidan. Ini aneh karena izin praktek dokter malah sudah dikeluarkan kabupaten dan kota. Contoh lain, ada kabupaten yang mengeluarkan izin pendirian SPBU, padahal provinsi juga membuat aturan yang sama. Jadi tak usah heran jika ada SPBU yang mengantongi izin dari provinsi dan ada pula yang dapat dari pemerintah kabupaten.

Ketiga, Gorontalo patut menjadi positive deviant. Pertumbuhan ekonomi selalu di atas 6% yang berarti di atas angka pertumbuhan nasional. Kuncinya adalah inovasi yang dilakukan pimpinan daerah. Dan ini patut jadi contoh tak hanya bagi daerah yang sudah dimekarkan, namun juga bagi daerah yang berniat untuk memekarkan diri. Artinya, mau daerah itu dimekarkan atau tidak, dengan pimpinan daerah yang kuat, inovatif dan tidak korup, maka daerah itu bakal lekas berkembang. Demikian juga sebaliknya. Mau dimekarkan seperti apapun, jika pimpinan daerahnya berbuat biasa-biasa saja, maka jangan harap daerah bisa tumbuh. Maka, penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah yang mampu menjawab tantangan ini.

DAMPAK PEMEKARAN DAERAH

Dampak dari pemekaran daerah ini adalah, jumlah pemerintah daerah baru di Indonesia berkembang sangat fantastis dan cenderung ‘berlebihan’. Tulisan ini akan mengungkapkan lebih jauh dampak pemekaran pemerintah daerah ini terhadap beban APBN.

Berapa jumlah provinsi di Indonesia? Dahulu, pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab yaitu 27 provinsi termasuk Timor Timur. Namun, sejak adanya UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, makin sulit untuk menjawab pertanyaan tadi. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat bingung dengan pesatnya peningkatan jumlah pemerintah daerah baru. Pada 2001, kabupaten/kota di Indonesia berjumlah 336 (di luar DKI Jakarta) dengan 30 provinsi (bertambah empat provinsi baru). Jumlah ini meningkat hingga awal 2004 terdapat 32 provinsi dengan 434 kabupaten/kota.

Tak dapat dimungkiri bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan tekanan terhadap APBN karena adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerintah pusat untuk membuat kriteria yang jelas dan tegas dalam menyetujui pemekaran pemerintah daerah baru.
Berhubungan dengan kriteria tersebut, pemerintahan Presiden Gus Dur pada akhir 2000 telah mengeluarkan PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa daerah dapat dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat antara lain: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Namun, kriteria tersebut dirasakan kurang bersifat operasional misalnya dalam bentuk standardisasi berapa besar nilai setiap indikator, sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan. Selain itu, prosedur pemekaran berdasarkan hasil penelitian oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut, mengandung potensi yang besar pula untuk suatu ‘tindakan manipulasi’.

Sudah menjadi rahasia umum, dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan timbul posisi dan jabatan baru. Dan ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini tentunya tidak terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah.

APBN DAN TRANSFER

Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam.

Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.
Akan tetapi, hal ini menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai.

Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada masyarakat. Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit.

Pada 2003, daerah hasil pemekaran 2002 sebanyak 22 kabupaten/kota baru telah menerima DAU Rp. 1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp. 2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini tentunya juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga memiliki potensi yang besar pula terjadinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban APBN bertambah dengan adanya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran ini.

Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemerintah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk DAK nondana reboisasi. Salah satu jenis dari DAK non-DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana pemerintahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp. 88 miliar hanya untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau setiap daerah pemekaran akan mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar.

Jumlah itu terus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp. 228 miliar. Terlihat jelas bahwa setiap ada pemekaran daerah, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah provinsi. Fakta telah menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota di provinsi baru tersebut.

Penjelasan singkat di atas mengembalikan kita kepada konsep dasar dalam ilmu ekonomi, yaitu opportunity cost. Jelas, bahwa adanya pemekaran telah menimbulkan opportunity cost yang sangat besar pada penyediaan infrastruktur dan pelayanan kepada masyarakat. Kita semua menyadari bahwa pembangunan di daerah bukanlah pembangunan aparat pemerintah daerah, melainkan merupakan pembangunan masyarakat daerah secara keseluruhan.

Pemerintah pusat perlu mengambil tindakan segera untuk menghentikan tuntutan pemekaran daerah yang sangat tidak terkendali ini. Jika pemekaran daerah tidak didasarkan pada kriteria yang tegas dan terukur, maka kondisi hanya menciptakan komoditas dagangan politik belaka. Sudah saatnya pemerintahan di Indonesia mengalokasikan dananya yang sangat terbatas tersebut kepada sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan peningkatan standar kehidupan masyarakat.

Wakil Ketua MPR-RI, A.M. Fatwa mcnyambut baik dan mendukung ajakan Presiden untuk bersama-sama antara Pemerintah, DPR dan DPD melakukan evaluasi terhadap daerah otonomi baru untuk mengetahui manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Hasil kajian tersebut juga dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya mengenai perlu tidak dilakukan pemekaran suatu wilayah.

Pemekaran wilayah baru, menurut Fatwa memang harus dikaji kembali dari berbagai aspek. Kalau pemekaran wilayah itu memang memenuhi persyaratan yang diatur perundangan yang ada dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat wilayah tersebut, bisa saja dilakukan. Yang penting jangan sampai pemekaran wilayah dilakukan hanya karena untuk memenuhi tuntutan para elit politik yang haus akan kekuasan semata. Untuk itu tentunya persyaratan yang ketat dapat saja diterapkan agar tidak terjadi pemborosan keuangan negara

Menurut A.M Fatwa, seyogyanya DPD dapat saja mengambil prakarsa pembuatan aturan tentang pembentukan, pemekaran, dan gabungan wilayah. Hal ini sangat diperlukan sebagai acuan agar keinginan pemekaran wilayah memiliki parameter-parameter yang jelas dan sebagai ukuran menilai tingkat kinerja bagi daerah yang dimekarkan. Dengan adanya aturan perundangan, keinginan pemekaran suatu wilayah tidak dapat di dasarkan pada tuntutan para elit politik, tetapi dilihat prospeknya bagi kemaslahatan rakyat dan untuk mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PEMEKARAN GARSEL VERSUS SEMANGAT MORATORIUM

Aksi kekerasan di Sumatera Utara yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat (3/1) merupakan momentum untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru. Moratorium atau penghentian itu diperlukan untuk membenahi rancangan dasar kebijakan pemekaran daerah yang selama ini telah melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik.

Peristiwa unjuk rasa rusuh yang berujung kematian tersebut terkait desakan pendukung bakal Provinsi Tapanuli terhadap DPRD agar segera mengeluarkan rekomendasi pemekaran, membuat miris semua pihak. Betapa upaya pemekaran wilayah yang niatnya untuk kepentingan rakyat agar lebih sejahtera namun diperjuangkan dengan cara kasar.
Dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, menyimpulkan pemerintah mesti secepatnya mengevaluasi daerah otonomi baru dan sekaligus menyiapkan kerangka besar sebagai panduan pemekaran wilayah. Mardiyanto menyebutkan, kerangka pemekaran itu masih dipersiapkan. Sampai dengan 2025, jumlah provinsi di Indonesia diprediksi bisa mencapai 40 provinsi.

Sebaiknya pemerintah jangan menunda pembentukan daerah baru. Setelah pemilihan legislatif dan presiden, jangan dibuka lagi kesempatan untuk mengajukan proposal pemekaran daerah. Jika hanya ditunda, masyarakat di daerah akan melihat ada peluang untuk memperjuangkan pemekaran daerah. Pemerintah harus bisa lebih tegas. Kalau tidak, tuntutan dari bawah akan menguat terus dan pemerintah tidak akan mampu menghadang. Hadangan selalu jebol seperti pengalaman selama ini.

Dengan kejadian di Medan itu, DPR dan pemerintah harus berani mengambil keputusan politik menetapkan moratorium. Tingginya konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh lemahnya kontrol pemerintah pusat dan luasnya partisipasi masyarakat terhadap pemekaran daerah. Hal ini terlihat dari persiapan dan uji kelayakan yang lebih banyak diserahkan kepada masyarakat. Akibatnya, kebijakan ini pun menjadi sangat mudah dimanfaatkan dan dimanipulasi.

Mudahnya pengajuan aspirasi pemekaran wilayah membuat banyak pihak berlomba-lomba memanfaatkannya dengan tujuan mencari keuntungan. Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, yaitu untuk mengembangkan daerah, menjadi celah untuk mencari keuntungan. Setiap kali pemerintahan daerah wilayah baru terbentuk, dana alokasi umum dari pusat akan langsung mengalir meski dalam perjalannya rentan diselewengkan.

Menurut peneliti otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, dan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, pertimbangan politik masih menjadi acuan utama pemekaran sebuah wilayah otonom. Kerangka normatif yang menjadi prasyarat pembentukan daerah otonom baru justru terabaikan.

Kriteria pemekaran dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran. Namun, aturan itu tidak berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi. Semua kriteria yang sudah terukur jelas menjadi kabur ketika prosesnya menjadi sangat politis. Dalam nuansa politik yang kental itu, uang menjadi faktor dominan.

Kuatnya politisasi dalam pemekaran daerah membuat tujuan pemekaran untuk menciptakan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tak terperhatikan. Pemekaran daerah seharusnya memerhatikan kondisi bangsa yang masih dalam kondisi transisi, dalam politik maupun ekonomi. Karena itu, kemampuan keuangan negara yang lemah harus menjadi faktor utama membentuk daerah otonom baru.

Sejak tahun 1999, otonomi daerah memang dihajatkan untuk bertumpu pada kabupaten dan kota. Namun sayang, ”kue” yang dihasilkan provinsi malah jauh lebih besar. PAD kabupaten dan kota palinglah hanya dari pajak hotel dan restoran, serta pajak galian C yang agak lumayan. Sementara provinsi mendapat PAD salah satunya pajak kendaraan bermotor yang jumlahnya sungguh besar.

Singkatnya, otonomi daerah memperbesar kewenangan tanpa memperkuat struktur keuangan kabupaten dan kota. Wajar pula lantas di banyak kabupaten kota muncul retribusi resmi maupun tak resmi yang aneh-aneh untuk mendatangkan PAD, baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) maupun Keputusan Bupati lainnya. Buntutnya daya saing daerah sebagai tujuan investasi sulit didongkrak.

Dari sini, penulis ingin menjelaskan bahwa ketimpangan sentra dan pinggir ini murni soal struktur. Ini sekaligus membantah pendapat yang menyatakan suatu daerah perlu dimekarkan dengan alasan etnis dan agama. Maka penyelesaian yang dilakukan harusnya juga bersifat struktur. Toh negara ini dibangun bukan untuk membangun sekat primordial. Jika dirunut dari masalah tadi, maka pemekaran wilayah dapat dibaca sebagai upaya instan untuk menyelesaikan masalah. Dan jalan pintas pasti selalu mahal. Hitung saja. pemekaran berarti ada lembaga-lembaga baru. Ada posisi gubernur, anggota DPRD, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang perlu diisi. Ini perlu dibiayai tidak hanya penghasilannya, tapi juga pengadaan kantor, peralatan, perlengkapan, kendaraan dinas, perjalanan dinas, kunjungan kerja, dan masih banyak lagi.

Dengan pengeluaran yang banyak tadi, maka seharusnya kemampuan daerah membiayai diri dari berbagai sektor menjadi sangat penting. Akan jadi aneh jika potensi daerah yang masih jauh dari kesiapan dijadikan bakal sumber pendapatan. Nah, perihal kemampuan daerah inilah yang tidak benar-benar jadi pertimbangan. Buktinya, hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan justru daerah baru mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.

MENINJAU KEMASLAHATAN PEMEKARAN GARUT SELATAN

Rapat Paripurna DPRD Kab. Garut telah menyetujui Garut Selatan (Garsel) sebagai kabupaten baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Garut. Persetujuan tersebut tertuang dalam Keputusan DPRD Kab. Garut No.4/2009 tanggal 9 Juni 20009 setelah mendengarkan pandangan semua fraksi yang ada di DPRD Garut terhadap 7 Raperda yang salah satunya membahas tentang rencana pembentukan Kab. Garsel.

Dalam paripurna tersebut diputuskan 16 kecamatan akan masuk ke dalam Kab. Garsel, yakni kecamatan Cikajang, Cihurip, Singajaya, Banjarwangi, Peundeuy, Cibalong, Cisompet, Cikelet, Pameungpeuk, Pamulihan, Pakenjeng, Bungbulang, Mekarmukti, Caringin, Cisewu dan Talegong. Adapun mengenai penetapan pusat ibukota Kab. Garsel akan ditentukan lewat Feasibillity Study yang tengah dilakukan tim LPPM UNPAD.

Pasca-penetapan pemekaran Kab. Garsel oleh DPRD Kab. Garut, pro-kontra pun muncul tak bisa terelakan. Sedikitnya tiga kecamatan di Kabupaten Garut bagian selatan, yakni Kec. Cisewu, Caringin, dan Talegong, menolak pemekaran Kab.Garsel. Isu penolakan tersebut kian santer dan menjadi polemik di berbagai media massa.
Alasan penolakan tersebut didasarkan pada insfrastruktur yang mendukung pemekaran belum dimiliki oleh Garsel, baik Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga muncul anggapan bahwa pemekaran Garsel tidak akan membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial, politik dan budaya, di wilayah Garsel. Bahkan pemekaran tersebut hanya akan memberatkan dan menghambat laju pertumbuhan pembangunan Garsel. Pada sisi lain stakeholder di Garsel pun tidak banyak dilibatkan dalam proses pemekaran tersebut.

Dilain pihak, semangat pemekaran Kab. Garsel bertentangan dengan Instruksi Presiden RI untuk meniadakan pemekaran wilayah sampai waktu yang tidak bisa dipastikan. Moratorium pemekaran ini diambil oleh pemerintah mengingat 85% daerah hasil pemekaran telah gagal menjalankan fungsinya sebagai daerah otonomi baru. Daerah otonomi baru tersebut menjadi lebih miskin, penuh ketidakpastian, rawan konflik dan semakin memperlebar celah kesenjangan sosial masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sejak tahun 1999 hingga 2007 telah terbentuk 173 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota. Diluar itu masih ada 16 usulan baru. Hasil evaluasi terhadap 98 daerah otonom tersebut, ternyata 76 daerah bermasalah. Dilain pihak banyaknya pemekaran daerah dengan sendirinya menambah beban keuangan negara, karena APBN harus mengucurkan DAU dan DAK yang jumlahnya di atas 1 triliun untuk setiap daerah pemekaran.

