Senin, 28 Desember 2009

Euforia Calon Perseorangan

Terbit di Kompas Jabar, Halaman D, Forum, Edisi 23 Desember 2009

Terpilihnya pasangan HM Aceng Fikri dan Dicky Candra sebagai pasangan Bupati-Wakil Bupati Garut periode 2009-2014 dari jalur perseorangan pada pemilihan umum kepala daerah (pilkada) Kabupaten Garut tahun 2008 merupakan potret baru atas proses pilkada di Jawa Barat. Pasangan ini mampu mengempaskan pasangan lain yang dicalonkan partai politik.

Kemenangan calon perseorangan tersebut mendatangkan semangat baru dan daya tarik yang luar biasa bagi para politisi, baik dari kalangan partai politik maupun perseorangan, setidaknya bagi mereka yang memiliki obsesi menduduki takhta tertinggi di daerah masing-masing melalui kontes pilkada.

Kita akan segera menyaksikan kontes pilkada di Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok pada 2010. Menyusul kemudian Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya pada awal 2011. Apakah calon perseorangan akan banyak bermunculan, atau kontes pilkada itu hanya milik calon dari partai politik?

Calon perseorangan telah mendapatkan respons luar biasa dari masyarakat. Penelitian Lembaga Studi Indonesia (2008) menunjukkan bahwa komitmen masyarakat (80 persen responden) semakin kuat terhadap demokrasi, tetapi di sisi lain kurang merespons partai politik. Artinya, masyarakat sudah merasa jemu dan bosan dengan partai politik, terlebih kultur masyarakat kita suka mencoba hal-hal yang bersifat baru, termasuk calon perseorangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007 telah membuka kesempatan bagi calon perseorangan untuk maju dalam kontes pilkada. Wajar saja jika ada yang berpendapat bahwa putusan MK tentang calon perseorangan merupakan peringatan bagi partai politik. Itu menunjukkan bahwa kredibilitas partai politik sudah jauh merosot.

Namun, anggapan itu sesungguhnya tidaklah sepenuhnya benar. Penggiat partai politik pun selayaknya tidak menanggapi secara berlebihan atau "kebakaran jenggot" karena logikanya, calon perseorangan, bila dibandingkan dengan sekelompok orang, tentunya akan berlaku peribahasa ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Artinya, kemungkinan menangnya perseorangan jauh lebih kecil dibandingkan dengan sekelompok orang yang bargabung dalam sistem partai politik, yang mana jaringan dan kekuatan mekanisme organisasi akan sangat berperan. Hanya, jika fungsi partai politik tidak berjalan dengan benar, calon perseorangan kemungkinan memiliki peluang paling besar memenangi perhelatan pilkada.

Introspeksi, pembenahan, perbaikan, dan pelayanan yang terbaik oleh partai politik terhadap konstituennya yang notabene adalah rakyat harus lebih ditingkatkan. Ego dan eksklusivitas komunitas partai politik sudah saatnya dibaurkan pada kepentingan rakyat, bukan dibalik, yang mana rakyat harus membaur dan harus mengerti kepentingan partai politik.

Jika ditelisik lebih mendalam, calon perseorangan lebih melekat dengan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari proses awal pencalonannya yang harus mendapatkan dukungan langsung dari masyarakat yang tecermin dari bentuk surat pernyataan dukungan dan fotokopi kartu tanda penduduk. Di lain pihak, calon perseorangan dalam menentukan tim suksesnya ditentukan oleh calon sendiri tanpa intervensi pihak lain. Berbagai tantangan

Berbeda dengan posisi partai politik, yang mana partai politik merupakan kendaraan dan pintu bagi semua calon yang akan ikut dalam pilkada. Dukungan tecermin dari jumlah kursi partai politik bersangkutan di DPRD meski hal itu tidak menjadi jaminan sukses dalam pilkada. Maklum, dalam pilkada faktor figur menentukan. Partai politik memiliki insfrastruktur hingga tingkat kecamatan dan desa. Tim pemenangan pilkada ditentukan partai politik.

Partai politik menghadapi persoalan saat masyarakat sudah apatis dan jenuh dengan partai politik. Partai politik besar pun tidak menjamin menjadi pemenang dalam pilkada. Calon dari partai politik harus melalui tahapan konvensi atau setidak-tidaknya rapat pimpinan dalam partai politik bersangkutan dan harus mendapatkan restu dari pengurus provinsi dan pengurus pusat.

Antara calon perseorangan dan calon dari partai politik masing-masing dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama menyangkut dana dan infrastruktur. Calon perseorangan membutuhkan biaya besar untuk pengumpulan dukungan masyarakat. Misalnya, jika hak pilih di Kabupaten Bandung dalam pilkada 2010 mencapai 2,5 juta orang, pasangan calon perseorangan membutuhkan dukungan minimal sekitar 75.000 orang (3 persen).

Jumlah ini akan berkaitan dengan biaya pengumpulan dukungan. Selain itu, akan muncul juga banyak pihak yang memberikan dukungan terhadap calon perseorangan, dengan konsekuensi membengkaknya beban keuangan bagi biaya operasional mereka. Calon perseorangan juga memerlukan penguatan jaringan infrastruktur hingga ke desa.

Adapun calon dari partai politik akan membutuhkan biaya besar dalam proses konvensi (penggalangan dukungan) dari kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Bagi calon yang bukan kader, akan ada istilah "membeli partai" yang biasanya didasarkan pada jumlah kursi di DPRD atau tergantung komitmen antara calon dan elite partai politik bersangkutan. Calon pun membutuhkan biaya besar dalam proses kampanye karena tim pemenangan akan meliputi tim kampanye internal calon dan tim kampanye yang dibentuk partai politik pengusung calon (double budgeting).

Kehadiran calon perseorangan dalam kontes pilkada semakin hari semakin membumi. Hampir setiap pilkada di kabupaten/kota selalu diikuti calon perseorangan. Namun, keputusan akhir ada pada nurani masyarakat yang akan memilih. Bagaimanapun, faktor figur akan lebih utama dibandingkan dengan kendaraan pengusungnya. Semoga masyarakat tidak salah memilih.

KOKON DARMAWAN, Pemerhati Sosial dan Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar