Jumat, 23 Oktober 2009

Sikap Megawati Perlu Diapresiasi

Jakarta, Kompas - Masyarakat harus mengapresiasi sikap Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang memutuskan tidak berkoalisi dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tetapi memilih menjadi partai penyeimbang pemerintah.

Guru besar ilmu politik dari Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, mengemukakan hal itu saat ditemui pers seusai menjadi pembicara di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jakarta, Jumat (23/10).

Ia menilai langkah yang telah dilakukan Megawati tersebut memberikan manfaat besar bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.

Maswadi menduga, sikap Megawati ini pun akan menimbulkan simpati masyarakat dan dapat membangun citra PDI-P di mata publik menjadi lebih baik.

Maswadi bahkan mengusulkan, pada masa mendatang undang-undang perlu mengatur adanya anggaran negara khusus bagi partai yang berada di luar pemerintahan karena partai tersebut tidak mendapat banyak fasilitas seperti partai yang berada di pemerintahan.

”Anggaran khusus ini untuk menggairahkan oposisi,” ungkap Maswadi.

Adanya anggaran khusus untuk partai oposisi ini pun bisa membuat partai politik tidak takut menjadi oposisi dan semua bergabung dalam pemerintahan yang bisa mencelakakan proses demokrasi.

Bersinergi

Dari sembilan fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat, hanya tiga fraksi yang tidak masuk dalam pemerintahan, yaitu PDI-P, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Ketiga fraksi ini pun memiliki keinginan untuk saling menguatkan satu sama lain.

Hal itu terlihat ketika Ganjar Pranowo (PDI-P), Ahmad Muzani (Gerindra), dan Fauzi Achmad (Hanura) hadir sebagai pembicara dalam ”Diskusi Dialektika Demokrasi” di ruang wartawan DPR, kemarin. Ketika ditanya soal kemungkinan menyusun sekretariat bersama, ketiganya tidak menutup kemungkinan itu dan akan menjajaki hal tersebut.

Sebagai mantan Ketua Panitia Khusus RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menurut Ganjar, dalam pembahasan RUU tersebut pernah diusulkan pembentukan gabungan fraksi yang berada di pemerintahan dan di luar pemerintahan, dengan tujuan agar mendapat dukungan sistem. Namun, usulan itu ditolak.

Muzani juga menegaskan bahwa peran pers sangat besar untuk mendorong hadirnya kelompok penyeimbang yang kuat.

Fauzi juga mengingatkan bahwa tanpa adanya kontrol yang kuat, kekuatan pemerintah bisa menjadi absolut dan itu sangat membahayakan.

”Kalau ada absolute power (kekuasaan absolut), (partai penyeimbang) tidak hanya mati suri, tapi mati beneran,” ujar Fauzi. (sut)

Jumlah Kursi di Daerah Pemekaran Naik

Jakarta, Kompas - Jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang dimekarkan, baik untuk daerah induk maupun daerah pemekaran, naik dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kursi DPRD wilayah induk.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) Hadar N Gumay dalam diskusi ”Pengisian Kursi DPRD Kabupaten/Kota Pemekaran” di Jakarta, Kamis (22/10).

Semula, 20 kabupaten induk, sebelum pemekaran, hanya memiliki 710 kursi DPRD. Namun, setelah dimekarkan hingga menjadi 20 kabupaten induk dan 26 kabupaten/kota pemekaran, jumlah kursi DPRD untuk daerah induk dan pemekaran menjadi 1.255 kursi DPRD atau naik 76,76 persen. ”Ini konsekuensi dari pemekaran daerah. Jadi, kursi DPRD-nya harus segara diisi,” katanya.

Namun, ternyata pengisian kursi DPRD untuk daerah yang dimekarkan, baik daerah induk maupun daerah pemekaran, belum dapat dilakukan.

Padahal, tiap-tiap daerah pemekaran yang rata-rata dimekarkan pada tahun 2008 itu, menurut Koordinator Forum Calon Anggota Legislatif Lintas Partai Kota Tangerang Selatan Robert Usman, terancam dikembalikan ke daerah induk jika tidak mampu membentuk pemerintahan definitif setelah dua tahun disahkan.

Robert menambahkan, sudah ada UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang Dibentuk Setelah Pemilu Tahun 2004 untuk mengisi kursi DPRD di daerah pemekaran.

Aturan itu tidak digunakan karena KPU mengacu kepada UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru disahkan akhir Agustus lalu. Namun, UU itu belum bisa dilaksanakan karena belum ada peraturan KPU untuk menjalankan UU itu.

”KPU sudah selesaikan naskah akademis peraturannya. Awal November nanti diperkirakan sudah selesai,” kata anggota KPU, I Gusti Putu Artha.