Ada beberapa data yang menggambarkan kondisi pembentukan daerah otonom baru tidak memberi perubahan kepada masyarakat. Pertama, pembentukan daerah otonom baru memberikan implikasi pengelolaan kelembagaan nasional. Daerah otonom menjadi bertambah jumlahnya sehingga menghasilkan struktur yang lebih. Namun, bertambahnya struktur membawa konsekuensi terhadap pengelolaan sumber daya kelembagaan.
Dalam bidang keuangan, misalnya, memberi implikasi kebijakan fiskal nasional. Dengan alokasi anggaran yang harus memerhatikan kemampuan anggaran negara, juga harus memperoleh anggaran perimbangan, mengakibatkan pemerintah pusat memilih merasionalisasi alokasi anggaran.

Kedua, dalam pembangunan kelembagaan daerah. Beberapa daerah otonom mengalami masalah bidang pembangunan kelembagaannya. Hal itu berkaitan dengan sumber daya finansial dan administratif. Dalam sumber daya finansial, misalnya, kinerja keuangan daerah pemekaran baru sangat memprihatinkan. Bisa dipahami membangun kapasitas sumber daya yang mampu mewujudkan tujuan dari pembentukan daerah otonom baru itu tidak mudah. Perlu rangkaian proses yang direncanakan secara matang dan terarah.
Ketiga, dalam penggerakan kapasitas daerah. Beberapa daerah otonomi baru hasil pemekaran justru mengalami masalah dalam menggerakan kapasitas daerahnya. Penyebabnya setelah pemekaran kerja sama ekonomi masyarakat melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antardaerah menguat.

BUPATI GARUT DIMINTA ADIL DALAM MENYIKAPI ISU PEMEKARAN ATAU PENGGABUNGAN DAERAH

Sebagaimana kita ketahui, beberapa orang yang mengatasnamakan tokoh masyarakat Garut Selatan, pada Senin (6/9) telah melakukan Press Confrence di RM Adirasa Garut, yang pada pokoknya mereka mengklaim bahwa masyarakat Garut Selatan, terutama yang ada di Kec. Cisewu, Talegong dan Caringin secara keseluruhan telah sepakat menerima pemekaran dan menuduh statement kami selama ini sebagai kebohongan publik. Sehubungan dengan hal tersebut kami merasa berkepentingan untuk meluruskan tentang fakta dan data dilapangan, sebagai berikut :
Pertama, Forum Warga Cisewu yang disingkat FWC adalah organisasi kemasyarakatan yang didalamnya diwakili oleh tokoh masyarakat, mahasiswa, pemuda, pelajar dan stakeholder lainnya yang mewakili masyarakat di Kec. Cisewu, Caringin dan Talegong, baik yang domisili di lokal maupun di luar daerah. Sehingga kami memandang statement kami tentang penolakan pemekaran atau penggabungan daerah lebih representatif dan tidak individual.
Sementara itu, saudara Oong Somara (Cisewu, Tenaga Pengajar), Cep Awaludin (Talegong, Tenaga Pengajar) dan Asur Suryana (Caringin, Kades Cimahi) hanya mengatasnamakan diri sebagai tokoh masyarakat yang tidak memasyarakat dan tidak melembaga, serta ketiga-tiganya memiliki ikatan family dengan saudara Gunawan Undang (Ketua PMGS), sehingga penilaian mereka tentang pemekaran tidak objektif dan tidak merepresentasikan sikap masyarakat.
Kedua, Kami menyesalkan pernyataan Kabag Humas Pemda Garut Dik-dik Hendrajaya yang menyatakan bahwa Bupati Garut (HM, Aceng Fikri) akan bersikap sama dengan DPRD Garut yakni menyetujui pemekaran Garut Selatan sebagai daerah otonomi baru. Menurut kami pernyataan tersebut tidak tepat pada proporsinya dan terburu-buru, karena diangap telah mendahului kebijakan Bupati yang belum tentu sama dengan apa yang dinyatakan saudara Dik-dik Hendrajaya.
Ketiga, kami meminta agar Bupati Garut HM Aceng Fikri dapat bersikap adil, arif dan bijaksana serta memperhatikan keinginan semua pihak dalam menyikapi masalah pemekaran Garsel termasuk adanya permintaan beberapa kecamatan untuk bergabungan ke Kab. Bandung. Karena kami yakin, Bupati Garut akan memberikan kebijakan dan keputusan yang bisa mengakomodir dan memberikan solusi terbaik untuk semua pihak, terkait dengan permasalah-permasalahan di atas.
Keempat, kami berharap agar pihak-pihak yang terkait dengan masalah pemekaran dan/atau penggabungan daerah bisa duduk bersama untuk mencari solusi bersama atas perbedaan pemahaman serta visi-misi dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, mungkin hal ini bisa difasilitasi oleh Pemerintah Kab. Garut maupun Kab. Bandung.
Duduk bersama untuk mencari solusi terbaik, harus dilakukan karena pada dasarnya semua pihak memiliki tujuan yang mulia yakni berusaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, adapun jalannya mungkin melalui pemekaran atau penggabungan daerah. Pada hakikatnya pemekaran atau penggabungan daerah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Kelima, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Kab. Bandung yang telah banyak membantu dan memfasilitasi warga kami yang menjadi tenaga kerja di Kab. Bandung, penyediaan fasilitas pendidikan, memberikan pelayanan kesehatan, jasa transportasi, pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan kegiatan perekonomian lainnya.
Keenam, jika masalah pemekaran dan penggabungan daerah di garut Selatan tidak menemukan titik temu, maka kami meminta untuk dilakukan REFERENDUM. Terutama untuk membuktikan bahwa masyarakat 3 kecamatan menolak pemekaran dan memilih bergabung ke Kab. Bandung sehingga bisa dipastikan bagaimana sikap mereka.
Demikian tanggapan kami, atas segala perhatian dan permaklumannya kami sampaikan terima kasih.

Pemekaran: Warga Dukung Penuh Garut Selatan

Kamis, 2 Juli 2009 | 17:48 WIB

Garut, Kompas - Tokoh masyarakat Kecamatan Caringin, Talegong, dan Cisewu membantah klaim sejumlah warga setempat yang menolak pembentukan Kabupaten Garut Selatan dan ingin bergabung dengan Kabupaten Bandung. Klaim itu dinilai bukan reprentasi aspirasi mayoritas masyarakat di tiga wilayah itu.

"Sah-sah saja apabila ada warga yang tidak setuju dengan pemekaran Garut selatan. Namun, hal itu bukanlah gambaran keinginan warga secara umum," kata tokoh masyarakat Desa Caringin Oong Somara, Rabu (1/7) di Garut.

Beberapa waktu lalu, Ketua Komite Masyarakat Tolak Pemekaran (KMTP) Garut Selatan April Parlindungan mengklaim bahwa masyarakat Kecamatan Caringin, Talegong, dan Cisewu lebih memilih bergabung dengan Kabupaten Bandung daripada membentuk Kabupaten Garut Selatan (Kompas Jawa Barat, 26/6).

Sementara itu, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Kecamatan Talegong Encep Awaludin menyayangkan tindakan April yang mengatasnamakan warga Talegong. Padahal, yang bersangkutan bukan warga Kecamatan Talegong.

"Berdasarkan pembicaraan saya dengan April, Rabu pagi, pernyataan aspirasi penggabungan ke Kabupaten Bandung yang ia dengungkan didasarkan atas suara dua warga yang pernah ia wawancarai tahun 2007. Jadi, aspirasi itu sekarang sudah tidak aktual lagi," Encep menegaskan.

Dihubungi terpisah, Ketua KMTP Garut Selatan April Parlindungan menyatakan siap membuktikan klaim dukungan masyarakat untuk bergabung dengan Kabupaten Bandung bila ditentukan melalui jajak pendapat. Dengan demikian, akan lebih mudah diketahui aspirasi masyarakat yang sesungguhnya.

"Gerakan kami tidak mendapatkan dukungan pendanaan APBD, berbeda dengan gerakan pemekaran. Namun, kami akan tetap memperjuangkan aspirasi kami karena diklaim sepihak sebagai bagian yang mendukung pemekaran wilayah," ujar April.

Mengenai bentuk tertulis dari dukungan masyarakat tersebut, April mengakui ia tidak memilikinya. Namun, pihak KMTP Garut Selatan pernah melaksanakan konsolidasi di tingkat masyarakat dan sudah didokumentasikan dalam bentuk foto. (adh/eld)

Pamekaran Ulah Mecenghulkeun Katalangsara

Kahayang sajumlah pihak anu ngotot nyieun Kabupatén Garut béh Kidul diniléy sajumlah masarakat Kabupatén Garut, minangka hiji hal lalampahan anu baris mecenghulkeun katalangsara anyar. Lamun Kabupatén Garut béh kidul kabentuk, baris mecenghul pausahaan ka konservasi alam sarta “kajajahna” warga pituin Garut béh Kidul ku kaum pendatang.

Salah saurang aktivis anu bajoang ngabéla kautuhan masarakat Garut, Kokon Darmawan ngajéntrékeun, kahayang nyieun Kabupatén Garut béh Kidul dipikanyaho ngan ambisi maranéhanana-maranéhanana anu hayang manggung dina kancah pulitik, anu ngabogaan kapentingan kaum pendatang ti luar Jabar. Sumawona, loba di antara maranéhanana kamari gagal kapilih dina Pemilu Legislatif pikeun Kabupatén Garut, ku kituna hayang néangan tempat pikeun manggung sorangan ngaliwatan diwangunna Kabupatén Garut béh Kidul.

Manéhna nyebutkeun, sagala rupa pamekaran wewengkon tétéla umumna kurang mawa mangpaat positif pikeun warga pituin satempat. Manéhna nyontoan, diwangunna Propinsi Banten anu dimekarkan ti propinsi Jabar, tétéla ngan mecenghulkeun kamiskinan anyar di Kidul Banten alatan lahan-lahan tatanén, pileuweungan, sarta pakebonan satempat loba dirakrak kaum pendatang.

Bagai Pungguk Ketiban Bulan

Oleh Kokon Dharmawan *)

Judul : Produksi Siaran untuk Radio Komunitas
Penulis : Masduki (Adink)
Penerbit : Combine Resource Institution
Tahun : Cetakan pertama tahun 2003
Tbeal : iv + 108 halaman

"Bagaikan pungguk yang ketiban bulan," itulah sebuah ungkapan yang tepat ketika membaca buku panduan bertajuk Produksi Siaran untuk Radio Komunitas, yang disusun oleh Masduki (Adink), seorang praktisi radio yang dekat dengan gerakan pengembangan radio komunitas (rakom). Buku panduan seperti inilah yang sangat dinantikan dari dulu oleh kalangan pengelola rakom.

Pentingnya buku panduan untuk pengelola radio komunitas didasarkan pada fakta tentang masih terbilang barunya kiprah rakom di kancah dunia penyiaran. Realitanya, masih banyak pengelola rakom yang belum bisa menata dan mengatur dirinya dalam mengemban perannya sebagai radio milik warga yang harus mampu memberikan segala akses informasi kepada warga tersebut.

Lewat bahasanya yang lugas dan tidak bertele-tele, buku ini telah banyak menjawab beberapa masalah di atas. Melalui alur penulisannya yang runtut, isi buku ini menjelaskan bagaimana sebuah rakom dapat berperan aktif dalam komunitasnya. Dimulai dari tahap perencanaan pembuatan radio, proses pembuatan radio, peran dan fungsi radio.

Selain itu juga tentang tata kelola rakom, maupun proses kegiatan penyiaran rakom, seperti bagaimana proses mencari informasi: wawancara, investigasi, dan liputan langsung; mengolah informasi: pengumpulan berita, editing; dan menyampaikan kembali informasi tersebut kepada komunitas sasarannya; semuanya telah dijelaskan dengan gamblang. Bahkan, buku ini juga membahas tentang apa itu radio jika dilihat dari segi kelebihan dan kelemahannya jika dibandingkan dengan media lain.

Gambar-gambar ilustrasi yang mengisi buku ini, ikut mempertajam makna dialog dan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan tulisan yang pendek, ditambah dengan ilustrasi yang tepat dan bentuk tuturan dialog yang sederhana, membuat pembaca semakin mengerti maksud dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.

Misalnya, ilustrasi orang yang sedang bersiaran di studio beserta alat-alat siarannya, atau orang yang sedang melakukan wawancara di lapangan beserta narasumbernya, telah menarik imajinasi pembaca untuk melihat sebuah realita keseharian mereka yang biasa dilakukannya. Yang pasti, segala realita keseharian dan kegiatan maupun perilaku mereka selaku insan radio dapat tergambarkan dengan jelas pada isi buku ini.

Buku ini akan makin menarik, jika tata letaknya diatur sedemikian rupa. Ada beberapa halaman yang tata letak gambarnya atau tulisanya telah membuat mata si pembaca meloncat-loncat atau dibuat miring. Padahal hal seperti ini akan membuat si pembaca tidak nyaman dalam membaca dan menjadi cepat lelah.

Terlalu banyak ruang kosong merupakan masalah juga. Padahal halaman-halaman kosong tersebut bisa diisi dengan tulisan lain yang bisa memperjelas atau mempertajam inti pembahasan. Selain itu, bentuk tulisannya pun cukup berbeda-beda, sehingga ada bagian yang terlalu mencolok. Dengan demikian, bagian yang tidak mencolok akan terlewatkan oleh pembaca, padahal bagian itu memiliki nilai penting untuk dibaca.

Untuk memperjelas isi kandungan buku ini, alangkah lebih baiknya lagi jika dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang berisi contoh-contoh profil sebuah rakom, contoh format program siaran rakom yang telah dijalankan, atau contoh naskah berita dan contoh-contoh lainya yang bisa dijadikan sebagai bahan kajian dan perbandingan oleh para pengelola rakom. Karena dengan contoh seperti itu, akan makin mempertajam dan memperjelas pemahaman pembaca. Walau demikian, buku ini telah mampu memberi konstribusi sangat besar bagi perjalanan dan proses berlangsungnya kehidupan sebuah rakom.

*) Fasilitator dan Pegiat Radio Komunitas RASI FM Cisewu, Garut, ]awa Barat

Pemekaran Jangan Lahirkan Kemiskinan Sabtu, 27 Juni 2009 , 07:03:00

GARUT, (PRLM).- Keinginan sejumlah pihak yang ngotot membentuk Kabupaten Garut Selatan dinilai sejumlah masyarakat Kabupaten Garut, sebagai sesuatu perjalanan yang akan memunculkan kemiskinan baru. Jika Kabupaten Garut Selatan terbentuk, akan muncul perusakan terhadap konervasi alam dan "terjajahnya" warga asli Garut Selatan oleh kaum pendatang.

Salah seorang aktivis yang berjuang mempertahankan keutuhan masyarakat Garut, Kokon Darmawan mengatakan, keinginan membentuk Kabupaten Garut Selatan diketahui hanya ambisi mereka-mereka yang ingin manggung dalam kancah politik, yang ditunggangi kepentingan kaum pendatang dari luar Jabar. Apalagi, banyak di antara mereka kemarin gagal terpilih dalam Pemilu Legislatif untuk Kabupaten Garut, sehingga ingin mencari tempat untuk manggung sendiri melalui dibentuknya Kabupaten Garut Selatan.

Ia menyebutkan, berbagai pemekaran wilayah ternyata umumnya kurang membawa manfaat positif bagi warga asli setempat. Ia mencontohkan, dibentuknya Provinsi Banten yang dimekarkan dari provinsi Jabar, ternyata hanya memunculkan kemiskinan baru di Selatan Banten akibat lahan-lahan pertanian, kehutanan, dan perkebunan setempat banyak dibongkar kaum pendatang. (A-81/A-147)***

Untuk Pertama Kali Calon Perseorangan di Jabar Memenangi Pilkada

05 January 2009
03:45:06 WIB
BANDUNG- Aceng Fikri-Diky Candranegara keluar sebagai bupati dan wakil bupati terpilih dalam Pilkada Garut Jabar. Pasangan dari jalur perorangan ini memperoleh 532.263 suara (55,84 persen), mengungguli Rudy Gunawan-Oim Abdurohim yang meraih 423.263 suara (44,16 persen) serta diusung Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pasangan dari jalur perorangan ini merupakan yang pertama kali di Jabar yang memenangi Pilkada.

Sebelumnya calon perorangan pertama yang memenangkan Pilkada terjadi di wilayah Kalimantan Barat. Pasangan perorangan tersebut adalah Muda Mahendrawan- Andreas Muhrotien yang memenangkan Pilkada Kabupaten Kubu Raya. Pasangan dari jalur perorangan ini, memenangi pilkada putaran kedua . Pasangan Muda- Andreas ini ditetapkan ditetapkan dalam rapat pleno terbuka Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kubu Raya , Jumat (19/12). Pasangan perorangan ini mengalahkan Sujiwo – Raja Sapta Oktohari dengan meraih 124.738 suara atau 58 persen. Pada putaran pertama pasangan Muda-Andreas berada diperingkat atas (mendapat 26,05 persen suara) dengan mengalahkan tujuh pasangan lainnya, termasuk Sujiwo-Okto yang memraih 19,74 persen.

“Kemenangan calon perorangan di Kabupaten Garut adalah fenomena politik tersendiri. Mereka merupakan satu-satunya calon peroranag di Jabar yang bisa memenangi pilkada,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut, Mohammad Iqbal Santoso, akhir bulan lalu di Garut.

Iqbal menduga kekalahan Rudy-Oim dalam pilkada putaran kedua ini akibat mereka tidak memiliki pendukung massif, mengingat keduanya bukan kader dari partai poliitik (parpol) pengusung. “Hal itu juga mencerminkan ketidakpercayaan rakyat Garut terhadap parpol,” ujarnya

Rakyat garut, menurut Iqbal, mengalami trauma akibat kasus korupsi yang melibatkan Bupati Agus Supriyadi dan puluhan anggota legislatiif Garut. “Rakyat juga melihat calon perseorangan sebagai sosok yang bebas dari birokrasi dan lebih muda sehingga diharapkan membawa perubahan,” ujarnya menambahkan.

Juru bicara pasangan Rudy – Oim, Kokon Darmawan, mengatakan, kemenangan calon perorangan merupakan pukulan telak bagi parpol di Garut. Meski demikian kemenagan itu diperkirakan lebih dipengaruhi factor popularitas calon (keratisan Diky Candra). (fxp/kps)

Mikrofon Tua Jadi Lambang Gema Proklamasi

WARTAWAN senior Rosihan Anwar (tengah) meletakkan batu pertama pembangunan
Monumen Gema Proklamasi di Jln. Diponegoro Kota Bandung,
Minggu (24/8).* USEP USMAN NASRULLOH

GEMA proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekarno didampingi Mohammad
Hatta di Jln. Pegangsaan Timur Jakarta, 63 tahun silam atau
tepatnya Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB, hanya didengar sebagian rakyat di negeri ini.
Oleh karena itu, Yusuf Ronodipuro yang
mendapat salinan teks proklamasi dari Mohammad Hatta, merasa perlu untuk kembali
membacakan naskah proklamasi melalui corong radio di
Jakarta pada pukul 19.00 WIB.

Naskah proklamasi yang kembali dibacakan Yusuf Ronodipuro, didengar oleh
Sakti Alamsyah, R.A. Darja, dan Odas Somadilaga. Ketiganya merasa
belum yakin siaran itu akan terdengar hingga ke pelosok negeri ataupun ke mancanegara.

Meski dihalang-halangi tentara Jepang, dengan menggunakan bahasa Indonesia, Inggris,
dan bahasa Sunda, ketiganya mengulang-ulang
membacakan naskah teks proklamasi melalui siaran RRI Bandung. Selain teks proklamasi,
dengan menggunakan pemancar di Palasari, secara
bergantian mereka meyakinkan rakyat Indonesia bahwa Indonesia telah merdeka,
hingga akhirnya rakyat Indonesia benar-benar mendengar dan
mengetahui negaranya sudah merdeka.

Rangkaian sejarah yang disampaikan dalam bentuk fragmen dikemas dengan balutan
seni tradisi Sunda bertempat di Auditorium RRI Bandung, Jln.
Diponegoro Bandung, Sabtu (23/8) membuat sejumlah sesepuh RRI ataupun pelaku
sejarah lainnya yang hadir seolah diajak bernostalgia. Selain
Dirut LPP RRI Parni Hadi, sejumlah kepala ataupun mantan kepala RRI yang hadir,
merasa bangga karena mereka merupakan bagian dari sejarah.

Berdasarkan catatan sejarah Radio Republik Indonesia (RRI), teks proklamasi yang
kembali dibacakan almarhum Sakti Alamsyah, R.A.
Darjan, dan Odas Somadilaga yang disiarkan di Bandung, menggunakan pemancar
berkekuatan 10 kilowatt di Palasari sehingga kumandang
proklamasi terdengar ke hampir seluruh dunia. Mulai dari Inggris, Amerika, Australia,
ndia, Irak, dan banyak lagi. Siaran itu pun
mendapat respons dari BBC London, VOA, All India Radio, dan Radio Ceylon.

Imron Rosadi, salah seorang saksi sejarah yang saat itu berada di Bagdad Irak mengatakan,
ia telah mendengar proklamasi kemerdekaan RI
melalui radio yang dipancarkan dari Bandung dan segera mengabarkan berita bahagia
tu ke sebelas rekannya di sana. "Saya malam itu
mendengar naskah proklamasi dari Radio Bandung. Begitu gembiranya saya
seolah-olah proklamasi itu adalah istigasah dan doa kami," ucapnya.

Menurut Dirut LPP RRI Parni Hadi, pemaknaan sejarah tentunya bukan hanya untuk
nostalgia masa yang telah lewat, melainkan juga untuk
menggambarkan betapa sulitnya meraih kemerdekaan dari penjajah sehingga hasil
perjuangan itu jangan disia-siakan oleh perbuatan yang
menghancurkan bangsa. "Isi monumen dengan semangat juang untuk memerangi
korupsi yang menjadi perang yang tak kalah sulit dan dahsyat
dibandingkan dengan perang merebut kemerdekaan," ucapnya.

Oleh karena itu, untuk mengingat jasa-jasa para pejuang angkasawan
(sebutan bagi penyiar RRI), Kepala RRI Bandung Bochri Rachman
berinisiatif untuk membangun Monumen Gema Proklamasi di Bandung.
"Karena di sinilah (Bandung) gema proklamasi diudarakan hingga
terdengar hingga ke seluruh pelosok negeri bahkan luar negeri," ujar Bochri Rachman.

Pembangunan monumen yang dirancang Gus Balon juga mendapat dukungan
dari wali kota terpilih Dada Rosada, mantan Dirut Perjan RRI Suryanta
Saleh, Ketua LVRI Bandung R. Sudirman, mantan Kepsta RRI Bandung Tjutju Tjuarna,
mantan Kepsta RRI Jakarta Baskara, dan Kokon Darmawan.
Selain itu, 58 RRI se-Indonesia dan radio-radio swasta yang tergabung dalam PRSSNI
dan ARSSLI turut memberikan dukungan.

Menandai dibangunnya Monumen Gema Proklamasi berbentuk mikrofon tempo dulu
setinggi 8 meter, Minggu (24/8) dilakukan peletakan batu pertama
di taman yang mempertemukan Jln. Diponegoro dan Jln. Trunojoyo Bandung. "Ini bukan
hanya sebagai penanda bahwa di sini (Bandung) gema
proklamasi pernah dikumandangkan dan RRI turut ambil bagian dalam kemerdekaan,
tetapi monumen ini pun dibangun untuk menandai bahwa
sadar sejarah perjuangan itu terus dikobarkan dari generasi ke generasi,"
ujar Dirut LPP RRI Parni Hadi.

Monumen Gema Proklamasi berbentuk mikrofon tempo dulu nantinya akan memperlihatkan
relief para pejuang radio yang tengah membacakan naskah
proklamasi. Selain itu, ada pula relief Abdurrachman Saleh yang juga pejuang radio
sekaligus pendiri RRI.

Selain peletakan batu pertama, seremoni itu pun ditandai peletakan bagian
fondasi yang tanah dan airnya berasal dari 58 kota/kabupaten
yang tersebar dari Pulau Sumatra sampai Papua. (Retno HY/Vebertina/"PR")***

Keinginan Bergabung ke Bandung Menguat

Keinginan warga Garut Selatan (Garsela) terutama yang ada di Kec. Caringin, Talegong, dan Cisewu untuk bergabung dengan Kab. Bandung semakin kuat. Hal itu mengemuka ketika elemen masyarakat di tiga kecamatan tadi melakukan audiensi dengan Pansus Pembentukan Kab. Garsela di Ruang Komisi A DPRD Garut, Senin (5/11).
Salah satu alasan yang mengemuka, karena akses warga ke Kab. Bandung dari beberapa sektor lebih mudah bila dibandingkan dengan akses ke Kota Garut. Sedangkan untuk pembentukan Kab. Garut Selatan sendiri dinilai warga masih belum memungkinkan, karena terkendala minimnya kelengkapan berbagai sarana infrastruktur di wilayah Garut selatan.
Hadir pada pertemuan tersebut, Ketua Pansus Alirohman dan Sekretaris Suryaman Anang Suatma. Sedangkan dari Garsela, hadir antara lain Sekretaris Forum Warga Cisewu Kokon Darmawan, Ketua Himpunan Pemuda Pelajar Masyarakat Garut (Hipmaga) April Parlindungan.
Menurut Kokon, warga di Kec. Cisewu, Talegong, dan Caringin memilih bergabung dengan Kab. Bandung, karena akses warga ke Bandung lebih baik, lebih dekat, dan lebih mudah daripada ke Garut, baik sektor ekonomi menyangkut penjualan hasil bumi maupun pendidikan.
“Untuk menjual hasil panen tomat misalnya, kita jelas lebih memilih ke Bandung daripada ke Garut. Sarana angkutan juga lebih banyak ke Bandung,” ujarnya.
Kondisi seperti itu membuat warga dari tiga kecamatan di wilayah Garut selatan, kebanyakan berurbanisasi ke Kota Bandung daripada ke Kota Garut. Hubungan mereka dengan Kab. Garut hanyalah sebatas urusan administrasi seperti pembuatan KTP dan urusan politik lima tahun sekali.
Sementara itu, Alirohman menegaskan bahwa pihaknya akan bersikap objektif dalam hal tersebut. Pihaknya, akan berkoordinasi dengan beberapa pihak terkait, termasuk gubernur dan pemerintah pusat.
Kepala Bagian Pemerintahan Setda Garut Kuswanda mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum mengambil keputusan soal pembentukan Kab. Garut Selatan. Studi kelayakannya pun hingga kini belum ada.

06/11/2007, Cetak, Pikiran Rakyat

Pemekaran Garsel Ditolak Masyarakat

Rabu, 01 Juli 2009 , 20:31:00

GARUT, (PRLM).- Keputusan DPRD Kab. Garut No.4/2009 tanggal 9 Juni 20009 yang menyetujui Garut Selatan (Garsel) sebagai kabupaten baru pemekaran dari Kab. Garut dinilai keputusan yang prematur, tergesa-gesa, dan tidak berdasar. Pasalnya, Feasibillity Study (FS) yang dilakukan oleh Tim Peneliti Studi Kelayakan Pemekaran Garut Selatan dari LPPM UNPAD hingga saat ini belum mengumumkan hasilnya secara resmi kepada publik.

Hal itu diungkapkan Sekretaris Forum Warga Cisewu Kokon Darmawan, S.Sos, Rabu (1/7). “Sehingga, penolakan terhadap pemekaran Garsel bukan sikap individu atau perseorangan melainkan sikap bersama masyarakat Garut Selatan terutama yang ada di Kecamatan Cisewu, Caringin, dan Talegong. Secara umum, juga merepresentasikan masyarakat di 13 kecamatan lainnya, yakni menolak pemekaran Garut Selatan,” katanya.

Berita “PRLM” sebelumnya, DPRD Kabupaten Garut menyetujui Garut Selatan sebagai kabupaten baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Garut. Kepastian persetujuan DPRD untuk pemekaran Garut Selatan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten Garut, Selasa malam (9/6).

Kawasan Garut Selatan terdiri dari Kecamatan Banjarwangi, Cibalong, Singajaya, Peundeuy, Cihurip, Cisewu, Talegong, Caringin, Pameungpeuk, Cikelet, Pakenjeng, Bungbulang, Mekarmukti, Pamulihan, dan Cikajang. Penolakan pemekaran Garut Selatan oleh masyarakat di tiga kecamatan, lanjut Kokon, setidaknya pernah mengemuka dalam dialog publik pada 27 Oktober 2007 di Kec. Cisewu. Pada 5 November 2007, elemen-elemen yang menolak pemekaran melakukan audiensi dengan Komisi A DPRD Garut dan Pansus Pemekaran Garsel yang dilanjutkan dengan hearing dengan Kabag Pemerintahan Kab. Garut.

“Pemkab. Garut juga belum bisa memberikan pernyataan jelas tentang potensi Garut Selatan. Minimnya infrastruktur menyebabkan pemekaran Garsel tidak akan membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial, politik dan budaya, di wilayah Garsel. Bahkan pemekaran tersebut hanya akan menambah kemiskinan dan menghambat laju pertumbuhan pembangunan Garsel,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Presidium Masyarakat Garut Selatan, Gunawan Undang, menyatakan, mekanisme rencana pembentukan Kab. Garsel sesuai dengan PP No. 78/2007 yang mengisyaratkan pembentukan suatu daerah melalui persetujuan forum Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau forum kepala desa setempat. Dalam PP tersebut juga diungkapkan, salah satu tujuan pemekaran suatu wilayah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memperpendek rentang kendali (span of control) dengan pusat ibu kota pemerintahan.

Selain itu, lanjut Gunawan, wacana bergabungnya Kecamatan Caringin, Cisewu, dan Talegong ke Kab Bandung; selain tidak memiliki alasan yang objektif-rasional juga ironis karena Kabupaten Bandung Barat (KBB) sudah memisahkan diri dari Kab. Bandung. (A-158/das)***

TIGA KECAMATAN TOLAK PEMEKARAN GARSEL

Thursday, 02 July 2009 13:50
Garut, (PR).- Keputusan DPRD Kab. Garut No.4/2009 tanggal 9 Juni 2009 yang menyetujui Garut Selatan (Garsel) sebagai kabupaten baru pemekaran dari Kab. Garut dinilai keputusan yang prematur, tergesa-gesa, dan tidak berdasar. Pasalnya, feasibillity study (FS) yang dilakukan oleh Tim Peneliti Studi Kelayakan Pemekaran Garut Selatan dari LPPM Unpad hingga saat ini belum mengumumkan hasilnya secara resmi kepada publik.

Hal itu diungkapkan Sekretaris Forum Warga Cisewu Kokon Darmawan, S.Sos., Rabu (1/7).
"Penolakan terhadap pemekaran Garsel bukan sikap individu, melainkan sikap bersama
masyarakat Garut Selatan, terutama yang ada di Kecamatan Cisewu, Caringin, dan Talegong,"
katanya.

Berita "PR" sebelumnya, DPRD Kabupaten Garut menyetujui Garut Selatan sebagai kabupaten
baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Garut. Kepastian persetujuan DPRD untuk
pemekaran Garut Selatan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten Garut, Selasa
malam (9/6).

Kawasan Garut Selatan terdiri dari Kecamatan Banjarwangi, Cibalong, Singajaya, Peundeuy,
Cihurip, Cisewu, Talegong, Caringin, Pamengpeuk, Cikelet, Pakenjeng, Bungbulang,
Mekarmukti, Pamulihan, dan Cikajang.

Penolakan pemekaran Garut Selatan oleh masyarakat di tiga kecamatan, lanjut Kokon,
setidaknya pernah mengemuka dalam dialog publik pada 27 Oktober 2007 di Kec. Cisewu.
Pada 5 November 2007, elemen-elemen yang menolak pemekaran melakukan audiensi
dengan Komisi A DPRD Garut dan Pansus Pemekaran Garsel yang dilanjutkan dengan hearing
dengan Kabag Pemerintahan Kab. Garut.

Kokon malah menyebutkan adanya wacana tiga kecamatan yang hendak bergabung ke Kab.
Bandung, yang sudah bergulir sejak tahun 1952, saat Kabupaten Garut belum memperhatikan
pembangunan di wilayah Garut Selatan.

Sementara itu, Ketua Presidium Masyarakat Garut Selatan, Gunawan Undang, menyatakan,
mekanisme rencana pembentukan Kab. Garsel sesuai dengan PP No. 78/2007 yang
mengisyaratkan pembentukan suatu daerah melalui persetujuan forum Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) atau forum kepala desa setempat. Salah satu tujuan pemekaran
suatu wilayah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik. (A-158)***

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Kamis 02 Juni 2009

Bangun Infrastruktur untuk Warga Garsela

Warga Garut selatan (Garsela) meminta Pemkab Garut untuk lebih memerhatikan mereka secara serius. Di antaranya, dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur agar ketika Garsela benar-benar berpisah dengan Kab. Garut, sudah dalam keadaan siap.

“Hal itu diperlukan agar nasib Kabupaten Garsela nanti tidak seperti Kab. Bandung Barat yang infrastrukturnya tidak lengkap,” kata Drs. H. Gunawan Undang, tokoh masyarakat Cisewu, Garut selatan, yang kini menjadi tokoh pendidikan di Bandung, Kamis (18/10). Hal senada disampaikan Kokon Darmawan S.Sos., anggota Forum Mahasiswa Lintas Aliansi.

Gunawan dan Kokon mengharapkan, selain memberikan perhatian lebih dengan membangun sejumlah infrastruktur, untuk mendukung pemekaran, Pemkab Garut pun mesti membangun semacam kantor perwakilan di wilayah selatan. Kantor perwakilan itu nantinya dijadikan tempat berkumpulnya para tokoh Garsela untuk membicarakan pemekaran.

“Memang belum ada peraturan daerah yang mengatur hal itu. Namun, demi kebaikan warga Garsela, tidak ada salahnya hal itu diadakan. Kantor dimaksud, semacam Unit Pelaksana Teknis Daerah-lah, dengan tugas untuk melakukan percepatan pembangunan di Garsela,” kata Kokon.

Di tempat terpisah, pejabat pelaksana tekni (Plt.) Sekda Garut Drs. H. Budiman, S.E. dan Asda I Setda Garut Drs. H. Wowo Wibowo ketika dikonfirmasi, mendukung keinginan warga Garsela untuk membentuk kabupaten baru. Pemkab juga akan terus melakukan pembangunan infrastruktur di Garsela.

“Namun dalam mendukung pemekaran itu, kami akan tetap melewati tahapan-tahapan yang berlaku dan tidak keluar dari aturan,” kata Budiman.

