Rabu, 30 Desember 2009

DPD Dukung Moratorium

Rabu, 30 Desember 2009 | 03:16 WIB

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah mendukung upaya moratorium pemekaran daerah. DPD juga mendukung pemerintah yang sudah tidak lagi mengajukan usulan rancangan undang-undang pembentukan provinsi/kabupaten/ kota dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014 dan RUU Prioritas 2010.

Posisi politik itu disampaikan Ketua DPD Irman Gusman (Sumatera Barat) saat menyampaikan catatan refleksi DPD menyambut tahun 2010 di Gedung DPD, Selasa (29/12). Hadir juga Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DI Yogyakarta) dan Ketua Komite III Sulistiyo (Jawa Tengah) serta Sekretaris Jenderal DPD Siti Nurbaya.

Menurut Irman, salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan publik dari pemerintah lokal dalam konteks otonomi daerah adalah pemekaran.

”Namun, jika kita melihat kinerja dari 205 daerah otonom baru, perlu dilakukan moratorium atau jeda yang bertujuan untuk menghindari usulan yang hanya memenuhi kebutuhan taktis dan pragmatis, bukan strategis,” ucapnya.

DPD berpandangan, pembentukan dan pemekaran daerah otonom baru yang tidak memenuhi persyaratan administrasi serta keuangan hanya membebani negara. Kebijakan jeda ini untuk mempertimbangkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru yang dibentuk sepuluh tahun terakhir.

Andalkan pemerintah

Meski demikian, DPD sangat mengandalkan pemerintah untuk mengambil peran besar adanya moratorium pemekaran tersebut.

”Pemerintah jangan lagi mengirim surat presiden yang menugaskan menterinya untuk membahas RUU Pemekaran,” ujar Irman.

Ketika ditanya apakah DPD tidak akan lagi mengajukan RUU Pembentukan Daerah Otonom pada masa mendatang, Irman tidak bisa memastikan itu. DPD juga masih akan ikut membahas RUU Pembentukan Daerah Otonom yang diusulkan DPR.

Menurut Irman, implementasi dukungan DPD terhadap moratorium pemekaran lebih pada bentuk sikap kehati-hatian dalam menjustifikasi RUU Pemekaran.(sut)

Senin, 28 Desember 2009

Bagai Pungguk Ketiban Bulan

Oleh Kokon Dharmawan *)

Judul : Produksi Siaran untuk Radio Komunitas
Penulis : Masduki (Adink)
Penerbit : Combine Resource Institution
Tahun : Cetakan pertama tahun 2003
Tbeal : iv + 108 halaman

"Bagaikan pungguk yang ketiban bulan," itulah sebuah ungkapan yang tepat ketika membaca buku panduan bertajuk Produksi Siaran untuk Radio Komunitas, yang disusun oleh Masduki (Adink), seorang praktisi radio yang dekat dengan gerakan pengembangan radio komunitas (rakom). Buku panduan seperti inilah yang sangat dinantikan dari dulu oleh kalangan pengelola rakom.

Pentingnya buku panduan untuk pengelola radio komunitas didasarkan pada fakta tentang masih terbilang barunya kiprah rakom di kancah dunia penyiaran. Realitanya, masih banyak pengelola rakom yang belum bisa menata dan mengatur dirinya dalam mengemban perannya sebagai radio milik warga yang harus mampu memberikan segala akses informasi kepada warga tersebut.

Lewat bahasanya yang lugas dan tidak bertele-tele, buku ini telah banyak menjawab beberapa masalah di atas. Melalui alur penulisannya yang runtut, isi buku ini menjelaskan bagaimana sebuah rakom dapat berperan aktif dalam komunitasnya. Dimulai dari tahap perencanaan pembuatan radio, proses pembuatan radio, peran dan fungsi radio.

Selain itu juga tentang tata kelola rakom, maupun proses kegiatan penyiaran rakom, seperti bagaimana proses mencari informasi: wawancara, investigasi, dan liputan langsung; mengolah informasi: pengumpulan berita, editing; dan menyampaikan kembali informasi tersebut kepada komunitas sasarannya; semuanya telah dijelaskan dengan gamblang. Bahkan, buku ini juga membahas tentang apa itu radio jika dilihat dari segi kelebihan dan kelemahannya jika dibandingkan dengan media lain.

Gambar-gambar ilustrasi yang mengisi buku ini, ikut mempertajam makna dialog dan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan tulisan yang pendek, ditambah dengan ilustrasi yang tepat dan bentuk tuturan dialog yang sederhana, membuat pembaca semakin mengerti maksud dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.

Misalnya, ilustrasi orang yang sedang bersiaran di studio beserta alat-alat siarannya, atau orang yang sedang melakukan wawancara di lapangan beserta narasumbernya, telah menarik imajinasi pembaca untuk melihat sebuah realita keseharian mereka yang biasa dilakukannya. Yang pasti, segala realita keseharian dan kegiatan maupun perilaku mereka selaku insan radio dapat tergambarkan dengan jelas pada isi buku ini.

Buku ini akan makin menarik, jika tata letaknya diatur sedemikian rupa. Ada beberapa halaman yang tata letak gambarnya atau tulisanya telah membuat mata si pembaca meloncat-loncat atau dibuat miring. Padahal hal seperti ini akan membuat si pembaca tidak nyaman dalam membaca dan menjadi cepat lelah.

Terlalu banyak ruang kosong merupakan masalah juga. Padahal halaman-halaman kosong tersebut bisa diisi dengan tulisan lain yang bisa memperjelas atau mempertajam inti pembahasan. Selain itu, bentuk tulisannya pun cukup berbeda-beda, sehingga ada bagian yang terlalu mencolok. Dengan demikian, bagian yang tidak mencolok akan terlewatkan oleh pembaca, padahal bagian itu memiliki nilai penting untuk dibaca.

Untuk memperjelas isi kandungan buku ini, alangkah lebih baiknya lagi jika dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang berisi contoh-contoh profil sebuah rakom, contoh format program siaran rakom yang telah dijalankan, atau contoh naskah berita dan contoh-contoh lainya yang bisa dijadikan sebagai bahan kajian dan perbandingan oleh para pengelola rakom. Karena dengan contoh seperti itu, akan makin mempertajam dan memperjelas pemahaman pembaca. Walau demikian, buku ini telah mampu memberi konstribusi sangat besar bagi perjalanan dan proses berlangsungnya kehidupan sebuah rakom.

*) Fasilitator dan Pegiat Radio Komunitas RASI FM Cisewu, Garut, ]awa Barat

Irianto MS Syafiudin Mampu Membawa Perubahan di Tubuh Golkar Jabar

Rabu, 02 Desember 2009 14:08

PRO3RRI - Bandung:: Dengan terpilihnya Irianto MS Syafiudin alias Yance sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat periode 2009-2014,diharapkan dapat membawa perubahan di tubuh partai Golkar bangkit dari keterpurukan meskipun cukup berat tantangannya

Dengan terpilihnya Irianto MS Syafiudin alias Yance sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat periode 2009-2014,diharapkan dapat membawa perubahan di tubuh partai Golkar bangkit dari keterpurukan meskipun cukup berat tantangannya dengan kondisi partai tersebut pada saat ini,karena pada 2009 Golkar di Jabar terpuruk dari perolehan kursi di DPRD Kabupaten/Kota,Propinsi maupun di tingkat pusat dalam Pemilu lalu. Menurut pengamat politik Kokon Darmawan,Yance harus berani melakukan reformasi strukturisasi artinya berani memunculkan figure-figur baru dengan ide dan gagasan baru. Figur Golkar saat ini tegas Kokon,tidak mampu mendongkrak Golkar dalam reposisi,restrukturisasi,rekonsolidasi dan reorientasi di tubuh Golkar jika Golkar ingin besar di Jawa barat.

”Intinya Yance harus berani mengambil tindakan yang controversial,saya lihat figure yang ada di Golkar Jabar bukan figure yang mampu menjual dan membesarkan Golkar dan mampu merestrukturisasi di tubuh Golkar di DPD II maupun DPD I”.

Sementara itu menurut Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Jabar Sunatra,jika melihat kinerja Irianto MS Syafiudin atau Yance,diantara Ketua Ketua DPD Partai Golkar di Kabupupaten/Kota di Indonesia,Yance merupakan sosok yang berprestasi,artinya satu-satunya Partai Golkar Kabupaten Indramayu yang naik dalam Pemilu 2009 dalam perolehan suara.

”Kalaulah ini gaya kepemimpinan pak Yance diterapkan diterapkan di wilayah Jabar bisa signifikan. Gaya komunikasi pak Yance antar pengurus cukup bagus. Yang paling bagaimana komunikasi politik diantara para pengurus menjadi kompak dan bagaimana memperjuangkan aspirasi rakyat dengan benar”.

Apabila Partai Golkar tidak mau ditinggalkan oleh rakyat,tegas Sunatra maka semua pengurus dan jajaran partai Golkar harus sekuat tenaga berjuang untuk rakyat.

Euforia Calon Perseorangan

Terbit di Kompas Jabar, Halaman D, Forum, Edisi 23 Desember 2009

Terpilihnya pasangan HM Aceng Fikri dan Dicky Candra sebagai pasangan Bupati-Wakil Bupati Garut periode 2009-2014 dari jalur perseorangan pada pemilihan umum kepala daerah (pilkada) Kabupaten Garut tahun 2008 merupakan potret baru atas proses pilkada di Jawa Barat. Pasangan ini mampu mengempaskan pasangan lain yang dicalonkan partai politik.

Kemenangan calon perseorangan tersebut mendatangkan semangat baru dan daya tarik yang luar biasa bagi para politisi, baik dari kalangan partai politik maupun perseorangan, setidaknya bagi mereka yang memiliki obsesi menduduki takhta tertinggi di daerah masing-masing melalui kontes pilkada.

Kita akan segera menyaksikan kontes pilkada di Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok pada 2010. Menyusul kemudian Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya pada awal 2011. Apakah calon perseorangan akan banyak bermunculan, atau kontes pilkada itu hanya milik calon dari partai politik?

Calon perseorangan telah mendapatkan respons luar biasa dari masyarakat. Penelitian Lembaga Studi Indonesia (2008) menunjukkan bahwa komitmen masyarakat (80 persen responden) semakin kuat terhadap demokrasi, tetapi di sisi lain kurang merespons partai politik. Artinya, masyarakat sudah merasa jemu dan bosan dengan partai politik, terlebih kultur masyarakat kita suka mencoba hal-hal yang bersifat baru, termasuk calon perseorangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007 telah membuka kesempatan bagi calon perseorangan untuk maju dalam kontes pilkada. Wajar saja jika ada yang berpendapat bahwa putusan MK tentang calon perseorangan merupakan peringatan bagi partai politik. Itu menunjukkan bahwa kredibilitas partai politik sudah jauh merosot.

Namun, anggapan itu sesungguhnya tidaklah sepenuhnya benar. Penggiat partai politik pun selayaknya tidak menanggapi secara berlebihan atau "kebakaran jenggot" karena logikanya, calon perseorangan, bila dibandingkan dengan sekelompok orang, tentunya akan berlaku peribahasa ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Artinya, kemungkinan menangnya perseorangan jauh lebih kecil dibandingkan dengan sekelompok orang yang bargabung dalam sistem partai politik, yang mana jaringan dan kekuatan mekanisme organisasi akan sangat berperan. Hanya, jika fungsi partai politik tidak berjalan dengan benar, calon perseorangan kemungkinan memiliki peluang paling besar memenangi perhelatan pilkada.