KPU menjanjikan aturan itu akan mengatur secara mendetail pengisian kursi DPRD pemekaran sehingga KPUD wilayah pemekaran terhindar dari tekanan partai politik dan menghindari benturan di antara sesama caleg partai.

Lambannya pembentukan peraturan KPU karena tidak detailnya UU No 27/2009 sehingga KPU kesulitan untuk mengimplementasikan ketentuan UU dalam membagi kursi DPRD pemekaran. Terlebih lagi, banyak daerah pemilihan dalam pemilu anggota DPRD lalu yang ternyata tidak sinkron dengan daerah yang dimekarkan. (MZW)

Rabu, 21 Oktober 2009

Kabinet Minus Mimik Keprihatinan

Sebagai seorang demokrat, saya berharap Kabinet Indonesia Bersatu II, 2009-2014, akan memenuhi harapan masyarakat luas untuk membebaskan bangsa ini dari lilitan kemiskinan, korupsi, kebodohan, kepura-puraan, dan politik uang yang mewabah.

Legitimasi konstitusional melalui pemilu dalam sistem demokrasi adalah modal bagi sebuah pemerintah untuk mewujudkan janji-janjinya bagi kesejahteraan umum. Hal itu, sejak Indonesia merdeka, belum pernah benar- benar bergerak ke jurusan ideal. Retorika politik dengan berbagai gaya telah lama menempatkan Pancasila di sebuah limbo sejarah.

Seandainya harapan ke arah perbaikan fundamental ini menjadi kenyataan pada masa datang, legitimasi konstitusional pemerintah pasti akan diikuti legitimasi moral dan sosial seluruh masyarakat. Dan Pancasila tidak perlu menjerit lagi karena nilai-nilai luhurnya mulai diperhatikan dan dijalankan pemerintah yang mendapat mandat langsung dari rakyat.

Jangan disembelih sendiri

Saya telah membujuk diri untuk tidak memberi penilaian sebelum kabinet bekerja pada bulan-bulan mendatang. Setelah berjalan beberapa lama, barulah orang bebas memberikan evaluasi obyektif terhadap kinerja kabinet ini. Terhadap anggota kabinet ini, yang sebagian saya kenal secara pribadi, tentu saya harus mengucapkan selamat bekerja kepada mereka dalam mengemban amanat rakyat yang sebagian besar masih belum merasakan makna kemerdekaan bagi perbaikan nasib mereka ketimbang sebagian anak bangsa yang telah jauh berada di depan.

Sebagai warga yang telah berusia 74 tahun, keinginan saya hanya tunggal: leher bangsa ini jangan sampai disembelih oleh anak-anaknya sendiri yang tak tahu diri karena sudah lama hidup dalam lingkaran kemakmuran materi yang melimpah. Harta cukup, kekuasaan di tangan, dan orang hormat kepadanya, karena tulus, ketidaktahuan, atau karena terpaksa, tak perlu kita bicarakan di sini. Singkatnya kelompok ini sudah merasakan nikmat kemerdekaan dengan segala fasilitas yang menyertainya.

Karena saat penilaian masih ditunggu, apa yang saya tulis di bawah ini tidak lebih dari kesan selintas yang semoga tidak mewakili kenyataan yang sebenarnya nanti dalam kinerja mereka pada tahun-tahun mendatang. Kesan itu terlihat di layar kaca sewaktu mereka dipanggil ke Cikeas dan saat tes kesehatan di Rumah Sakit Gatot Subroto menjelang hari pelantikan mereka sebagai anggota kabinet pada 22 Oktober 2009. Kesan itu sudah tersimpul dalam judul artikel ini.

Hampir tanpa kecuali, wajah calon-calon anggota kabinet itu tampak bahagia di tengah kerumunan pers sambil mengangkat dan melambaikan tangan, tidak terlihat mimik keprihatinan tentang keadaan bangsa dan negara yang masih sempoyongan dalam memetakan masa depannya. Namun, sekali lagi, panorama ini semoga bukanlah wujud ketidakpedulian mereka terhadap masalah-masalah besar yang telah mendera bangsa ini sejak puluhan tahun yang lalu. Keceriaan yang terlihat itu semoga melambangkan optimisme bahwa mereka bisa dan akan berbuat sesuatu yang bermakna di bidangnya masing-masing bagi kepentingan rakyat banyak.

Oleh sebab itu, pengamatan sekilas belum dapat dijadikan indikator bahwa mereka tidak prihatin. Boleh jadi sangat prihatin, tetapi mereka tidak mau hanyut dalam keprihatinan sebab akan melemahkan daya ”tempur” mereka untuk mengabdi kepada kepentingan umum.

