Senin, 18 Januari 2010

MOBIL DINAS DAN 11 JUTA RAKYAT MISKIN

Terbit di TRIBUN JABAR, Hal 20, Tribun Forum, Referat, Edisi 4 Januari 2010.

Eksekutif dan legislatif Pemerintah Provinsi Jawa Barat akhirnya sepakat untuk menganggarkan pengadaan mobil dinas bagi Anggota DPRD Jabar senilai Rp 20 miliar dalam APBD tahun 2010. Dalam waktu yang bersamaan, secara diam-diam Pemerintah Kota (pemkot) Bandung juga mengalokasikan dana sebesar Rp 5 miliar dalam RAPBD 2010 untuk membeli 40 mobil dinas baru yang diperuntukan bagi pejabat eselon II.
Anggota DPRD Jabar dan pejabat eselon II di Pemkot Bandung rupanya tidak mau ketinggalan dengan para menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang sudah menikmati mobil Toyota Crown Royal Saloon senilai Rp 1,3 milyar sebagai kendaraan dinasnya. Dengan dalih yang sama bahwa pengadaan mobil dinas baru tersebut adalah untuk meningkatkan kinerja mereka.
Meski sempat diwarnai kontroversi dan reaksi dari elit partai yang menolak pengadaan mobil dinas bagi Anggota DPRD Jabar, tetap saja rencana itu kemungkinan akan berjalan mulus. Reaksi dan kontroversi itu hanya angin lalu. Yang jelas, sesaat lagi seluruh anggota DPRD Jabar kecuali unsur Pimpinan DPRD akan segera menikmati mobil dinas baru. Pemerintah Provinsi Jawa Barat rencananya akan memberikan pola pinjam pakai mobil dinas tersebut kepada 95 orang Anggota DPRD Jabar.
Begitupun dengan 26 camat di Kota Bandung rupanya akan segera menikmati mobil Toyota Avanza, delapan kepala seksi di Setda Kota Bandung akan menikmati mobil Toyota Rush, tiga asisten daerah akan menikmati mobil Toyota Vios dan tiga mobil Toyota Innova akan dinikmati oleh dua SOTK baru dan Ketua Korpri.
Jika kita melihat, tradisi membeli mobil dinas baru selalu terjadi pada setiap awal masa jabatan pemerintahan, baik itu menteri, anggota DPR/DPD, anggota DPRD provinsi atau kabupaten/kota dan juga pejabat pemerintahan lainnya yang meliputi gubernur, bupati/wali kota dan pejabat setingkat eselon. Memang pengadaan mobil dinas tersebut bukan sesuatu hal yang diharamkan, akan tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan APBD dan skala prioritas penggunaan anggaran daerah terutama untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Apalah artinya tindakan elit partai politik di DPRD Jabar yang memanggil anggotanya untuk dimintai keterangan terkait dengan lolosnya anggaran pengadaan mobil dinas senilai Rp 20 miliar. Semua itu sudah terlambat karena APBD 2010 sudah diketuk palu. Jika mereka serius, kenapa tindakan itu tidak dilakukan sejak awal proses pembahasan. Jangan mencoba membodohi rakyat, karena tindakan itu hanya tindakan akal-akalan saja. Mencoba cuci tangan. Seolah bersih dan peduli pada nasib serta kepentingan rakyat.
Pengadaan mobil dinas tersebut sangat melukai hati rakyat. Anggota DPRD Jabar, misalnya, ternyata mereka tidak peka dengan kondisi masyarakat Jawa Barat yang masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Sebagai wakil rakyat seyogyanya lebih mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang mementingkan kepentingan dirinya. Pengadaan mobil dinas tersebut tak lebih menunjukan sikap hedonisme yang melekat pada pejabat negara.
Anggaran Rp 20 miliar sangat cukup untuk mendongkrak kehidupan 11 juta rakyat Jawa Barat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Anggaran tersebut pun bisa dipergunakan untuk menutupi defisit alokasi anggaran pendidikan yang baru 16% dari rencana Gubernur 20%. Atau bisa digunakan untuk membuka lapangan kerja baru guna mengurangi angka pengangguran yang kian tinggi, karena janji Gubernur yang akan membuka sejuta lapangan pekerjaan hingga saat ini belum terealisasi.
Begitu juga dengan rencana Pemkot Bandung yang akan membeli 40 mobil dinas baru untuk pejabat eselon II yang menyedot uang rakyat sebesar Rp 5 miliar, seharusnya ditinjau ulang. Uang sebesar itu akan lebih maslahat jika dialokasikan untuk memperbaiki jalan-jalan di Kota Bandung yang masih rusak parah atau memperbaiki saluran/drainase air yang selalu mengakibatkan banjir ‘cileuncang’ ketika turun hujan.
Hal yang paling dikhawatirkan dan harus diperhatikan adalah jangan sampai anggaran pengadaan mobil dinas tersebut diambil dari pos belanja publik, apalagi untuk kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang menyangkut insfrastruktur utama, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Jika yang terjadi demikian, maka jelas-jelas pengadaan mobil dinas tersebut telah mengorbankan hak-hak rakyat.