Introspeksi, pembenahan, perbaikan, dan pelayanan yang terbaik oleh partai politik terhadap konstituennya yang notabene adalah rakyat harus lebih ditingkatkan. Ego dan eksklusivitas komunitas partai politik sudah saatnya dibaurkan pada kepentingan rakyat, bukan dibalik, yang mana rakyat harus membaur dan harus mengerti kepentingan partai politik.

Jika ditelisik lebih mendalam, calon perseorangan lebih melekat dengan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari proses awal pencalonannya yang harus mendapatkan dukungan langsung dari masyarakat yang tecermin dari bentuk surat pernyataan dukungan dan fotokopi kartu tanda penduduk. Di lain pihak, calon perseorangan dalam menentukan tim suksesnya ditentukan oleh calon sendiri tanpa intervensi pihak lain. Berbagai tantangan

Berbeda dengan posisi partai politik, yang mana partai politik merupakan kendaraan dan pintu bagi semua calon yang akan ikut dalam pilkada. Dukungan tecermin dari jumlah kursi partai politik bersangkutan di DPRD meski hal itu tidak menjadi jaminan sukses dalam pilkada. Maklum, dalam pilkada faktor figur menentukan. Partai politik memiliki insfrastruktur hingga tingkat kecamatan dan desa. Tim pemenangan pilkada ditentukan partai politik.

Partai politik menghadapi persoalan saat masyarakat sudah apatis dan jenuh dengan partai politik. Partai politik besar pun tidak menjamin menjadi pemenang dalam pilkada. Calon dari partai politik harus melalui tahapan konvensi atau setidak-tidaknya rapat pimpinan dalam partai politik bersangkutan dan harus mendapatkan restu dari pengurus provinsi dan pengurus pusat.

Antara calon perseorangan dan calon dari partai politik masing-masing dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama menyangkut dana dan infrastruktur. Calon perseorangan membutuhkan biaya besar untuk pengumpulan dukungan masyarakat. Misalnya, jika hak pilih di Kabupaten Bandung dalam pilkada 2010 mencapai 2,5 juta orang, pasangan calon perseorangan membutuhkan dukungan minimal sekitar 75.000 orang (3 persen).

Jumlah ini akan berkaitan dengan biaya pengumpulan dukungan. Selain itu, akan muncul juga banyak pihak yang memberikan dukungan terhadap calon perseorangan, dengan konsekuensi membengkaknya beban keuangan bagi biaya operasional mereka. Calon perseorangan juga memerlukan penguatan jaringan infrastruktur hingga ke desa.

Adapun calon dari partai politik akan membutuhkan biaya besar dalam proses konvensi (penggalangan dukungan) dari kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Bagi calon yang bukan kader, akan ada istilah "membeli partai" yang biasanya didasarkan pada jumlah kursi di DPRD atau tergantung komitmen antara calon dan elite partai politik bersangkutan. Calon pun membutuhkan biaya besar dalam proses kampanye karena tim pemenangan akan meliputi tim kampanye internal calon dan tim kampanye yang dibentuk partai politik pengusung calon (double budgeting).

Kehadiran calon perseorangan dalam kontes pilkada semakin hari semakin membumi. Hampir setiap pilkada di kabupaten/kota selalu diikuti calon perseorangan. Namun, keputusan akhir ada pada nurani masyarakat yang akan memilih. Bagaimanapun, faktor figur akan lebih utama dibandingkan dengan kendaraan pengusungnya. Semoga masyarakat tidak salah memilih.

KOKON DARMAWAN, Pemerhati Sosial dan Politik

Jumat, 23 Oktober 2009

Sikap Megawati Perlu Diapresiasi

Jakarta, Kompas - Masyarakat harus mengapresiasi sikap Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang memutuskan tidak berkoalisi dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tetapi memilih menjadi partai penyeimbang pemerintah.

Guru besar ilmu politik dari Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, mengemukakan hal itu saat ditemui pers seusai menjadi pembicara di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jakarta, Jumat (23/10).

Ia menilai langkah yang telah dilakukan Megawati tersebut memberikan manfaat besar bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.

Maswadi menduga, sikap Megawati ini pun akan menimbulkan simpati masyarakat dan dapat membangun citra PDI-P di mata publik menjadi lebih baik.

Maswadi bahkan mengusulkan, pada masa mendatang undang-undang perlu mengatur adanya anggaran negara khusus bagi partai yang berada di luar pemerintahan karena partai tersebut tidak mendapat banyak fasilitas seperti partai yang berada di pemerintahan.

”Anggaran khusus ini untuk menggairahkan oposisi,” ungkap Maswadi.

Adanya anggaran khusus untuk partai oposisi ini pun bisa membuat partai politik tidak takut menjadi oposisi dan semua bergabung dalam pemerintahan yang bisa mencelakakan proses demokrasi.

Bersinergi

Dari sembilan fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat, hanya tiga fraksi yang tidak masuk dalam pemerintahan, yaitu PDI-P, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Ketiga fraksi ini pun memiliki keinginan untuk saling menguatkan satu sama lain.

Hal itu terlihat ketika Ganjar Pranowo (PDI-P), Ahmad Muzani (Gerindra), dan Fauzi Achmad (Hanura) hadir sebagai pembicara dalam ”Diskusi Dialektika Demokrasi” di ruang wartawan DPR, kemarin. Ketika ditanya soal kemungkinan menyusun sekretariat bersama, ketiganya tidak menutup kemungkinan itu dan akan menjajaki hal tersebut.

Sebagai mantan Ketua Panitia Khusus RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menurut Ganjar, dalam pembahasan RUU tersebut pernah diusulkan pembentukan gabungan fraksi yang berada di pemerintahan dan di luar pemerintahan, dengan tujuan agar mendapat dukungan sistem. Namun, usulan itu ditolak.

Muzani juga menegaskan bahwa peran pers sangat besar untuk mendorong hadirnya kelompok penyeimbang yang kuat.

Fauzi juga mengingatkan bahwa tanpa adanya kontrol yang kuat, kekuatan pemerintah bisa menjadi absolut dan itu sangat membahayakan.

”Kalau ada absolute power (kekuasaan absolut), (partai penyeimbang) tidak hanya mati suri, tapi mati beneran,” ujar Fauzi. (sut)

Jumlah Kursi di Daerah Pemekaran Naik

Jakarta, Kompas - Jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang dimekarkan, baik untuk daerah induk maupun daerah pemekaran, naik dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kursi DPRD wilayah induk.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) Hadar N Gumay dalam diskusi ”Pengisian Kursi DPRD Kabupaten/Kota Pemekaran” di Jakarta, Kamis (22/10).

Semula, 20 kabupaten induk, sebelum pemekaran, hanya memiliki 710 kursi DPRD. Namun, setelah dimekarkan hingga menjadi 20 kabupaten induk dan 26 kabupaten/kota pemekaran, jumlah kursi DPRD untuk daerah induk dan pemekaran menjadi 1.255 kursi DPRD atau naik 76,76 persen. ”Ini konsekuensi dari pemekaran daerah. Jadi, kursi DPRD-nya harus segara diisi,” katanya.

Namun, ternyata pengisian kursi DPRD untuk daerah yang dimekarkan, baik daerah induk maupun daerah pemekaran, belum dapat dilakukan.

Padahal, tiap-tiap daerah pemekaran yang rata-rata dimekarkan pada tahun 2008 itu, menurut Koordinator Forum Calon Anggota Legislatif Lintas Partai Kota Tangerang Selatan Robert Usman, terancam dikembalikan ke daerah induk jika tidak mampu membentuk pemerintahan definitif setelah dua tahun disahkan.

Robert menambahkan, sudah ada UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang Dibentuk Setelah Pemilu Tahun 2004 untuk mengisi kursi DPRD di daerah pemekaran.

Aturan itu tidak digunakan karena KPU mengacu kepada UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru disahkan akhir Agustus lalu. Namun, UU itu belum bisa dilaksanakan karena belum ada peraturan KPU untuk menjalankan UU itu.

”KPU sudah selesaikan naskah akademis peraturannya. Awal November nanti diperkirakan sudah selesai,” kata anggota KPU, I Gusti Putu Artha.

KPU menjanjikan aturan itu akan mengatur secara mendetail pengisian kursi DPRD pemekaran sehingga KPUD wilayah pemekaran terhindar dari tekanan partai politik dan menghindari benturan di antara sesama caleg partai.

Lambannya pembentukan peraturan KPU karena tidak detailnya UU No 27/2009 sehingga KPU kesulitan untuk mengimplementasikan ketentuan UU dalam membagi kursi DPRD pemekaran. Terlebih lagi, banyak daerah pemilihan dalam pemilu anggota DPRD lalu yang ternyata tidak sinkron dengan daerah yang dimekarkan. (MZW)

Rabu, 21 Oktober 2009

Kabinet Minus Mimik Keprihatinan

Sebagai seorang demokrat, saya berharap Kabinet Indonesia Bersatu II, 2009-2014, akan memenuhi harapan masyarakat luas untuk membebaskan bangsa ini dari lilitan kemiskinan, korupsi, kebodohan, kepura-puraan, dan politik uang yang mewabah.

Legitimasi konstitusional melalui pemilu dalam sistem demokrasi adalah modal bagi sebuah pemerintah untuk mewujudkan janji-janjinya bagi kesejahteraan umum. Hal itu, sejak Indonesia merdeka, belum pernah benar- benar bergerak ke jurusan ideal. Retorika politik dengan berbagai gaya telah lama menempatkan Pancasila di sebuah limbo sejarah.

Seandainya harapan ke arah perbaikan fundamental ini menjadi kenyataan pada masa datang, legitimasi konstitusional pemerintah pasti akan diikuti legitimasi moral dan sosial seluruh masyarakat. Dan Pancasila tidak perlu menjerit lagi karena nilai-nilai luhurnya mulai diperhatikan dan dijalankan pemerintah yang mendapat mandat langsung dari rakyat.

Jangan disembelih sendiri

Saya telah membujuk diri untuk tidak memberi penilaian sebelum kabinet bekerja pada bulan-bulan mendatang. Setelah berjalan beberapa lama, barulah orang bebas memberikan evaluasi obyektif terhadap kinerja kabinet ini. Terhadap anggota kabinet ini, yang sebagian saya kenal secara pribadi, tentu saya harus mengucapkan selamat bekerja kepada mereka dalam mengemban amanat rakyat yang sebagian besar masih belum merasakan makna kemerdekaan bagi perbaikan nasib mereka ketimbang sebagian anak bangsa yang telah jauh berada di depan.

Sebagai warga yang telah berusia 74 tahun, keinginan saya hanya tunggal: leher bangsa ini jangan sampai disembelih oleh anak-anaknya sendiri yang tak tahu diri karena sudah lama hidup dalam lingkaran kemakmuran materi yang melimpah. Harta cukup, kekuasaan di tangan, dan orang hormat kepadanya, karena tulus, ketidaktahuan, atau karena terpaksa, tak perlu kita bicarakan di sini. Singkatnya kelompok ini sudah merasakan nikmat kemerdekaan dengan segala fasilitas yang menyertainya.