Sebagaimana telah sering saya sampaikan di depan berbagai forum, salah satu kendala terbesar yang dihadapi Indonesia merdeka sejak puluhan tahun yang lalu adalah masalah kepemimpinan dalam berbagai tingkat. Sulit ditemukan sepanjang sejarah Indonesia merdeka tampilnya pemimpin yang tepat di saat yang tepat. Ada saja titik lemah yang menggagalkan kepemimpinan mereka untuk mewujudkan cita- cita yang telah disampaikan secara lisan atau tertulis.

Kita ambil contoh kepemimpinan nasional 2004-2009 dengan nakhoda SBY-Kalla. Keduanya datang dari subkultur yang berbeda, tetapi sebenarnya saling melengkapi. Jika SBY adalah rem, Kalla gasnya. Ibarat sebuah kendaraan, jika rem yang lebih dominan, gasnya akan tersendat- sendat, akan sangat sulit tujuan bisa dihampiri. Sebaliknya, jika gas yang dominan, remnya lemah sekali, bisa jadi kendaraan akan masuk jurang. Selama periode di atas, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, SBY-Kalla telah selamat menjalani periode lima tahun sebagaimana yang diminta oleh konstitusi.

Lapindo dan Bank Century

Bencana alam yang datang silih berganti tidak sampai membawa bangsa ini pada suasana putus asa. Namun, bencana Lapindo malah ditetapkan sebagai bencana alam, bukan akibat kecerobohan perusahaan, sesuatu yang ditantang oleh para ilmuwan yang mengerti betul bahwa bencana itu bukan bencana alam. Karena para ilmuwan itu tidak akan tinggal diam, bencana Lapindo ini pasti akan tetap menguak pada waktu-waktu yang akan datang, sekalipun para ilmuwan itu sering tidak berdaya berhadapan dengan hukum, kekuasaan, dan uang.

Borok lain yang mengemuka pada bulan-bulan terakhir kepemimpinan SBY-Kalla adalah skandal Bank Century yang kemudian memicu ketegangan antara KPK dan Polri, dua aparat penegak hukum yang sama-sama naik ke ring tinju. Rakyat banyak hanya bingung menyaksikan pertarungan yang memalukan itu. Sementara itu, pemeriksaan atas mantan Ketua KPK Antasari Azhar telah berbulan-bulan menyita perhatian publik yang semakin skeptik terhadap dunia hukum dan peradilan kita. Pertanyaannya adalah: kapan Indonesia dibebaskan dari mafia peradilan yang sarat dengan konflik kepentingan?

Akhirnya, sekalipun sebagian pengamat dan pengusaha menyambut positif tim ekonomi SBY-Boediono, saya yang tidak paham masalah ekonomi dan keuangan lebih baik menunggu penilaian pihak-pihak lain yang mungkin punya pandangan berbeda. Penyakit Indonesia dari sisi mana pun kita menengoknya dengan utang luar negeri yang tinggi akan memerlukan waktu lama bagi proses penyembuhannya.

Oleh sebab itu, mimik keprihatinan masih sangat perlu dipertahankan sampai situasi umum bangsa ini benar-benar membaik secara signifikan.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

PELANTIKAN ITU BERSIFAT ARTIFISIAL DAN BERJARAK

Jakarta, Kompas - Upacara pelantikan presiden dan wakil presiden, Selasa (20/10), bersifat artifisial dan berjarak dengan rakyat. Pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono itu seharusnya menjadi milik rakyat dan dirayakan sebagai pesta rakyat.

Demikian disampaikan sutradara Garin Nugroho, pemain teater Aspar Paturusi, dan ahli komunikasi politik Effendi Gazali secara terpisah di Jakarta, kemarin.

Menurut Effendi Gazali, yang menyaksikan langsung pelantikan Presiden Barack Obama, 20 Januari 2009, pelantikan Obama disambut harapan hampir seluruh dunia, sedangkan pelantikan Yudhoyono disambut campuran harapan dan unjuk rasa.

”Pelantikan Obama diramu sebagai gabungan nilai sejarah, seni pertunjukan kelas tinggi, dan pesta budaya yang melibatkan seluruh bangsa Amerika, bahkan dunia. Pelantikan Presiden Yudhoyono sangat formal, relatif hanya seremonial,” ucapnya.

Padahal, dalam pemilu presiden, perolehan suara Yudhoyono lebih tinggi daripada Obama. Perolehan suara Yudhoyono adalah 73.874.562 suara atau 60,8 persen, sementara Obama mendapat 69.456.897 suara atau 52,9 persen.

Pelantikan Obama dipadati tidak hanya oleh elite, tetapi juga rakyat jelata. Diperkirakan 2 juta orang berdatangan. Wartawan Kompas Budiarto Shambazy waktu itu melaporkan, ratusan ribu orang bahkan tetap tinggal di National Mall menanti pelantikan Obama. Udara musim dingin yang mencapai 0 derajat Celsius juga tidak menyurutkan kegembiraan orang-orang.