Peningkatan kinerja
Pertanyaan yang kini muncul adalah apakah dengan adanya mobil dinas baru tersebut kinerja mereka akan meningkat? Justru hal inilah yang kemudian diragukan oleh banyak pihak. Tidak ada jaminan dengan adanya mobil dinas baru kinerja mereka akan meningkat. Terlebih kegiatan mereka akan banyak di kantor, kecuali kegiatan reses bagi anggota DPRD atau kunjungan dinas. Sehingga besar kemungkinan (bukan menuding) mobil dinas hanya akan digunkan untuk kepentingan pribadi di luar urusan kedinasan.
Terlebih, secara mayoritas para anggota DPRD dan pejabat setingkat eselon telah memiliki kendaraan pribadi. Jika berniat baik maka mereka bisa menggunakan fasilitas yang telah dimilikinya untuk mengabdi pada tugas negara. Adapun negara dalam hal ini adalah pemerintah daerah, dimana tempat ia bekerja, hanya memfasilitasi biaya yang keluar dalam setiap perjalanan dinas seperti akomodasi dan biaya transportasi. Dengan demikian maka pemerintah tidak akan menghambur-hamburkan anggarannya hanya untuk membeli mobil dinas baru.
Selain itu, kita patut mempertanyakan bagaimana sistem manajemen aset yang saat ini dijalankan oleh Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung. Mobil dinas untuk Anggota DPRD Jabar dan pejabat setingkat eselon di Pemkot Bandung, sudah ada dari dulu. Lantas bagaimana nasibnya kini? Apakah sudah benar-benar tidak layak pakai atau hilang dikemplang oleh pejabat lama yang enggan mengembalikannya.
Pengalaman membuktikan bahwa banyak kendaraan dinas yang berganti status menjadi kendaraan milik pribadi atau kendaraan tersebut tidak kembali kepada posnya karena digelapkan oleh pejabat lama. Kondisi ini harus segera diakhiri dengan tata kelola manajemen aset yang benar, kondisi ini akan merugikan anggaran daerah karena setiap tahun harus membeli mobil dinas baru, akhirnya anggaran untuk rakyat yang akan dikorbankan.
Mekanisme pemeliharaan dan pengembalian mobil dinas tersebut harus diatur dengan tegas sehingga bisa terukur seberapa lama kekuatan daya pakainya dan kapan mobil dinas tersebut harus dikembalikan. Kekhawatiran mobil dinas yang tidak terawat dan terpelihara secara baik serta tidak dikembalikan oleh pemakainya ketika habis masa kerjanya, akan terus terjadi jika manajemen aset yang dijalankan tidak benar, sehingga setiap tahun harus membeli mobil dinas baru yang menyedot anggaran miliaran rupiah.
Meski demikian, kita masih pantas menaruh harapan kepada Anggota DPRD Jabar yang mayoritas wajah baru dan pejabat eselon II Pemkot Bandung agar terpacu kinerjanya dalam mengemban amanat dan memenuhi kepentingan rakyat. Kita akan sama-sama menunggu peningkatan kinerja itu. (*)

KOKON DARMAWAN
Alumnus FIKOM UNPAD,
Bergiat di HKTI Jawa Barat