Karena saat penilaian masih ditunggu, apa yang saya tulis di bawah ini tidak lebih dari kesan selintas yang semoga tidak mewakili kenyataan yang sebenarnya nanti dalam kinerja mereka pada tahun-tahun mendatang. Kesan itu terlihat di layar kaca sewaktu mereka dipanggil ke Cikeas dan saat tes kesehatan di Rumah Sakit Gatot Subroto menjelang hari pelantikan mereka sebagai anggota kabinet pada 22 Oktober 2009. Kesan itu sudah tersimpul dalam judul artikel ini.

Hampir tanpa kecuali, wajah calon-calon anggota kabinet itu tampak bahagia di tengah kerumunan pers sambil mengangkat dan melambaikan tangan, tidak terlihat mimik keprihatinan tentang keadaan bangsa dan negara yang masih sempoyongan dalam memetakan masa depannya. Namun, sekali lagi, panorama ini semoga bukanlah wujud ketidakpedulian mereka terhadap masalah-masalah besar yang telah mendera bangsa ini sejak puluhan tahun yang lalu. Keceriaan yang terlihat itu semoga melambangkan optimisme bahwa mereka bisa dan akan berbuat sesuatu yang bermakna di bidangnya masing-masing bagi kepentingan rakyat banyak.

Oleh sebab itu, pengamatan sekilas belum dapat dijadikan indikator bahwa mereka tidak prihatin. Boleh jadi sangat prihatin, tetapi mereka tidak mau hanyut dalam keprihatinan sebab akan melemahkan daya ”tempur” mereka untuk mengabdi kepada kepentingan umum.

Sebagaimana telah sering saya sampaikan di depan berbagai forum, salah satu kendala terbesar yang dihadapi Indonesia merdeka sejak puluhan tahun yang lalu adalah masalah kepemimpinan dalam berbagai tingkat. Sulit ditemukan sepanjang sejarah Indonesia merdeka tampilnya pemimpin yang tepat di saat yang tepat. Ada saja titik lemah yang menggagalkan kepemimpinan mereka untuk mewujudkan cita- cita yang telah disampaikan secara lisan atau tertulis.

Kita ambil contoh kepemimpinan nasional 2004-2009 dengan nakhoda SBY-Kalla. Keduanya datang dari subkultur yang berbeda, tetapi sebenarnya saling melengkapi. Jika SBY adalah rem, Kalla gasnya. Ibarat sebuah kendaraan, jika rem yang lebih dominan, gasnya akan tersendat- sendat, akan sangat sulit tujuan bisa dihampiri. Sebaliknya, jika gas yang dominan, remnya lemah sekali, bisa jadi kendaraan akan masuk jurang. Selama periode di atas, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, SBY-Kalla telah selamat menjalani periode lima tahun sebagaimana yang diminta oleh konstitusi.

Lapindo dan Bank Century

Bencana alam yang datang silih berganti tidak sampai membawa bangsa ini pada suasana putus asa. Namun, bencana Lapindo malah ditetapkan sebagai bencana alam, bukan akibat kecerobohan perusahaan, sesuatu yang ditantang oleh para ilmuwan yang mengerti betul bahwa bencana itu bukan bencana alam. Karena para ilmuwan itu tidak akan tinggal diam, bencana Lapindo ini pasti akan tetap menguak pada waktu-waktu yang akan datang, sekalipun para ilmuwan itu sering tidak berdaya berhadapan dengan hukum, kekuasaan, dan uang.

Borok lain yang mengemuka pada bulan-bulan terakhir kepemimpinan SBY-Kalla adalah skandal Bank Century yang kemudian memicu ketegangan antara KPK dan Polri, dua aparat penegak hukum yang sama-sama naik ke ring tinju. Rakyat banyak hanya bingung menyaksikan pertarungan yang memalukan itu. Sementara itu, pemeriksaan atas mantan Ketua KPK Antasari Azhar telah berbulan-bulan menyita perhatian publik yang semakin skeptik terhadap dunia hukum dan peradilan kita. Pertanyaannya adalah: kapan Indonesia dibebaskan dari mafia peradilan yang sarat dengan konflik kepentingan?

Akhirnya, sekalipun sebagian pengamat dan pengusaha menyambut positif tim ekonomi SBY-Boediono, saya yang tidak paham masalah ekonomi dan keuangan lebih baik menunggu penilaian pihak-pihak lain yang mungkin punya pandangan berbeda. Penyakit Indonesia dari sisi mana pun kita menengoknya dengan utang luar negeri yang tinggi akan memerlukan waktu lama bagi proses penyembuhannya.

Oleh sebab itu, mimik keprihatinan masih sangat perlu dipertahankan sampai situasi umum bangsa ini benar-benar membaik secara signifikan.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

PELANTIKAN ITU BERSIFAT ARTIFISIAL DAN BERJARAK

Jakarta, Kompas - Upacara pelantikan presiden dan wakil presiden, Selasa (20/10), bersifat artifisial dan berjarak dengan rakyat. Pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono itu seharusnya menjadi milik rakyat dan dirayakan sebagai pesta rakyat.

Demikian disampaikan sutradara Garin Nugroho, pemain teater Aspar Paturusi, dan ahli komunikasi politik Effendi Gazali secara terpisah di Jakarta, kemarin.

Menurut Effendi Gazali, yang menyaksikan langsung pelantikan Presiden Barack Obama, 20 Januari 2009, pelantikan Obama disambut harapan hampir seluruh dunia, sedangkan pelantikan Yudhoyono disambut campuran harapan dan unjuk rasa.

”Pelantikan Obama diramu sebagai gabungan nilai sejarah, seni pertunjukan kelas tinggi, dan pesta budaya yang melibatkan seluruh bangsa Amerika, bahkan dunia. Pelantikan Presiden Yudhoyono sangat formal, relatif hanya seremonial,” ucapnya.

Padahal, dalam pemilu presiden, perolehan suara Yudhoyono lebih tinggi daripada Obama. Perolehan suara Yudhoyono adalah 73.874.562 suara atau 60,8 persen, sementara Obama mendapat 69.456.897 suara atau 52,9 persen.

Pelantikan Obama dipadati tidak hanya oleh elite, tetapi juga rakyat jelata. Diperkirakan 2 juta orang berdatangan. Wartawan Kompas Budiarto Shambazy waktu itu melaporkan, ratusan ribu orang bahkan tetap tinggal di National Mall menanti pelantikan Obama. Udara musim dingin yang mencapai 0 derajat Celsius juga tidak menyurutkan kegembiraan orang-orang.

Memisahkan rakyat

Menurut Aspar, ”ritual” pelantikan itu terlalu bersifat protokoler. Berbeda dengan bentuk pemilihan langsung dan kampanye terbuka, pelantikan Yudhoyono justru jauh dari rakyat.

Aspar mengemukakan, Gedung MPR hanya namanya saja yang menggunakan kata ”rakyat”. Namun, situasi pelantikan yang serba protokoler itu memisahkan mata dan telinga rakyat lewat dinding-dinding.

”Rasanya seperti ada tirai,” kata Aspar.

Menurut Aspar, inilah tanda tertutupnya ”tirai-tirai” pada masa kampanye, saat masyarakat bebas bersalaman dengan calon presiden dan calon-calon wakil rakyat. Kini, ada pagar berupa Pasukan Pengamanan Presiden. Aspar bahkan menumpahkan pelantikan itu dalam puisi: sketsa hari ini ada sumpah diucapkan tegas dan lantang. Adakah sumpah bertuah memenuhi amanah? Kita tak akan berhenti menanti.

Garin Nugroho menilai pelantikan presiden dan wakilnya seharusnya menjadi milik masyarakat dan dirayakan sebagai pesta rakyat. Namun, acara itu menjadi tidak lebih dari sebuah perayaan kemenangan yang steril dari partisipasi publik. Rangkaian tontonan yang belakangan ini juga bersifat artifisial. ”Seperti tontonan sinetron tanpa karakter,” ungkap Garin.

Menurut Garin, apa yang dipertontonkan bukan apa yang menurut mereka diinginkan atau melibatkan rakyat. ”Partisipasi masyarakat tidak menjadi pertimbangan mereka,” ujarnya. (edn/sut)

KOALISI BULAT ATAU LONJONG?

Saat artikel ini ditulis, masuk tidaknya kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II masih merupakan teka-teki.

Meski nama para calon menteri dan pejabat setingkat menteri sudah dimuat di beberapa media, bukan mustahil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih berharap PDI-P masuk kabinet koalisi nasional. Jika PDI-P masuk, lengkaplah ”koalisi bulat”. Namun, bila Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri kukuh PDI-P independen terhadap pemerintah, ”koalisi lonjong” akan terjadi.

Angan-angan SBY untuk mengajak PDI-P masuk kabinet bukan impian semusim. Pendekatan itu sudah dilakukan antara petinggi Partai Demokrat (PD) dan PDI-P jauh sebelum Pemilu Presiden-Wakil Presiden 8 Juli 2009. Di dalam PDI-P sendiri terjadi pertarungan tajam antara kelompok idealis di bawah Megawati dan kelompok pragmatis yang dipimpin Taufik Kiemas dan Puan Maharani (suami dan putri Megawati). Langkah awal untuk menggiring PDI- P ke kubu SBY ialah melalui dukungan politik agar Taufik Kiemas terpilih menjadi Ketua (MPR).

Nama Pramono Anung Wibowo, Puan Maharani, dan Cahyo Kumolo sempat masuk bursa calon anggota kabinet dari PDI-P. Konon, Pramono ditawari posisi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, berganti menjadi Menteri Kehutanan, lalu Menteri Pekerjaan Umum. Puan sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sementara Cahyo menjadi Mennegpora. Namun, semua tergantung persetujuan politik Megawati. Ternyata, saat audisi para calon menteri, Megawati menghilang, awalnya cek kesehatan ke Singapura, lalu entah ke mana.

Jika koalisi bulat yang terbentuk, ini akan merugikan demokrasi dan mengacaukan nama serta posisi menteri yang sudah ada. Namun, jika Megawati bersikukuh menolak, politik Indonesia akan lebih cantik dan dinamis! Paling tidak ada tiga partai politik yang tidak masuk kabinet dan akan menjadi oposisi loyal di DPR, yaitu PDI-P (95 kursi), Gerindra (26 kursi), dan Hanura 18 (kursi). Meski minoritas, suasana parlemen akan hidup.

Alih-alih membentuk kabinet kerja yang sebagian besar kaum profesional nonpartai, ternyata untuk kenyamanan politik, SBY membentuk kabinet yang 55,55 persen dari parpol. Ini berbeda dengan pernyataan petinggi PD bahwa 65 persen dari kabinet berisi profesional nonpartai dan 35 persen dari partai.

Taruhan politik

Komposisi kabinet ini merupakan taruhan politik SBY. Banyaknya muka baru dalam Kabinet Indonesia Bersatu II menimbulkan dua konsekuensi.

Pertama, menimbulkan pertanyaan soal kesinambungan penanganan program pembangunan. Kedua, menambah waktu untuk konsolidasi internal kabinet. Banyaknya orang partai juga meresahkan jika ia lebih mendahulukan kepentingan partai ketimbang bangsa dan negara.

Padahal, pada pidato pelantikan sebagai Presiden RI 2009- 2014, Selasa (20/10), ada tiga fokus utama dari 15 program kabinet yang harus cepat dijalankan, yaitu mengembangkan demokrasi yang bermartabat, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan pemerataan rasa keadilan di masyarakat.

Angan-angan untuk menyejahterakan rakyat tentu sesuai dengan kian menurunnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia dua tahun terakhir, dari 107 (2007) menjadi 109 dari 179 negara (2008); turun menjadi 111 dari 182 negara pada 2009. Program penurunan angka kemiskinan 8-10 persen dan penurunan angka pengangguran 8-10 persen tentu harus sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi 7,0 persen per tahun. Pelayanan kesehatan bagi kaum miskin juga terkait peningkatan HDI Indonesia. Dapatkah para menteri baru mengikuti gerak cepat para menteri ekonomi yang merupakan muka-muka lama?

Mereformasi birokrasi Indonesia yang gemuk dan tidak efisien juga tugas berat pemerintahan SBY-Boediono. Juga peningkatan kapabilitas TNI dan Polri sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia. Juga bagaimana dengan kelanjutan penanganan korupsi yang belakangan dipandang kian menurun sejak masalah antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri belum terselesaikan.

Untuk merancang dan menjalankan pembangunan, saatnya pemerintah mendasari kebijakannya dengan hasil penelitian ilmiah. Kompas (19/10) memberitakan, dana riset 2010 turun 39 persen akibat daya serap berkurang.

Pengalaman penulis sebagai peneliti LIPI, setiap tahun, anggaran penelitian menurun. Sementara untuk birokrasi penunjang penelitian tiap tahun justru meningkat meski daya serap turun. Pemerintahan SBY kurang memerhatikan pengembangan ristek nasional. Ikatan ideologi dan posisi menteri diharapkan tidak menyebabkan program kerja departemen atau kementerian diganggu kepentingan politik partai, bukan saja dari pendanaan, tetapi juga kebijakan.

Kita berharap Menneg Ristek dari Partai Keadilan Sejahtera lebih mengutamakan riset untuk kepentingan bangsa ketimbang memasukkan ideologi partai dalam kebijakan ristek. ”Janji Sukamandi” SBY kepada peneliti pada 2009 untuk lebih memerhatikan soal ristek harus dijabarkan Menneg Ristek baru. Menneg Ristek juga harus mampu melakukan negosiasi dengan pihak-pihak asing dalam kerja sama ristek yang menguntungkan Indonesia, bukan hanya asing.

Apa pun bentuk koalisi politik, bulat atau lonjong, yang penting semua program kerja kabinet dapat efektif dan efisien dijalankan. Satu rekomendasi politik penting ialah janganlah SBY lebih sibuk menebar citra dan memupuk kekuasaan, sementara program kerja kabinet terbengkalai. Ini adalah kesempatan terakhir bagi SBY untuk membuktikan kepada rakyat bahwa ia mewarisi Indonesia yang lebih demokratis, maju, aman, adil dan sejahtera, bukan Indonesia yang bangkrut.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Jakarta

OPOSISI HARUS BERPIHAK

Jakarta, Kompas - Partai-partai yang berada di luar pemerintahan, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat, harus melakukan konsolidasi. Kader partai juga harus menunjukkan keberpihakan yang jelas pada rakyat.

Demikian pandangan pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies, J Kristiadi, di Jakarta, Selasa (20/10), terkait dengan posisi tiga partai itu yang kemungkinan tidak duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.

Menurut Kristiadi, konsolidasi yang utama adalah konsolidasi internal dengan menggembleng kader dan menanamkan cita-cita sebagai pejuang partai. Kader partai juga harus menunjukkan keberpihakan yang jelas pada rakyat.

PDI-P sesungguhnya telah memiliki pengalaman sebagai pemerintah atau oposisi. Pada saat susah, PDI-P justru bisa mendapatkan kursi 30 persen lebih di DPR. Sebaliknya, saat berkuasa, perolehan kursi justru merosot menjadi 20 persen.

Partai Gerindra dan Partai Hanura sebagai partai politik baru pun harus mencegah kader partai terbawa arus dalam transaksi-transaksi politik yang sekarang ini banyak terjadi, seperti dalam pencalonan pemilu kepala daerah. ”Kalau itu semua dilakukan, meskipun kursi oposisi sedikit, bisa membuat perubahan signifikan,” tegas Kristiadi.

Di DPR, kursi PDI-P berjumlah 94 kursi, Gerindra 26 kursi, dan Hanura 17 kursi. Jumlah kursi ketiga partai itu 137 kursi, jauh jika dibandingkan dengan kursi koalisi yang berjumlah 423 kursi.

Kegelisahan lemahnya oposisi juga muncul dalam diskusi ”DPR Baru, Tanpa Oposisi Kuat: Bagaimana Nasib RUU Antidemokratis?” yang digelar Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET) di Jakarta, kemarin.

Agus Sudibyo dari Yayasan SET mengemukakan, dalam kondisi oposisi lemah seperti itu, kalangan masyarakat sipil akan sangat kesulitan mengontrol proses legislasi di DPR. ”Kekuatan parpol di DPR akan cenderung memilih untuk mendukung kebijakan pemerintah,” kata Agus.

PDI-P penyeimbang

Namun, Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Pramono Anung, kemarin di DPR, secara tegas menyatakan bahwa PDI-P akan menjadi partai penyeimbang atau mitra strategis dari pemerintahan untuk lima tahun ke depan.

”Apa pun, termasuk kasus Bank Century yang jauh dari keadilan masyarakat, akan kita kritik,” kata Pramono.

Di Bali, Ketua DPD PDI-P Bali Tjokorda Oka Ratmadi optimistis partainya tetap besar dan tak akan ditinggalkan kadernya apa pun pilihan koalisi ataupun oposisi dengan pemerintah.

Sekjen DPP Partai Gerindra Achmad Muzani mengemukakan, kekuatan koalisi partai di legislatif mencapai 60 persen dalam perolehan suara di pemilu. Dengan demikian, kebijakan pemerintah akan sulit dievaluasi.

Namun, Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi menegaskan sikapnya, yaitu memberikan penguatan di parlemen, kritik pada kinerja pemerintah, sekaligus tempat curahan hati masyarakat.

Ketua Umum Partai Hanura Wiranto mempunyai keyakinan sama. ”Itu tidak membuat kami kecut. Kami tidak memperhitungkan besar kecilnya partai, tapi kebenaran dan ketidakbenaran. Yang bicara itu hati nurani,” ujarnya.

Menurut Wiranto, kalaupun dalam voting nanti kalah, yang penting bagi Hanura sudah bersuara dan melaksanakan prinsip akuntabilitas, prinsip keterwakilan, dan prinsip mandat. ”Kami sudah bangga dengan itu,” katanya. (eld/AYS/DWA/SUT)

OPOSISI MASYARAKAT SIPIL

Pasca-Pemilu 2009, kita dihadapkan kontestasi politik yang baru pertama kali tercipta pada era reformasi dan mengingatkan kita pada era Orde Baru: semua partai politik besar dalam barisan koalisi yang mendukung pemerintah.

Seberapa solid koalisi ini dan seberapa akomodatif mereka terhadap kemauan politik pemerintah? Kita belum tahu.

Namun, dapat dipastikan parpol yang terlibat koalisi terikat kontrak politik untuk mendukung stabilitas dan kontinuitas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Konflik kepentingan dan pragmatisme politik menjadi keniscayaan saat mereka menjalankan imperatif pengawasan dan regulasi perundang-undangan di DPR. Tanpa oposisi signifikan, sulit mengharapkan unsur-unsur DPR secara konsisten berkata ”tidak” terhadap RUU-RUU inisiatif pemerintah yang katakanlah bertentangan dengan prinsip demokrasi dan pemerintahan yang bersih.

Perubahan pendekatan

Dalam konteks ini, benar sinyalemen bahwa fungsi oposisi dalam lima tahun ke depan akan lebih banyak diperankan kelompok masyarakat sipil dan pers. Jika oposisi dipahami sebagai kelompok penekan, oposisi sejauh ini sudah dijalankan masyarakat sipil dan pers. Namun, kontestasi politik terbaru membutuhkan respons lebih sistematis dan signifikan. Jika advokasi masyarakat sipil sejauh ini cukup terbantu dengan anggota DPR yang mampu bersikap kritis terhadap pemerintah misalnya, apa yang harus dilakukan jika variabel ini kian melemah?

Pendekatan konvensional dalam advokasi kebijakan tidak mencukupi lagi. Sekadar menyampaikan aspirasi melalui audiensi resmi ke DPR jelas tidak memadai. Pengalaman menunjukkan, aspirasi masyarakat belum tentu ditindaklanjuti dan pimpinan DPR juga pintar memanfaatkan audiensi masyarakat untuk mencitrakan diri sebagai legislator terbuka dan aspiratif.

Masyarakat sipil juga perlu mengubah pendekatan lobi yang selama ini terfokus unsur DPR. Ke depan, lobi politik tampaknya lebih mendesak untuk unsur pemerintah. DPR memang lebih terbuka terhadap masyarakat sipil. Namun, fakta politik menunjukkan, pemerintah akan lebih determinan dalam legislasi. Usul inisiatif perundang-undangan akan lebih banyak dari pemerintah. Maka, asistensi materi, dialog, harmonisasi persepsi dengan pemerintah harus mendapat prioritas memadai.

Menyelenggarakan seri seminar, dialog publik, konferensi pers tetap dibutuhkan. Untuk menulis berita, media tidak sekadar membutuhkan informasi, tetapi juga news peg. Kampanye publik harus dilanjutkan dengan aktivitas lobi guna memastikan opini publik yang tercipta secara signifikan memengaruhi sikap para pengambil kebijakan. Perlu juga terobosan agar kegiatan kampanye publik tidak menjadi rutin dan membosankan, serta mampu melibatkan segmen yang lebih beragam: organ parpol, organisasi kepemudaan, asosiasi profesi, unsur mahasiswa.

Imparsialitas media

Efektivitas advokasi masyarakat sipil amat tergantung dukungan pers. Untuk mengegolkan sebuah kebijakan, pemerintah mempunyai kekuatan uang dan lobi. Uang menjadi faktor determinan dalam legislasi undang-undang. Sementara masyarakat sipil praktis amat tergantung kekuatan simbolik: opini publik terbangun melalui media. Pertanyaannya, apakah pers menempatkan diri sebagai pihak yang imparsial dan netral terhadap semua kelompok atau sebagai bagian integral gerakan masyarakat sipil untuk demokratisasi? Dilema ini sedang dialami pers Indonesia.

Pada awal reformasi, pers Indonesia menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan masyarakat sipil. Suara pers adalah suara masyarakat sipil, kegelisahan media adalah kegelisahan lembaga swadaya masyarakat. Namun, belakangan kondisi mulai bergeser. Pers Indonesia berusaha imparsial dan menjaga jarak terhadap semua pihak. Pers lebih berperan sebagai konsumen informasi, isu, fakta sosial yang dilontarkan semua pihak.

Meski pers tetap relatif dekat masyarakat sipil, perlu kerja keras untuk meyakinkan pers agar memberi perhatian ekstra terhadap aneka masalah yang dianggap masyarakat mendesak.

Imparsialitas media harus ditegakkan. Namun, hal ini mengandaikan demokratisasi sudah berjalan ”normal”, pelembagaan kebebasan informasi dan pers telah mengalami penegakan. Masalahnya, dari berbagai segi, demokratisasi masih jauh dari kondisi normal, bahkan mengalami anomali. Indonesia hingga 2009 masih berkutat dengan birokrasi yang korup, DPR yang rentan terhadap penguasaan pemerintah, pemerintah angin-anginan memberantas korupsi. Pemerintah juga masih berambisi merepresi kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi sebagaimana tecermin dalam RUU Rahasia Negara, UU ITE, UU Pornografi, RUU Pers.

Dalam situasi anomali seperti ini, ”imparsialitas” media perlu dikaji ulang. Dukungan media praktis adalah modal terbesar masyarakat sipil guna mengimbangi determinasi uang dan lobi struktural dalam konteks legislasi undang-undang. Kita membutuhkan peran pers sebagai instrumen gerakan demokratisasi, sebagai bagian integral gerakan masyarakat sipil. Imparsialitas dan profesionalisme media harus selalu diletakkan dalam konteks keberpihakan terhadap gerakan demokratisasi dan pemerintahan yang baik.

Agus Sudibyo Pegiat Koalisi untuk Kebebasan Informasi

KELINDAN POLITIK

Pertarungan sengit dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar memperebutkan kursi ketua umum pekan lalu—yang sepi dari bursa ide besar, tetapi riuh dengan berita politik uang—telah dimenangi oleh Aburizal Bakrie.

Secara terbuka bagi-bagi uang diakui dan disesalkan beberapa tokoh Golkar. Dengan demikian, harapan Munas Golkar menciptakan spirit, gairah, vitalitas, karakter, dan psike para kader untuk mengubah medan politik sebagai perjuangan telah pupus.

Pusaran arus pragmatisme telah semakin menyedot Golkar dalam turbulensi yang dapat memorakporandakan nilai dan pilar-pilar perjuangan Golkar. Kenikmatan kekuasaan telah menjadi pilihan Golkar yang dapat menjadi titian menuju kematian politik.

Proses itu semakin gamblang karena sang pemenang segera mengunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang oleh banyak kalangan diduga menegaskan keinginannya agar Golkar menjadi bagian dari pemerintahan SBY.

Panggung Munas Golkar telah semakin memperkuat persepsi publik bahwa ranah politik adalah ajang lelang kekuasaan dan wilayah di mana kepentingan apa pun dapat dijadikan transaksi. Inilah lahan subur bagi para politisi melakukan petualangan, baik untuk memanipulasi kekuasaan, mencari proteksi, menghapus sejarah kelam masa lalu, maupun membangun citra.

Koalisi partai politik yang seharusnya ditujukan untuk mengompromikan kebijakan untuk rakyat menjadi sekadar kelindan politik berupa jalinan kepentingan saling mengamankan interes subyektif masing-masing.

Semula, niat SBY mengakomodasi Golkar dianggap strategis agar koalisi pemerintahannya lebih plural dan lebih akseptabel. Mengharapkan dukungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) agak sulit karena hampir lima tahun PDI-P selalu menegaskan sebagai partai oposisi. Hanya kalkulasi pragmatislah yang akhirnya membuat PDI-P melunak sehingga atas dukungan Partai Demokrat, Taufik Kiemas mulus menjadi Ketua MPR. Praktis, PDI-P menjadi pendukung pemerintahan SBY.

Namun, menyaksikan perkembangan Golkar pascamunas, niat untuk mengakomodasi Golkar dalam pemerintahannya tampaknya kurang menguntungkan SBY.

Citra SBY akan terpuruk kalau pemerintahannya hanya dijadikan tempat perlindungan politik atau tempat pembersihan nama tokoh-tokoh Golkar yang pernah terkena atau terimbas berbagai kasus kontroversi, seperti Lapindo, Bank Bali, penyelundupan gula impor, dan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom.

Selain itu, Golkar akan disibukkan dengan potensi eksodusnya tokoh-tokoh andal Golkar yang merasa disingkirkan. Rasa sakit hati semakin menumpuk atas pengangkatan Rizal Mallarangeng, yang secara sengit menghantam habis-habisan tokoh Golkar dalam Pemilu 2009, tiba-tiba menjadi salah satu ketua Partai Golkar.

Cermat

Oleh sebab itu, kemenangan simbolik SBY berupa lebih dari 60 persen dukungan rakyat dan dukungan politik di parlemen lebih dari 50 persen seyogianya membuat SBY lebih cermat dalam mempertimbangkan apakah mengakomodasi Golkar dalam pemerintahannya akan memberikan berkah atau justru menyebabkan musibah.

Sementara itu, harapan Golkar dapat meraih kemenangan signifikan dalam Pemilu 2014 berkat berkelindan dengan SBY juga sangat diragukan. Dalam lima tahun ke depan, SBY masih merupakan tokoh sentral yang tidak dapat dikalahkan siapa pun. Pesona SBY akan dimanfaatkan oleh Partai Demokrat habis-habisan untuk memenangi pemilu 2014.

Secara bertahap, SBY tentu tidak mau kehilangan momentum mentransformasikan karisma dan daya pesonanya untuk menjadikan Partai Demokrat sebagai institusi politik yang andal. Ia tidak akan mewariskan Demokrat hanya sekadar sebagai fans club-nya SBY.

Mimpi

Oleh sebab itu, harapan Aburizal akan memetik keuntungan sebagai partai penguasa yang dapat mendongkrak perolehan Golkar dalam Pemilu 2014 hanya mimpi di siang hari bolong. Bahkan, tidak mustahil Demokrat akan menyedot kader-kader andal yang ditinggalkan oleh Aburizal pasca-Munas Golkar.

Adapun keberadaan Akbar Tandjung, tokoh yang pernah menyelamatkan Golkar dalam Pemilu 1999, diragukan apakah masih memiliki kemampuan mengontrol praktik pragmatisme yang sudah sangat akut.

Oleh sebab itu, sebaiknya Aburizal belajar dari pengalaman Golkar lima tahun lalu. Menjadi bagian kekuasaan tidak otomatis mempunyai peluang meraih kemenangan dalam pemilu.

Lebih baik Golkar tetap berada di luar kekuasaan dan secara bertahap melakukan konsolidasi ideologi, wawasan, dan organisasi.

Pemberantasan korupsi

Agenda lain yang harus dilakukan Golkar agar dapat merebut kembali kredibilitasnya, selain melalui kaderisasi yang benar, adalah Golkar harus memelopori pemberantasan korupsi politik dengan cara memprakarsai dan mengawal penyusunan regulasi yang mewajibkan parpol membuka akses publik terhadap keuangan parpol yang transparan dan akuntabel.

Persyaratan mendirikan parpol juga harus disertai kewajiban parpol mempunyai pelapor yang memenuhi standar sehingga dapat diaudit oleh akuntan publik.

Sanksi yang jelas harus diberikan kepada parpol yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan demikian, Golkar, mela- lui asketisme (mesu budi) politik, akan men- jadi parpol yang tangguh, modern, dan beradab. (Oleh J KRISTIADI)

Sabtu, 03 Oktober 2009

MUNGKAS DURIAT

Mun wanci geus teu surti
Mun mangsa geus teu do’a
Urang moal bisa kukumaha

Ngan diri nu kudu ngarti
Anging raga nu kudu tumarima
Rehna ati geus teu bisa ngajadi hiji

Carita katukang mugi jadi eunteung
Ulah asa kahalangan mun anjeun rek neangan nu anyar
Ulah asa kadingding kelir pami rek milari deui ganti

Kuring rumasa geus teu bisa mere bagja
Kuring ngaji diri tara ningtrimkeun ati
Hampura pami kuring sok nyieun dosa

Cag carita cinta urang pungkas danget ayeuna
Masalah jodo rongheapna moal kamana
Mugia urang tinekanan jeung kabagjaan

oktober 2009

PILEULEUYAN

Mangsa nu diseja duka iraha datangna
Wanci nu dianti teuing iraha tepina
Kuring kudu ikhlas ngaleupas kembang impian
Kuring kudu rido mopohokeun rasa kasono

Saleresna hate bingung kapigandrung
Jiwa geuring nangtung ngalanglayung
Kuring teu bisa bohong
Dina hate ngan aya anjeun
Tapi kumaha?
Kuring butuh hiji kapastian
Kuring butuh rasa sapamadegan

Pileulueyan
pikeun carita nu tacan kadongkang
Pileulueyan
pikeun cinta nu heunteu nyata
Kuring rido pami lain jodo
Kuring ikhlas mun teu bisa mikamilik diri salira

september 2009

NANGGO JODO

Langit geus beuki surti,
Kana pakaitna dua ati
Jagat geus tangtu nyobat,
Kana raga nu seja nyeba carita cinta

Mega geus moal ngasaha-saha
Kana datangna dua insan
Nu ngapak jangjang mawa duriat katresna

Teu perlu cukang lantaran
Pikeun ngahijikeun ieu rasa
Teu perlu nunggu sareupna
Pikeun ngedalkeun rasa cinta

Isuk jaganing geto
Tinggal nunggu waktu nu tangtu
Nango jodo anu rido
Nganti wanci nu musatari
Pikeun nangtukeun urang ngahiji

januari 2009

NYEBA CINTA

Teu kudu nyuprih jirim nu teu surti
Teu kedah nyeja raga nu teu ngawaruga
Lain mangsa pikeun ngabayang mangsa
Nu can puguh iraha datangna

Pan jirim jeung waruga geus datang dina kongkolak jiwa
Satria madangkara geusan datang nalika nandang tunggara
Ngabagi ati nalika dirina teu walagri
Ngaguar carita nalika manggih kabagja

Datangna mugia salawasna dina waktu nu sampurna
Sarenghap jeung mangsa nu diseja ku salira
Perkawis kasampurnaan tea

Ucapna mugia entep seureuh
Malapah gedang
Gilek jeung rindatna
Mugia tiasa mukakeun manah salira

Diri tangtos sumping kacalon istri
Pami nuju teu walagri
Jiwa bakal diseba kasalira
Nalika nandang tunggara
Qalbu moal dibelenggu
Pami nuju rindu

Bagja, tunggara, jeung rasa kabimbang
Sadayana ngan bisa dipungkah ku salira
Salira nu jadi totonden hate

agustus 2008

HAYANG JONGHOK

Kidung geus teu bisa jadi batur
Tembang geus teu bisa jadi ubar
Kuring bangluh dirungrung kabingung
Bingung lantaran hateu pinuh kugandrung
Kuring honcewang, lantaran hate pinuh ku rasa kamelang
Hariwang ingis anjeun aya dina katunggaraan

Kuring hayang anjeun bisa datang,
Nalika kuring melang
Anjeun ngalongok nalika kuring hayang jonghok
Kuring tangtu jebul pami salira nuju rindu
Kuring surti pami salira nuju teu walagri

GANITRI

Cobi sakseni tangkal ganitri nu kembangan deui
Nu sawatara waktu katukang ngarangrangan
Lantaran ibun bajra geus teu masehan dahana
Dauna koredas katebas angin kahariwang

Kiwari ganitri geus daunan jeung kembangan deui
Kuring hayang nitip rasa ka anjeuna
Ngaliwatan seungit kembangna jeung liuh dauna
Mugia ganitri moal rangrang jeung koredas deui

september 2008

ASA-ASA

Ngancikna rasa kahalangan ku asa-asa
Aya kagok mun erek pok
Naha enya kitu?
Tibarang manehna ngedalkeun katugenahna
Naha aya anu anyar dirasa
Naha enya kitu?

Rumasa loba pananya,
Rumasa loba ka asa-asa
Rumasa loba kacangcaya
Kuring can wani balaka
Minangka kuring miboga rasa cinta

Aya anu anyar nyimbutan jajantung
Aya anu anyar nyakclakan kahanaang
Aya anu anyar malidkeun panghareupan
Kuring kari ikhlas melak katresna keur tumarimana

Cangcya, asa-asa jeung pananya
Eta kodratna manusa
Lumrah jeung biasa,
Lamun urang miboga eta rasa

Sagala carita nubakal ngembat manjang
Salawasna dibuka kurasa cangcaya, asa-asa jeung pananya
Tapi mugia eta rasa bakal mukakeun lawang carita
Nu pisan dicita-cita

Urang keur nyieun sketsa, Nu tacan mangrupa
Urang keur diajar ngarenda, Nu tacan puguh dedegna
Kuring teu ieuh galideur
Najan tacan cindek kamana jugjugna

Teu kudu nunggu waktu anu tangtu,
Teu kedah ngareka mangsa anu diseja,
Mugia salira enggal percaya
Kana ieu rasa nu teu direka,

Cinta saenyana
Nu kaluar tina balumbang rasa,
Nitis tina ati sanubari,
Luyu jeung pangeusi qalbu

Tapi mun perlu waktu pikeun ngaku,
Kuring rela nunggu
Mun peryoga mangsa pikeun balaka,
Kuring ikhlas tunggara

januari 2008

BIMBANG

Janari mimiti seuri,
Tapi naha ati can keneh ngarti?
Beurang karasa beuki caang,
Tapi naha rasa masih keneh bimbang?

Geserna poe,
masih can bisa ningtrimkeun hate
Gantina wanci,
can keneh niiskeun ati
Rubahna waktu can tangtu miceun kabangluh qalbu

Akang masih can ngarti,
Bimbang ku hariwang,
Inggis ku bisi,
Sieun ku kakeueung,
Asa kagok mun rek lumampah

Sajeroning diri teu ngarti,
raga katandasa,
pikir kajungkir balik,
Tapi diri masih yakin arti kabeneran,
kasucian jeung kaikhlasan

oktober 2007

JUNGKRANG RASA

Tonggeret geus reang rek mungkas beurang
Kingkilaban geus nguniang rek mapag bentang
Tapi naha anjeun masih karasa anggang?
Tapi naha jungkrang rasa masih karasa lewang?

Angin peuting nu nyecep tiis,
Nyimbutan sepina ati
Caang bulan opat welas,
Ngupahan gundahna rasa
Tonggeret sore nu geus mimiti rehe,
Maturan simpena hate
Tapi naha jemplingna ieu peuting
Bet teu mawa tingtrim?

Ieu katresna terus nyaliara dina sakuliah raga
Pancuran cinta ngalir malipir geus teu kabendung deui
Duriat beuki cindek dina gumawangna lawang rasa

Kuring hoream tunggara lantaran mendem rasa cinta
Kuring moal weleh cumarita
Rehna ieu diri nyimpen rasa katresna ka diri salira

Mun beurang teu weleh kabayang,
Mun peuting sok datang dina impian,
Busur panah kacinta
Kagok geus ngabelesat tina gondewana

oktober 2007

LAWANG RASA

Mun mega geus teu bisa nyimbutan carita
Mun surya geus teu bisa nyumputkeun katresna
Hayu urang buka sempalan carita anu sempat ditunda

Mun wanci geus teu bisa mindingan
Mun takdir geus teu bisa ngadingding kelir
Hayu urang suprih jati diri nu mugia bakal walagri

Jalan carita nu bakal disorang
Geus ngembat ngabentang
Sagala carita suka jeung duka
Ceurik jeung seuri
Bagja jeung tunggara
Tangtu moal bisa diingkahan
Eta kadar anu kudu ditarima

Anging janji anu pasini
Nu bakal ngajagi tina iri dengki
Mugia cinta urang jadi lembaran carita
Nu teu kudu dibasuh ku cimata
Mugia
Bagja anu diseja

oktober 2007

Anggota DPR Diragukan, Pendapatan Anggota Dewan Rp 62,44 Juta

Sabtu, 3 Oktober 2009 | 03:40 WIB

Jakarta, Kompas - Kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 untuk mengawasi jalannya pemerintahan diragukan oleh beberapa pihak. Apalagi, sekitar 71 persen anggota DPR adalah mereka yang baru pertama kali duduk sebagai wakil rakyat.

Hal itu disampaikan Koordinator Divisi Riset Indonesia Parliamentary Center Ahmad Hanafi dan peneliti Indonesia Budget Centre, Roy Salam, Jumat (2/10).

”Dengan sistem kaderisasi partai politik yang belum mapan, mereka tidak dipersiapkan secara khusus untuk menjadi anggota Dewan yang siap bekerja. Maka, begitu menjadi anggota DPR, mereka baru mulai belajar bagaimana bekerja menjadi anggota DPR,” kata Ahmad.

Menurut dia, anggota DPR yang baru tidak menjadi masalah apabila ada sistem pendukung di parlemen yang cukup kuat. Sayangnya, lanjut Ahmad, jumlah tenaga ahli di DPR terlampau sedikit dibandingkan dengan tenaga administrasi. Sebagai anggota Dewan baru yang hanya didampingi oleh satu orang staf ahli yang akan memberikan dukungan kerja yang terkait langsung dengan tugas dan fungsi DPR tidaklah mencukupi.

”Anggota baru perlu tenaga ahli lebih banyak untuk mempercepat proses pembelajaran dan pemahaman terhadap mekanisme kerja di parlemen,” ungkap Ahmad.

Ahmad melanjutkan, kondisi seperti itu tentu mempersulit DPR periode ini mengingat agenda reformasi parlemen yang harus mereka selesaikan cukup banyak.

Ahmad juga menyoroti mengenai partai politik pendukung pemerintah yang menjadi mayoritas di DPR. Dukungan mayoritas di DPR terhadap pemerintah akan memperlemah peran legislasi, pengawasan, dan penganggaran yang harus dilaksanakan oleh parlemen.

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, Partai Demokrat sebagai partai pendukung pemerintah belum pernah menunjukkan perbedaan pendapatnya terhadap kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah. ”Artinya, apa yang dikatakan oleh Partai Demokrat, begitulah yang diiyakan oleh Fraksi Partai Demokrat di parlemen,” ujar dia.

Ahmad mengatakan, secara teoretis, DPR sebagai pembuat aturan, pengawas, dan pengatur anggaran untuk pemerintah tentu tidak hanya menuruti apa yang dimaui pemerintah. ”Sebagai wakil rakyat, DPR harus memiliki sikap kritis terhadap pemerintah,” ujarnya.

Standardisasi pendapatan

Secara terpisah, Roy Salam menyoroti pendapatan anggota DPR tahun 2009 yang mencapai Rp 62,44 juta. Gaji itu termasuk gaji pokok, tunjangan suami atau istri, tunjangan anak, tunjangan struktural, tunjangan pajak, uang kehormatan sebagai komisi/badan/panitia, dan tunjangan komunikasi intensif. Angka itu belum termasuk uang insentif yang tiba-tiba bisa diterima seorang anggota DPR.

”Hingga kini memang belum ada peraturan terkait standardisasi pendapatan dan tunjangan anggota DPR, tidak seperti anggota DPRD yang diatur dengan peraturan pemerintah,” kata dia.

Menurut Roy, seharusnya DPR mempunyai standardisasi pendapatan, seperti juga lembaga negara lainnya. Selama ini tidak ada transparansi keuangan DPR sehingga tidak bisa diketahui berapa pendapatan yang sebenarnya diterima oleh seorang anggota DPR. ”Seharusnya ada peraturan mengenai pendapatan anggota DPR sehingga tidak menimbulkan diskriminasi untuk DPRD,” kata Roy. (SIE)

http://cetak.kompas.com

Selasa, 29 September 2009

TV Jadi Kendaraan Politik, Media Harus Jadi Telinga Publik

Rabu, 30 September 2009 | 03:20 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Penyiaran Indonesia dan Departemen Komunikasi dan Informatika diminta bersikap tegas pada sejumlah stasiun televisi swasta. Televisi swasta itu diduga dimanfaatkan menjadi kendaraan politik pribadi dan partai politik.

Seruan itu disampaikan pengajar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ade Armando, saat berbicara dalam unjuk bincang ”Media Berpolitik, Ancaman bagi Demokrasi” di Jakarta, Selasa (29/9).

Turut hadir sebagai pembicara Direktur Eksekutif Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi Agus Sudibyo; peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego; Sirikit Syah dari Indonesia Media Watch; dan wartawan senior Satrio Arismunandar.

Ade mengilustrasikan, di Amerika Serikat, stasiun televisi paling partisan sekalipun, seperti Fox yang mendukung Partai Republik, bahkan menyediakan kesempatan setara bagi Partai Demokrat untuk berkampanye atau diliput kampanyenya dalam pemilihan presiden Amerika Serikat.

”Media massa yang berpolitik sangat membahayakan demokrasi karena seharusnya dia menjadi mata dan telinga masyarakat,” ujar Ade, mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia.

Dalam kesempatan sama, Indria Samego mengatakan, apa saja yang dilakukan secara berlebihan, termasuk dalam contoh dua stasiun televisi swasta yang dimanfaatkan untuk berkampanye itu, menjadi tidak baik.

”Perilaku macam itu sangatlah tidak etis dan seharusnya tidak boleh dilakukan,” kata Agus Sudibyo.

Lebih lanjut dalam siaran persnya, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Nezar Patria mengaku menerima banyak keluhan dari masyarakat terkait pemberitaan yang bertendensi mengabaikan aspek keberimbangan dan obyektivitas menjelang Musyawarah Nasional Partai Golkar di Pekanbaru, 5-9 Oktober 2009.

Aktivitas di DPD Golkar

Menjelang munas tersebut, calon Ketua Umum Partai Golkar Yuddy Chrisnandi kemarin masih berkeliling daerah, yaitu di Yogyakarta dan Semarang. Namun, Wakil Ketua DPD Tingkat I Partai Golkar DIY John S Keban mengatakan, DPD Golkar DIY belum memutuskan dukungan pada salah satu nama calon ketua umum.

Secara terpisah, Ketua DPD Partai Golkar Papua John Ibo memastikan penonaktifan tujuh pimpinan DPD II kabupaten yang dinilai melanggar disiplin organisasi karena mendukung Surya Paloh. Di Surabaya, Wakil Sekretaris DPD I Golkar Jawa Timur Fredy Poernomo mengemukakan, sebanyak 36 orang dari 42 peserta Rapat Pleno DPD Partai Golkar Jawa Timur menyatakan dukungan mereka secara tertulis pada calon ketua umum Surya Paloh.

(RWN/WHO/ICH/ABK/DWA)

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/03205057/tv.jadi.kendaraan.politik.

RAPBN 2010 Lebih Layani Birokrat

Rabu, 30 September 2009 | 03:26 WIB

Jakarta, Kompas - Biaya birokrasi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010 yang rencananya akan ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat hari ini mengalami kenaikan hingga 21 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebaliknya, anggaran untuk pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat justru berkurang drastis.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi APBN 2010 yang terdiri atas delapan lembaga swadaya masyarakat yang berkecimpung dalam advokasi anggaran di Jakarta, Selasa (29/9), menilai RAPBN 2010 lebih banyak diabdikan untuk kepentingan belanja pegawai pemerintah. Belanja pegawai pemerintah pusat mencapai Rp 161,7 triliun atau naik Rp 28 triliun dibandingkan dengan APBN 2009.

Kenaikan belanja pegawai itu ditujukan untuk menaikkan gaji pegawai dan pensiunan rata-rata 5 persen, pemberian gaji dan pensiun ke-13, serta kenaikan uang makan lauk-pauk bagi TNI/Polri menjadi Rp 40.000 per hari dan kenaikan uang makan PNS pusat menjadi Rp 20.000 per hari.

Peneliti Perkumpulan Prakarsa, AH Maftuchan, mengatakan, upaya mereformasi birokrasi untuk memperbaiki pelayanan publik dan peningkatan kinerja birokrat hanya diartikan dengan meningkatkan kesejahteraan aparatur birokrasi. Penyelewengan anggaran dan rendahnya kinerja birokrat justru kurang menjadi perhatian.

”Kenaikan gaji ini merupakan bentuk terima kasih Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih kembali sebagai presiden,” katanya. Peningkatan anggaran birokrasi yang tinggi tanpa peningkatan kinerja mereka dinilai hanya menghambur-hamburkan uang negara.

Menurut Maftuchan, kenaikan gaji pegawai dipastikan akan membuat naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan akhirnya akan melambungkan angka inflasi. Padahal, kenaikan anggaran bagi birokrat itu telah mengorbankan anggaran yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat. Alokasi anggaran ekonomi turun signifikan dari Rp 64,96 triliun pada RAPBN Perubahan 2009 menjadi Rp 55,88 triliun.

Berbagai subsidi untuk rakyat juga banyak yang dipangkas. Total subsidi pada 2010 direncanakan Rp 144,3 triliun atau turun Rp 15,5 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Subsidi nonenergi turun Rp 12,5 triliun (22 persen) dibandingkan 2009. Penurunan terbesar subsidi nonenergi terjadi pada pencabutan subsidi obat generik (100 persen) dan subsidi pupuk yang berkurang 39 persen. (MZW)

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/03263217/rapbn.2010.lebih.layani.birokrat

80 Persen Daerah Pemekaran Gagal

Rabu, 30 September 2009 | 03:32 WIB

Jakarta, Kompas - Selama 1999-2009 terdapat 205 daerah pemekaran baru, yang terdiri atas tujuh provinsi dan 198 kabupaten/kota. Namun, hanya 20 persen daerah pemekaran baru yang berhasil, sedangkan 80 persen dianggap gagal.

Hal itu dikemukakan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi dalam seminar ”Urgensi Pemekaran Daerah untuk Meningkatkan Pelayanan dan Kesejahteraan Masyarakat” di Gedung Lemhannas, Jakarta, Selasa (29/9).

Bahkan, penambahan daerah otonom baru itu justru menambah beban keuangan negara. Setiap tahun, dana alokasi umum (DAU) yang dikucurkan pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan dasar, terutama gaji pegawai, terus bertambah.

”Pada tahun 1999, DAU yang dikucurkan ke daerah baru Rp 54,31 triliun dan tahun 2009 ini sudah sampai Rp 167 triliun,” ujar Mardiasmo, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan.

Daerah pemekaran baru juga berdampak pada berkurangnya proporsi DAU bagi daerah lain.

Beban lain yang harus ditanggung pemerintah pusat adalah penambahan dana alokasi khusus. Dana tersebut diberikan salah satunya untuk membantu menyediakan kantor-kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Kesejahteraan

Sementara peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik yang menjadi tujuan pemekaran daerah belum tercapai. Dana bantuan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah induk, biasanya habis untuk memberikan gaji kepada pegawai dan pejabat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru.

”Pengalaman di banyak daerah otonomi baru menunjukkan nilai tambah lebih dirasakan elite yang mendapat posisi atau jabatan baru,” kata Harun Al Rasyid, anggota Dewan Perwakilan Daerah periode 2004-2009.

Oleh karena itulah, diperlukan cetak biru pemekaran daerah untuk mengatur jumlah ideal daerah otonom di Indonesia, sekaligus persyaratan dan metode evaluasi. (NTA)

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/03324776/80.persen.daerah.pemekaran.gagal

Rabu, 02 September 2009

Mengapa Bencana Selalu Terjadi Di Awal Kepemimpinan Presiden Baru?


Anda tentu masih ingat, Gempa berkekuatan 9,8 skala richter yang mengguncang Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) pada akhir 2004 yang berujung bencana Tsunami terjadi di awal kepemimpinan Duet Presiden SBY-Kalla,. Kini Kejadian gempa berkekuatan 7,3 skala richter telah mengguncang Kawasan Jawa Selatan dan sebagian Bali dan Sumatera juga terjadi di awal kepempimpinan Presiden SBY-Boediono,. Lantas ini semua pertanda apa? Selain itu, selama lima tahun kepemimpinan SBY-Kalla bencana terus terjadi dan seolah-olah tak mau berhenti,. kita sebut saja luapan Lumpur Sidoarjo, Gunung Merapi, Gempa Jogja, Gempa Nias dan Tapanuli, Pesawat jatuh, tabrakan KA, Kapal Laut Tenggelam, waduk jebol, longsor, dan kecelakaan-kecelakaan lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu.

Tentu kita harus tak habis pikir, ujian apa ini? Atau kita harus minta bantuan pada ahli nujum atau paranormal, ini semua pertanda apa? Soalnya dalam kurun lima tahun terakhir, negara kita terus dilanda berbagai ragam bencana yang mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa serta kerugian material yang tidak terhingga jumlahnya.,

Meski demikian, kita hanya bisa berdo'a dan berharap semoga pemerintah bisa cepat tanggap dalam mengatasi para korban pasca bencana. Bagaimanapun mereka harus segera dipulihkan psikis dan fisiknya (terutama rumah dan kepemilikan harta lainnya). Selain itu saya berharap semoga keluarga koban diberikan kekuatan iman dan taqwa dalam menghadapi berbagai cobaan ini.

Sabtu, 29 Agustus 2009

MENAKAR PENGGABUNGAN KE KAB. BANDUNG

Hiruk-pikuk pemekaran Garut Selatan diwarnai pula oleh munculnya keinginan warga di Garut Selatan (Cisewu, Caringin dan Talegong) untuk bergabung dengan Kab. Bandung. Tetapi, apakah dengan bergabung ke Kab. Bandung akan lebih baik atau kita akan tetap tertinggal karena secara teritori kita berada di daerah paling jolok? Secara normatif, apakah mudah proses penggabungan satu wilayah ke wilayah lain (lintas kabupaten)?

Sebenarnya, keinginan beberapa wilayah di Garut Selatan untuk bergabung dengan Kab. Bandung sudah bergulir sejak tahun 1952, ketika Kab. Garut belum memperhatikan pembangunan di wilayah Garut Selatan, terutama insfrastruktur jalan dan jembatan (pembangunan jalan dimulai tahun 1974).

Bahkan jika melihat sejarah masa lalu, isu ini terdengar bersamaan dengan adanya rencana tukar guling dengan daerah Nagreg dan Cicalengka (Bandung ke Garut) dan Caringin, Cisewu, dan Talegong (Garut ke Bandung), kemudian banyak tokoh-tokoh masyarakat dari Garut Selatan yang di panggil ke Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) untuk membicarakan masalah itu diantaranya Bapak Sutanandika, M. Wiganda dan Moch Dahlan, serta tokoh-tokoh lainnya.

Lantas, seberapa jauh kemungkinan proses penggabungan ini bisa dilakukan? PP No.78 tahun 2007 (perubahan dari PP No.129 tahun 2000) yang merupakan turunan dari UU Pemerintahan Daerah (No.32/2004 hasil amandemen No.22/1999) sudah mensiratkan besar kemungkinan dilakukannya penggabungan suatu wilayah guna mencapai kesejahteraan dan kemajuan masyarakat di daerah bersangkutan. Artinya, secara normatif konsepsi penggabungan sudah dihalalkan.

Pertanyaannya, apakah dengan bergabung ke Kab. Bandung bisa menjamin timbulnya kesejahteraan? Apakah Kab.Bandung mau menerima beberapa kecamatan di Garsel menjadi bagian dari pemerintahannya? Bukankah Kab. Bandung juga dimekarkan menjadi Kabupaten Bandung Barat (KBB), bahkan santer Kabupaten Bandung Timur (KBT) akan segera dimekarkan? Apakah Kab. Garut akan merelakan begitu saja proses kepindahan wilayahnya ke Kab. Bandung? Seabrek pertanyan itu perlu kita jawab bersama.
Memang, jika dilihat dari konsepsi sejarah dan kekinian, masyarakat Garut Selatan terutama Caringin, Cisewu, dan Talegong, dalam berbagai aspek kehidupan sudah berhubungan dan bergantung kepada Kab. Bandung. Dalam sektor perekonomian, misalnya, sejak dulu roda perekonomian masyarakat Garsel sudah terikat dan bergantung dengan Bandung, baik dalam hal pemasaran hasil pertanian maupun pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat Garsel.

Hal lain bisa dilihat dalam aspek pendidikan, sosial, dan budaya. Pelajar dari Garsel mayoritas melanjutkan sekolah ke Bandung. Kehidupan sosial-budaya masyarakat Garsel mengadopsi dari Bandung, termasuk urbanisasi masyarakat berlangsung ke Bandung terutama pencarian lapangan pekerjaan. Ini artinya secara ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Garsel berhubungan dengan Bandung. Tapi cukupkah alasan itu untuk bisa meyakinkan kita memilih bergabung ke Kab. Bandung?

Sebetulnya, khusus untuk daerah Kecamatan Cisewu, Caringin dan Talegong, bergabung dan tidaknya ke Kabupaten Bandung, tidak akan terlalu berpengaruh karena mobilisasi penduduk dan distribusi hasil produksi pertanian masyarakat garsel (sistem perekonomian) sejak lama tetap berlangsung dengan Bandung, namun pengaruh tersebut mungkin akan dirasakan pada pelayanan sistem pemerintahan dan pembangunan insfrastruktur. Setidaknya ada beberapa alasan menguatnya keinginan masyarakat ketiga kecamatan tersebut untuk pindah ke Kab. Bandung adalah sebagai berikut :

1.Aspek Jarak (proximity)

Jauhnya jarak tempuh antara ibu kota Kabupaten Garut dengan beberapa kecamatan di Garut Selatan merupakan salah satu alasan untuk bergabung ke Kab. Bandung. Jarak tempuh antara Garut Selatan (Talegong, Cisewu, Caringin) dengan Kota Kabupaten Garut bisa ditempuh sekitar 6-8 jam (Talegong-Garut 146 KM, Cisewu-Garut 120 KM, Caringin-Garut 95 KM), sementara jarak ke Kabupaten Bandung bisa ditempuh dengan perjalanan sekitar 2 jam. Jarak ini setidaknya berpengaruh terhadap biaya transportasi, ongkos dari Cisewu ke Bandung hanya Rp 15.000,- sementara dari Cisewu ke Garut Rp 30.000,-.