Memisahkan rakyat

Menurut Aspar, ”ritual” pelantikan itu terlalu bersifat protokoler. Berbeda dengan bentuk pemilihan langsung dan kampanye terbuka, pelantikan Yudhoyono justru jauh dari rakyat.

Aspar mengemukakan, Gedung MPR hanya namanya saja yang menggunakan kata ”rakyat”. Namun, situasi pelantikan yang serba protokoler itu memisahkan mata dan telinga rakyat lewat dinding-dinding.

”Rasanya seperti ada tirai,” kata Aspar.

Menurut Aspar, inilah tanda tertutupnya ”tirai-tirai” pada masa kampanye, saat masyarakat bebas bersalaman dengan calon presiden dan calon-calon wakil rakyat. Kini, ada pagar berupa Pasukan Pengamanan Presiden. Aspar bahkan menumpahkan pelantikan itu dalam puisi: sketsa hari ini ada sumpah diucapkan tegas dan lantang. Adakah sumpah bertuah memenuhi amanah? Kita tak akan berhenti menanti.

Garin Nugroho menilai pelantikan presiden dan wakilnya seharusnya menjadi milik masyarakat dan dirayakan sebagai pesta rakyat. Namun, acara itu menjadi tidak lebih dari sebuah perayaan kemenangan yang steril dari partisipasi publik. Rangkaian tontonan yang belakangan ini juga bersifat artifisial. ”Seperti tontonan sinetron tanpa karakter,” ungkap Garin.

Menurut Garin, apa yang dipertontonkan bukan apa yang menurut mereka diinginkan atau melibatkan rakyat. ”Partisipasi masyarakat tidak menjadi pertimbangan mereka,” ujarnya. (edn/sut)

KOALISI BULAT ATAU LONJONG?

Saat artikel ini ditulis, masuk tidaknya kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II masih merupakan teka-teki.

Meski nama para calon menteri dan pejabat setingkat menteri sudah dimuat di beberapa media, bukan mustahil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih berharap PDI-P masuk kabinet koalisi nasional. Jika PDI-P masuk, lengkaplah ”koalisi bulat”. Namun, bila Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri kukuh PDI-P independen terhadap pemerintah, ”koalisi lonjong” akan terjadi.

Angan-angan SBY untuk mengajak PDI-P masuk kabinet bukan impian semusim. Pendekatan itu sudah dilakukan antara petinggi Partai Demokrat (PD) dan PDI-P jauh sebelum Pemilu Presiden-Wakil Presiden 8 Juli 2009. Di dalam PDI-P sendiri terjadi pertarungan tajam antara kelompok idealis di bawah Megawati dan kelompok pragmatis yang dipimpin Taufik Kiemas dan Puan Maharani (suami dan putri Megawati). Langkah awal untuk menggiring PDI- P ke kubu SBY ialah melalui dukungan politik agar Taufik Kiemas terpilih menjadi Ketua (MPR).

Nama Pramono Anung Wibowo, Puan Maharani, dan Cahyo Kumolo sempat masuk bursa calon anggota kabinet dari PDI-P. Konon, Pramono ditawari posisi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, berganti menjadi Menteri Kehutanan, lalu Menteri Pekerjaan Umum. Puan sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sementara Cahyo menjadi Mennegpora. Namun, semua tergantung persetujuan politik Megawati. Ternyata, saat audisi para calon menteri, Megawati menghilang, awalnya cek kesehatan ke Singapura, lalu entah ke mana.

Jika koalisi bulat yang terbentuk, ini akan merugikan demokrasi dan mengacaukan nama serta posisi menteri yang sudah ada. Namun, jika Megawati bersikukuh menolak, politik Indonesia akan lebih cantik dan dinamis! Paling tidak ada tiga partai politik yang tidak masuk kabinet dan akan menjadi oposisi loyal di DPR, yaitu PDI-P (95 kursi), Gerindra (26 kursi), dan Hanura 18 (kursi). Meski minoritas, suasana parlemen akan hidup.

Alih-alih membentuk kabinet kerja yang sebagian besar kaum profesional nonpartai, ternyata untuk kenyamanan politik, SBY membentuk kabinet yang 55,55 persen dari parpol. Ini berbeda dengan pernyataan petinggi PD bahwa 65 persen dari kabinet berisi profesional nonpartai dan 35 persen dari partai.

Taruhan politik

Komposisi kabinet ini merupakan taruhan politik SBY. Banyaknya muka baru dalam Kabinet Indonesia Bersatu II menimbulkan dua konsekuensi.

Pertama, menimbulkan pertanyaan soal kesinambungan penanganan program pembangunan. Kedua, menambah waktu untuk konsolidasi internal kabinet. Banyaknya orang partai juga meresahkan jika ia lebih mendahulukan kepentingan partai ketimbang bangsa dan negara.

Padahal, pada pidato pelantikan sebagai Presiden RI 2009- 2014, Selasa (20/10), ada tiga fokus utama dari 15 program kabinet yang harus cepat dijalankan, yaitu mengembangkan demokrasi yang bermartabat, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan pemerataan rasa keadilan di masyarakat.

Angan-angan untuk menyejahterakan rakyat tentu sesuai dengan kian menurunnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia dua tahun terakhir, dari 107 (2007) menjadi 109 dari 179 negara (2008); turun menjadi 111 dari 182 negara pada 2009. Program penurunan angka kemiskinan 8-10 persen dan penurunan angka pengangguran 8-10 persen tentu harus sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi 7,0 persen per tahun. Pelayanan kesehatan bagi kaum miskin juga terkait peningkatan HDI Indonesia. Dapatkah para menteri baru mengikuti gerak cepat para menteri ekonomi yang merupakan muka-muka lama?

Mereformasi birokrasi Indonesia yang gemuk dan tidak efisien juga tugas berat pemerintahan SBY-Boediono. Juga peningkatan kapabilitas TNI dan Polri sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia. Juga bagaimana dengan kelanjutan penanganan korupsi yang belakangan dipandang kian menurun sejak masalah antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri belum terselesaikan.

Untuk merancang dan menjalankan pembangunan, saatnya pemerintah mendasari kebijakannya dengan hasil penelitian ilmiah. Kompas (19/10) memberitakan, dana riset 2010 turun 39 persen akibat daya serap berkurang.

Pengalaman penulis sebagai peneliti LIPI, setiap tahun, anggaran penelitian menurun. Sementara untuk birokrasi penunjang penelitian tiap tahun justru meningkat meski daya serap turun. Pemerintahan SBY kurang memerhatikan pengembangan ristek nasional. Ikatan ideologi dan posisi menteri diharapkan tidak menyebabkan program kerja departemen atau kementerian diganggu kepentingan politik partai, bukan saja dari pendanaan, tetapi juga kebijakan.

Kita berharap Menneg Ristek dari Partai Keadilan Sejahtera lebih mengutamakan riset untuk kepentingan bangsa ketimbang memasukkan ideologi partai dalam kebijakan ristek. ”Janji Sukamandi” SBY kepada peneliti pada 2009 untuk lebih memerhatikan soal ristek harus dijabarkan Menneg Ristek baru. Menneg Ristek juga harus mampu melakukan negosiasi dengan pihak-pihak asing dalam kerja sama ristek yang menguntungkan Indonesia, bukan hanya asing.

Apa pun bentuk koalisi politik, bulat atau lonjong, yang penting semua program kerja kabinet dapat efektif dan efisien dijalankan. Satu rekomendasi politik penting ialah janganlah SBY lebih sibuk menebar citra dan memupuk kekuasaan, sementara program kerja kabinet terbengkalai. Ini adalah kesempatan terakhir bagi SBY untuk membuktikan kepada rakyat bahwa ia mewarisi Indonesia yang lebih demokratis, maju, aman, adil dan sejahtera, bukan Indonesia yang bangkrut.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Jakarta

OPOSISI HARUS BERPIHAK

Jakarta, Kompas - Partai-partai yang berada di luar pemerintahan, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat, harus melakukan konsolidasi. Kader partai juga harus menunjukkan keberpihakan yang jelas pada rakyat.

Demikian pandangan pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies, J Kristiadi, di Jakarta, Selasa (20/10), terkait dengan posisi tiga partai itu yang kemungkinan tidak duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.

Menurut Kristiadi, konsolidasi yang utama adalah konsolidasi internal dengan menggembleng kader dan menanamkan cita-cita sebagai pejuang partai. Kader partai juga harus menunjukkan keberpihakan yang jelas pada rakyat.

PDI-P sesungguhnya telah memiliki pengalaman sebagai pemerintah atau oposisi. Pada saat susah, PDI-P justru bisa mendapatkan kursi 30 persen lebih di DPR. Sebaliknya, saat berkuasa, perolehan kursi justru merosot menjadi 20 persen.

Partai Gerindra dan Partai Hanura sebagai partai politik baru pun harus mencegah kader partai terbawa arus dalam transaksi-transaksi politik yang sekarang ini banyak terjadi, seperti dalam pencalonan pemilu kepala daerah. ”Kalau itu semua dilakukan, meskipun kursi oposisi sedikit, bisa membuat perubahan signifikan,” tegas Kristiadi.