Menjawab pertanyaan soal lambatnya pembangun infrastruktur di Garsela sehingga warga setempat merasa kurang diperhatikan, keduanya mengatakan bahwa hal itu kurang tepat. Pasalnya, selama ini Pemkab Garut terus-terusan melakukan pembangunan di Garsela, seperti pembangun RS Pameungpeuk di Pameungpeuk, membangun sejumlah Puskesmas, dan membangunan SMA Kelautan di Cikelet.

Jelang Deklarasi SBY-Boediono di Bandung Kamis, 14 Mei 2009

Gedung Sabuga ITB Bandung siap menjadi saksi Deklarasi pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden SBYBoediono Gedung Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) di Jalan Taman Sari Bandung sudah siap menjadi saksi Deklarasi pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Partai Demokrat SBY-Boediono Jumat petang 15 Mei 2009. Ketika RRI konfirmasi ke DPD Partai Demokrat Jawa Barat, Zulkifly Chaniago Wakil Ketua Kominfo DPD Partai Demokrat Jawa Barat yang juga Supervisi Tim Pusat Panitia Deklarasi Capres/Cawapres Partai Demokrat,enggan menjelaskan rinci rencana deklarasi pasangan SBY-Boediono tersebut. Meski demikian kepada RRI Zulkifly menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipastikan hadir dalam deklarasi tersebut. Di bagian lain menanggapi Deklarasi pasangan Capres/Cawapres SBY-Boediono jumat petang (15/05) di Bandung, Pengamat Politik Kokon Darmawan kepada RRI mengatakan,jika memang Boediono sebuah pilihan bagi SBY meskipun konsekuensi dan korelasi politik harus dihadapi,tentu hal itu sudah diperhitungkan. Dijelaskan Kokon Darmawan,dengan munculnya Boediono dari jalur independen dapat berakibat multi tafsir dan persepsi yang lain dari kalangan Partai Politik yang selama ini merapat ke Partai Demokrat. Disinggung koalisi Parlemen jika pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang,Kokon Darmawan
menganalisa apabila koalisi besar yang digalang PDIP,Golkar dan Partai-Partai Menengah lainnya berjalan, otomatis SBY-Boediono akan mendapat sandungan yang luar biasa di Parlemen meskipun saat ini SBY berusaha mendekati PDIP. Kokon menambahkan,sekarang ini nampak blunder ada semacam frustasi politik di pihak PKS,PAN,PKB dan PPP karena 19 nama yang diajukan ke Demokrat tidak diambil SBY tetapi SBY lebih memilih Boediono. Kondisi tersebut
tegas Kokon Darmawan menjadi tamparan politik bagi ke 4 Parpol besar,yang berarti kader yang selama ini telah diajukan dianggap tidak pantas untuk mendampingi SBY. Secara psikologis partai kondisi ini sangat berpengaruh terhadap mereka,apakah akan mendukung atau hanya mendukung di tingkat elit sementara di bawahnya dibiarkan mengalir sesuai arus.

JAWA BARAT NEWS CENTER
http://jabarnews.com Powered by Joomla! Dibuat pada: 29 August, 2009, 17:07

Senin, 24 Agustus 2009

Profile Jejak Langkah Anak Desa


KOKON DARMAWAN, S.SOS lahir di Garut pada 2 September 1983, anak ke-10 dari 10 bersaudara. Terlahir dari pasangan Tohir (84) dan Saesih (67). Masa kecil dihabiskan di kampung Cisaninten, Desa Cisewu, Kecamatan Cisewu, Kabupaten Garut. Ketika menginjak usia remaja hijrah ke Kota Bandung. Di Bandung tinggal bersama keluarga H. Rudy Gunawan, SH., MH dan Hj. Diah Kurniasari (orang tua angkat) . Memiliki tiga orang adik yakni M. Rangga Bisma, Rinestya Medina dan Rafi Ahmad Gunawan. Menempuh pendidikan di SD N Cisewu 1 (1996), SMPN 1 Cisewu (1999), SMAN 1 Cisewu (2002), setelah berhenti setahun kemudian melanjutkan kuliah di Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.

Pengalaman organisasi yang pernah digeluti diantaranya Ketua OSIS SMPN 1 Cisewu (1998),; Ketua OSIS SMAN 1 Cisewu (2001),; Divisi Informasi KNPI Kec. Cisewu (2001),; Divisi Pengembangan Kehutanan GAKPEDAL (2001),; Ketua Karang Taruna Panggugah (2002),; Divisi Jurnalistik Jaringan Radio Komunitas Jawa Barat (2002),; Himpunan Aktifis Seni (HIAS) 2002,; Lingkung Seni Cipta Panghegar (1998-2003),; Ketua Forum Mahasiswa Islam Fikom UNPAD (2003),; Divisi Sistem Informasi Senat Mahasiswa Fikom UNPAD (2003-2005), Sekretaris IPPEMAC (2004-2008),; Sekretaris Umum Forum Warga Cisewu (FWC) 2004,; Divisi Sosial Politik Himpunan Mahasiswa Jurnalistik Ekstensi (HIMAJE) Fikom UNPAD (2005-2007),; Ketua Presidium Forum Mahasiswa Lintas Aliansi (FORMASI) 2006-2008,; Wakil Sekretaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI Muda) Kota Bandung (2005 sd sekarang),; Wakil Sekretaris Pemuda Tani HKTI Jawa Barat (2006 sd sekarang); dan Koordinator Komite Komunikasi dan Informasi HKTI Jabar (2005 sd sekarang).

Riwayat pekerjaan profesional yang pernah dan sedang dijalani diantaranya adalah Financial Consultant PT. AJ Manulife Indonesia, 2009.; Financial Consultant PT. Century Investment Futures, 2009.; Direktur Marketing PT. Agra Putri Wisata, 2008 sd sekarang.; Direktur Eksekutif RUDY GUNAWAN CENTRE (RGC), 2008.; Public Relation Jabar Peduli, 2006-2007.; Public Relation PT. Quatronics Indonesia, 2006-2007.; Public Relation PT. Amyra Kreasitama, 2006 sd sekarang.; Public Relation HKTI Jawa Barat, 2004 sd sekarang.; Lawyer Assistant Gunawan & Associates Law Firm, 2007 sd sekarang.;

Pengalaman profesional di bidang media diantaranya adalah Presenter berita dan CT Dialog (CTChannel 36 UHF), 2006-2007.; Koordinator Koresponden Jawa Barat Tabloid AGROpolitan (Jakarta), 2007.; Direktur Operasional Jaringan Radio Komunitas Suara Petani (JRKSP HKTI), 2005-2008.; Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Petani, 2005-2008.; Pemimpin Redaksi Buletin Inspi’RASI, 2002-2003.; Radio Broadcaster GMC & RASI FM, 2001-2003.; Freelance Jurnalist Kombinasi Magazine, 2001-2003.; dan Freelance Jurnalist Aktualita Newspaper, 2001-2003.

Skill reference lain yang dimiliki adalah presenter berita dan dialog, Master of Ceremmony (MC) formal dan informal, radio broadcaster, debating atau moderating dan theatrical/drama. Sebagai pribadi sangat tertarik dengan masalah politik dan hukum, kini sedang menapaki dan merajut asa menjadi pengamat politik muda.*