Di DPR, kursi PDI-P berjumlah 94 kursi, Gerindra 26 kursi, dan Hanura 17 kursi. Jumlah kursi ketiga partai itu 137 kursi, jauh jika dibandingkan dengan kursi koalisi yang berjumlah 423 kursi.

Kegelisahan lemahnya oposisi juga muncul dalam diskusi ”DPR Baru, Tanpa Oposisi Kuat: Bagaimana Nasib RUU Antidemokratis?” yang digelar Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET) di Jakarta, kemarin.

Agus Sudibyo dari Yayasan SET mengemukakan, dalam kondisi oposisi lemah seperti itu, kalangan masyarakat sipil akan sangat kesulitan mengontrol proses legislasi di DPR. ”Kekuatan parpol di DPR akan cenderung memilih untuk mendukung kebijakan pemerintah,” kata Agus.

PDI-P penyeimbang

Namun, Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Pramono Anung, kemarin di DPR, secara tegas menyatakan bahwa PDI-P akan menjadi partai penyeimbang atau mitra strategis dari pemerintahan untuk lima tahun ke depan.

”Apa pun, termasuk kasus Bank Century yang jauh dari keadilan masyarakat, akan kita kritik,” kata Pramono.

Di Bali, Ketua DPD PDI-P Bali Tjokorda Oka Ratmadi optimistis partainya tetap besar dan tak akan ditinggalkan kadernya apa pun pilihan koalisi ataupun oposisi dengan pemerintah.

Sekjen DPP Partai Gerindra Achmad Muzani mengemukakan, kekuatan koalisi partai di legislatif mencapai 60 persen dalam perolehan suara di pemilu. Dengan demikian, kebijakan pemerintah akan sulit dievaluasi.

Namun, Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi menegaskan sikapnya, yaitu memberikan penguatan di parlemen, kritik pada kinerja pemerintah, sekaligus tempat curahan hati masyarakat.

Ketua Umum Partai Hanura Wiranto mempunyai keyakinan sama. ”Itu tidak membuat kami kecut. Kami tidak memperhitungkan besar kecilnya partai, tapi kebenaran dan ketidakbenaran. Yang bicara itu hati nurani,” ujarnya.

Menurut Wiranto, kalaupun dalam voting nanti kalah, yang penting bagi Hanura sudah bersuara dan melaksanakan prinsip akuntabilitas, prinsip keterwakilan, dan prinsip mandat. ”Kami sudah bangga dengan itu,” katanya. (eld/AYS/DWA/SUT)

OPOSISI MASYARAKAT SIPIL

Pasca-Pemilu 2009, kita dihadapkan kontestasi politik yang baru pertama kali tercipta pada era reformasi dan mengingatkan kita pada era Orde Baru: semua partai politik besar dalam barisan koalisi yang mendukung pemerintah.

Seberapa solid koalisi ini dan seberapa akomodatif mereka terhadap kemauan politik pemerintah? Kita belum tahu.

Namun, dapat dipastikan parpol yang terlibat koalisi terikat kontrak politik untuk mendukung stabilitas dan kontinuitas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Konflik kepentingan dan pragmatisme politik menjadi keniscayaan saat mereka menjalankan imperatif pengawasan dan regulasi perundang-undangan di DPR. Tanpa oposisi signifikan, sulit mengharapkan unsur-unsur DPR secara konsisten berkata ”tidak” terhadap RUU-RUU inisiatif pemerintah yang katakanlah bertentangan dengan prinsip demokrasi dan pemerintahan yang bersih.

Perubahan pendekatan

Dalam konteks ini, benar sinyalemen bahwa fungsi oposisi dalam lima tahun ke depan akan lebih banyak diperankan kelompok masyarakat sipil dan pers. Jika oposisi dipahami sebagai kelompok penekan, oposisi sejauh ini sudah dijalankan masyarakat sipil dan pers. Namun, kontestasi politik terbaru membutuhkan respons lebih sistematis dan signifikan. Jika advokasi masyarakat sipil sejauh ini cukup terbantu dengan anggota DPR yang mampu bersikap kritis terhadap pemerintah misalnya, apa yang harus dilakukan jika variabel ini kian melemah?

Pendekatan konvensional dalam advokasi kebijakan tidak mencukupi lagi. Sekadar menyampaikan aspirasi melalui audiensi resmi ke DPR jelas tidak memadai. Pengalaman menunjukkan, aspirasi masyarakat belum tentu ditindaklanjuti dan pimpinan DPR juga pintar memanfaatkan audiensi masyarakat untuk mencitrakan diri sebagai legislator terbuka dan aspiratif.

Masyarakat sipil juga perlu mengubah pendekatan lobi yang selama ini terfokus unsur DPR. Ke depan, lobi politik tampaknya lebih mendesak untuk unsur pemerintah. DPR memang lebih terbuka terhadap masyarakat sipil. Namun, fakta politik menunjukkan, pemerintah akan lebih determinan dalam legislasi. Usul inisiatif perundang-undangan akan lebih banyak dari pemerintah. Maka, asistensi materi, dialog, harmonisasi persepsi dengan pemerintah harus mendapat prioritas memadai.

Menyelenggarakan seri seminar, dialog publik, konferensi pers tetap dibutuhkan. Untuk menulis berita, media tidak sekadar membutuhkan informasi, tetapi juga news peg. Kampanye publik harus dilanjutkan dengan aktivitas lobi guna memastikan opini publik yang tercipta secara signifikan memengaruhi sikap para pengambil kebijakan. Perlu juga terobosan agar kegiatan kampanye publik tidak menjadi rutin dan membosankan, serta mampu melibatkan segmen yang lebih beragam: organ parpol, organisasi kepemudaan, asosiasi profesi, unsur mahasiswa.

Imparsialitas media

Efektivitas advokasi masyarakat sipil amat tergantung dukungan pers. Untuk mengegolkan sebuah kebijakan, pemerintah mempunyai kekuatan uang dan lobi. Uang menjadi faktor determinan dalam legislasi undang-undang. Sementara masyarakat sipil praktis amat tergantung kekuatan simbolik: opini publik terbangun melalui media. Pertanyaannya, apakah pers menempatkan diri sebagai pihak yang imparsial dan netral terhadap semua kelompok atau sebagai bagian integral gerakan masyarakat sipil untuk demokratisasi? Dilema ini sedang dialami pers Indonesia.

Pada awal reformasi, pers Indonesia menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan masyarakat sipil. Suara pers adalah suara masyarakat sipil, kegelisahan media adalah kegelisahan lembaga swadaya masyarakat. Namun, belakangan kondisi mulai bergeser. Pers Indonesia berusaha imparsial dan menjaga jarak terhadap semua pihak. Pers lebih berperan sebagai konsumen informasi, isu, fakta sosial yang dilontarkan semua pihak.

Meski pers tetap relatif dekat masyarakat sipil, perlu kerja keras untuk meyakinkan pers agar memberi perhatian ekstra terhadap aneka masalah yang dianggap masyarakat mendesak.

Imparsialitas media harus ditegakkan. Namun, hal ini mengandaikan demokratisasi sudah berjalan ”normal”, pelembagaan kebebasan informasi dan pers telah mengalami penegakan. Masalahnya, dari berbagai segi, demokratisasi masih jauh dari kondisi normal, bahkan mengalami anomali. Indonesia hingga 2009 masih berkutat dengan birokrasi yang korup, DPR yang rentan terhadap penguasaan pemerintah, pemerintah angin-anginan memberantas korupsi. Pemerintah juga masih berambisi merepresi kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi sebagaimana tecermin dalam RUU Rahasia Negara, UU ITE, UU Pornografi, RUU Pers.

Dalam situasi anomali seperti ini, ”imparsialitas” media perlu dikaji ulang. Dukungan media praktis adalah modal terbesar masyarakat sipil guna mengimbangi determinasi uang dan lobi struktural dalam konteks legislasi undang-undang. Kita membutuhkan peran pers sebagai instrumen gerakan demokratisasi, sebagai bagian integral gerakan masyarakat sipil. Imparsialitas dan profesionalisme media harus selalu diletakkan dalam konteks keberpihakan terhadap gerakan demokratisasi dan pemerintahan yang baik.

Agus Sudibyo Pegiat Koalisi untuk Kebebasan Informasi

KELINDAN POLITIK

Pertarungan sengit dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar memperebutkan kursi ketua umum pekan lalu—yang sepi dari bursa ide besar, tetapi riuh dengan berita politik uang—telah dimenangi oleh Aburizal Bakrie.

Secara terbuka bagi-bagi uang diakui dan disesalkan beberapa tokoh Golkar. Dengan demikian, harapan Munas Golkar menciptakan spirit, gairah, vitalitas, karakter, dan psike para kader untuk mengubah medan politik sebagai perjuangan telah pupus.

Pusaran arus pragmatisme telah semakin menyedot Golkar dalam turbulensi yang dapat memorakporandakan nilai dan pilar-pilar perjuangan Golkar. Kenikmatan kekuasaan telah menjadi pilihan Golkar yang dapat menjadi titian menuju kematian politik.

Proses itu semakin gamblang karena sang pemenang segera mengunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang oleh banyak kalangan diduga menegaskan keinginannya agar Golkar menjadi bagian dari pemerintahan SBY.

Panggung Munas Golkar telah semakin memperkuat persepsi publik bahwa ranah politik adalah ajang lelang kekuasaan dan wilayah di mana kepentingan apa pun dapat dijadikan transaksi. Inilah lahan subur bagi para politisi melakukan petualangan, baik untuk memanipulasi kekuasaan, mencari proteksi, menghapus sejarah kelam masa lalu, maupun membangun citra.

Koalisi partai politik yang seharusnya ditujukan untuk mengompromikan kebijakan untuk rakyat menjadi sekadar kelindan politik berupa jalinan kepentingan saling mengamankan interes subyektif masing-masing.

Semula, niat SBY mengakomodasi Golkar dianggap strategis agar koalisi pemerintahannya lebih plural dan lebih akseptabel. Mengharapkan dukungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) agak sulit karena hampir lima tahun PDI-P selalu menegaskan sebagai partai oposisi. Hanya kalkulasi pragmatislah yang akhirnya membuat PDI-P melunak sehingga atas dukungan Partai Demokrat, Taufik Kiemas mulus menjadi Ketua MPR. Praktis, PDI-P menjadi pendukung pemerintahan SBY.

Namun, menyaksikan perkembangan Golkar pascamunas, niat untuk mengakomodasi Golkar dalam pemerintahannya tampaknya kurang menguntungkan SBY.

Citra SBY akan terpuruk kalau pemerintahannya hanya dijadikan tempat perlindungan politik atau tempat pembersihan nama tokoh-tokoh Golkar yang pernah terkena atau terimbas berbagai kasus kontroversi, seperti Lapindo, Bank Bali, penyelundupan gula impor, dan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom.

Selain itu, Golkar akan disibukkan dengan potensi eksodusnya tokoh-tokoh andal Golkar yang merasa disingkirkan. Rasa sakit hati semakin menumpuk atas pengangkatan Rizal Mallarangeng, yang secara sengit menghantam habis-habisan tokoh Golkar dalam Pemilu 2009, tiba-tiba menjadi salah satu ketua Partai Golkar.

Cermat

Oleh sebab itu, kemenangan simbolik SBY berupa lebih dari 60 persen dukungan rakyat dan dukungan politik di parlemen lebih dari 50 persen seyogianya membuat SBY lebih cermat dalam mempertimbangkan apakah mengakomodasi Golkar dalam pemerintahannya akan memberikan berkah atau justru menyebabkan musibah.

Sementara itu, harapan Golkar dapat meraih kemenangan signifikan dalam Pemilu 2014 berkat berkelindan dengan SBY juga sangat diragukan. Dalam lima tahun ke depan, SBY masih merupakan tokoh sentral yang tidak dapat dikalahkan siapa pun. Pesona SBY akan dimanfaatkan oleh Partai Demokrat habis-habisan untuk memenangi pemilu 2014.

Secara bertahap, SBY tentu tidak mau kehilangan momentum mentransformasikan karisma dan daya pesonanya untuk menjadikan Partai Demokrat sebagai institusi politik yang andal. Ia tidak akan mewariskan Demokrat hanya sekadar sebagai fans club-nya SBY.

Mimpi

Oleh sebab itu, harapan Aburizal akan memetik keuntungan sebagai partai penguasa yang dapat mendongkrak perolehan Golkar dalam Pemilu 2014 hanya mimpi di siang hari bolong. Bahkan, tidak mustahil Demokrat akan menyedot kader-kader andal yang ditinggalkan oleh Aburizal pasca-Munas Golkar.

Adapun keberadaan Akbar Tandjung, tokoh yang pernah menyelamatkan Golkar dalam Pemilu 1999, diragukan apakah masih memiliki kemampuan mengontrol praktik pragmatisme yang sudah sangat akut.

Oleh sebab itu, sebaiknya Aburizal belajar dari pengalaman Golkar lima tahun lalu. Menjadi bagian kekuasaan tidak otomatis mempunyai peluang meraih kemenangan dalam pemilu.

Lebih baik Golkar tetap berada di luar kekuasaan dan secara bertahap melakukan konsolidasi ideologi, wawasan, dan organisasi.

Pemberantasan korupsi

Agenda lain yang harus dilakukan Golkar agar dapat merebut kembali kredibilitasnya, selain melalui kaderisasi yang benar, adalah Golkar harus memelopori pemberantasan korupsi politik dengan cara memprakarsai dan mengawal penyusunan regulasi yang mewajibkan parpol membuka akses publik terhadap keuangan parpol yang transparan dan akuntabel.

Persyaratan mendirikan parpol juga harus disertai kewajiban parpol mempunyai pelapor yang memenuhi standar sehingga dapat diaudit oleh akuntan publik.

Sanksi yang jelas harus diberikan kepada parpol yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan demikian, Golkar, mela- lui asketisme (mesu budi) politik, akan men- jadi parpol yang tangguh, modern, dan beradab. (Oleh J KRISTIADI)