2.Aspek Perekonomian

Kegiatan perekonomian mayoritas penduduk Garut Selatan banyak berhubungan dengan Kab. Bandung. Sebagai contoh, pedagang grosir dan warung kecil di Garut Selatan melakukan transaksi jual-beli (menjual hasil produksi pertanian dan mendatangkan kebutuhan pokok masyarakat/sembako) dilakukan dengan para pedagang di Kabupaten Bandung.

Mayoritas hasil produksi pertanian yang dihasilkan masyarakat Garsel, seperti padi, pisang, gula, cengkih, kapol, kopi, teh rakyat, palawija, sayur-sayuran, umbi-umbian, biji-bijian, ternak, dan lainnya, semua dijual ke Bandung, seperti ke Pasar Pangalengan, Banjaran, Caringin dan Ciroyom. Hal serupa terjadi pada proses pemasaran hasil produksi batu templek, batu ukir, batu hias atau kerajinan tangan lainnya, semuanya dipasarkan ke Bandung.

Begitu juga sebaliknya, masyarakat Cisewu, Caringin dan Talegong mendatangkan kebutuhan mereka dari Kab. Bandung, seperti minyak kelapa, minyak tanah, bensin, barang-barang kelontongan atau paket sembako lengkap, kebutuhan pakaian jadi, kain, bahan bangunan, furniture, sarana komunikasi, dan kendaraan bermotor (leasing).
Dengan demikian, dari sisi perekonomian, masyarakat garsel sudah banyak bergantung ke Kab. Bandung, ini artinya sudah terjadi interaksi simbiosa mutualisme yang kuat antara masyarakat garsel dengan masyarakat Bandung dalam hal perekonomian.

3.Aspek Urbanisasi

Dalam tingkat mobilisasi atau distribusi dan transformasi penduduk, secara mayoritas penduduk di Garut Selatan banyak melakukan interaksi kehidupannya dengan Kabupaten Bandung. Hampir sekitar 90% penduduk Garut Selatan mobilisasi kegiatannya ke Kabupaten Bandung.

Hal itu bisa dibuktikan bahwa ada sekitar 8.500 tenaga kerja asal Cisewu, Caringin dan Talegong yang bekerja di Kab. Bandung. Tenaga kerja usia produktif dari Garut Selatan kebanyakan mencari kerja dan bekerja di Kabupaten Bandung bukan di Garut, hal ini disebabkan orientasi pencarian peluang hidup di Kabupaten Bandung lebih menjanjikan ketimbang mencari pekerjaan di Garut.

Dengan demikian, dari sisi urbanisasi, masyarakat Garsel lebih besar terjadi ke Kab. Bandung tetapi urbanisasi ini berdampak positif bagi pertumbuhan industri manufaktur/ pabrik di Bandung karena tersedianya tenaga kerja (man) yang memadai.

4.Aspek Pendidikan

Hal lain yang menunjukan tingginya ketergantungan antara masyarakat garsel dengan Bandung dapat terlihat dalam sektor pendidikan. Sebagian besar anak sekolah lulusan SMP atau SMA rata-rata melanjutkan sekolahnya (kuliah) ke Bandung, selain yang melanjutkan di daerahnya masing-masing. Mereka lebih memilih sekolah ke Bandung ketimbang sekolah ke Garut. Sekolah SMP/SMA yang dipilih biasanya di Pangalengan, Banjaran, Soreang, Dayeuh Kolot ataupun Baleendah.

Apalagi untuk pendidikan tinggi, hampir 90% lulusan SMA melanjutkan kuliah ke Bandung, baik negeri maupun swasta, seperti STKIP Bale Bandung, STAI Siliwangi, STIMIK, UPI, UNPAD, UIN, UNIKOM, UNJANI, Akper/Akbid, atau perguruan tinggi lainnya. Padahal di Garut pun tidak sedikit perguruan tinggi, ada UNIGA, STKIP, STHG, Mussadadiyah, Muhammadiyah, atau Akper/Akbid.

5.Aspek Politik

Dalam kehidupan politik, penduduk Garut Selatan kebanyakan mengakses informasi dan perkembangan politik dari Kabupaten Bandung. Karena lancarnya arus transportasi dan komunikasi, yang menjadi salah satu faktor pendorong cepatnya transformasi pendidikan politik dari Bandung ke Garut Selatan.

Pendidikan politik dari Kab. Garut hanya terjadi dan dapat dirasakan secara musiman saja seperti dalam pesta demokrasi lima tahunan (pemilu dan pilkada). Bahkan ada hal yang sangat naif, beberapa kejadian yang penting di Kabupaten Garut tidak banyak diketahui oleh masyarakat Garut Selatan seperti proses Pemilihan Bupati dan perkembangan kasus politik seperti Kasus Korupsi Bupati Garut atau kasus APBD-Gate/Jaring Asmara yang menjerat anggota DPRD Garut.

6.Aspek Sosial Budaya

Masalah pengaruh dan perkembangan budaya untuk beberapa daerah di Garut Selatan mengadopsi dari Bandung. Gaya hidup maupun corak budaya moderen masyarakat garsel banyak dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat Bandung, baik pada sisi positif maupun negatif. Tidak bisa dipungkiri, tingginya interaksi mereka memudahkan dan mempercepat terjadinya fenetrasi ataupun asimilasi budaya diantara mereka.

7.Aspek Transportasi dan Komunikasi

Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi dari Garsel ke Bandung atau sebaliknya, telah memudahkan distribusi dan alur komunikasi antara kedua belah pihak. Sarana trapsortasi Garsel ke Bandung dipandang sangat memadai. Hal itu dapat dilihat dari jumlah trayek kendaraan angkutan umum . Trayek dari Cisewu ke Bandung lebih dari 20 kendaraan, sementara ke Garut hanya 2 kendaraan saja. Hal ini menunjukan bahwa mobilisasi ke Bandung lebih tinggi. Belakangan ini sudah dibuka trayek angkutan Caringin/Rancabuaya-Soreang/Bandung.

Dalam kepemilikan kendaraan bermotor (motor & mobil), masyarakat garsel hampir 90% bernomor polisi ‘D’ artinya kendaraan tersebut dibeli dari Kab. Bandung, sehingga Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tersebut masuk dan menjadi sumber PAD Kab. Bandung bukan Kab. Garut.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas telah menunjukan bahwa masyarakat garsel, terutama yang ada di Kec. Cisewu, Caringin dan Talegong dalam aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya, urbanisasi, politik dan transportasi telah bergantung ke Kab. Bandung. Kondisi ini jelas akan semakin baik dan akan lebih cepat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat garsel jika dilegitimasi dengan proses penggabungan wilayah. Dimana secara administratif, de jure dan de facto ketiga wilayah tersebut resmi menjadi wilayah depinitif Kab. Bandung.

Meski dukungan terhadap rencana penggabungan tiga kecamatan di garsel ke Kab. Bandung sudah kuat, tetapi tetap saja proses penggabungan itu memerlukan usaha dan kerja keras serta kebersamaan.

TINJAU ULANG PEMEKARAN GARUT SELATAN

Kabupaten Garut memiliki luas wilayah 3.066,88 KM2, terdiri dari 42 Kecamatan, 424 Desa dan Kelurahan, juga 4.000 Rukun Warga dan 13.051 Rukun Tetangga. Berdasarkan BPS tahun 2007, jumlah penduduk Kab. Garut sebanyak 2.309.773 jiwa dengan jumlah pencari kerja 24.223 orang, adapun jumlah pengangguran terbuka adalah 49.829 jiwa.
Berdasarkan data itulah, elit-elit pro-pemekaran memandang penting agar Kab. Garut dimekarkan menjadi 2 atau 3 kabupaten baru, mengingat wilayah terlalu luas dan jumlah kecamatan atau desa/kelurahan terlalu gemuk. Padahal, luas geografis ataupun banyaknya kecamatan dan desa/kelurahan, bukanlah satu-satunya alasan untuk memekarkan suatu daerah, tapi yang lebih penting adalah ketersediaan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sumber daya manusia dan insfrastruktur yang harus terukur sehingga dengan pemekaran akan membawa dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Berhasil dan tidaknya sebuah proses pemekaran dapat dilihat dari indikator kemajuan daerah bersangkutan. Pertama, aspek ekonomi daerah. Apakah dengan pemekaran akan berdampak terhadap peningkatan perekonomian masyarakat yang ujung-ujungnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, pelayanan publik (public service delivery). Apakah pelayanan publik semakin baik jika dibandingkan sebelum pemekaran. Ketiga, pembangunan demokrasi politik. Sejauhmana perubahan peran serta masyarakat dalam berdemokrasi dan berpolitik.

Keberhasilan dari satu daerah yang dimekarkan tidak terlepas dari apa yang dimiliki oleh daerah bersangkutan sebagai sumber pendapatan asli daerahnya. Bagaimanapun, PAD akan menjadi faktor penentu kemajuan daerah hasil pemekaran. Maju dan tidaknya sebuah daerah baru dapat dilihat dari sebesar apa PAD yang dimilikinya. Daerah pemekaran tidak bisa hanya terpaku pada Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK) yang bersumber dari APBN, tetapi harus bisa hidup dan mandiri dari PAD yang dimilikinya. Lantas dari mana sumber PAD Garut Selatan?

Secara kasat mata PAD Garsel hanya bersumber dari sektor agraris. Garsel diisukan memiliki potensi besar di sektor pertambangan, seperti bijih besi, pasir besi, timah, bahkan emas. Namun hingga saat ini belum ada satu pun perusahaan yang mampu melakukan eksplorasi/eksploitasi terhadap potensi alam tersebut. Impian Garut Selatan bisa maju dan berkembang dari industri pertambangan, masih diragukan karena hingga saat ini belum bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya, apalagi mampu menyerap ribuan tenaga kerja.

Selain daerah agraris, Garsel bisa dikembangkan menjadi daerah perkebunan rakyat, mengingat banyak lahan tidur yang belum dimanfaatkan secara produktif. Selain itu Garsel kaya akan khasanah bahari yang bisa dikembangkan sebagai daerah wisata dan penghasil ikan laut ataupun tambak. Akan tetapi, kondisi Garsel saat ini terhambat oleh keterbatasan dan ketersediaan insfrastruktur. Jalan kabupaten atau jalan arteri, secara umum dalam keadaan rusak. Bahkan masih banyak daerah di Garsel yang terisolir karena belum tersedia akses jalan, hal serupa terjadi dalam masalah penerangan/listrik. Banyak warga desa di Garsel masih menggunakan lampu “cempor” sebagai alat penerangan.

Kekurangan lain yang sangat vital dan menonjol terlihat pada kurangnya pusat pelayanan publik, seperti pusat perkantoran pemerintah, perbank-kan (mayoritas BPR dalam kondisi buruk, bahkan banyak yang bangkrut), sarana pendidikan (terutama pendidikan tinggi), sarana kesehatan (rumah sakit tipe C di Pameungpeuk belum bisa digunakan bahkan sudah mulai rusak, rata-rata tiap kecamatan hanya memiliki puskesmas biasa bukan DTP), belum ada pusat perekonomian baik pasar tradisional maupun pasar moderen, serta terbatasnya tempat wisata, hiburan & rekreasi.

Melihat fakta di lapangan, maka bagi pihak yang bersemangat untuk memekarkan Garsel, sepantasnya kembali meninjau ulang rencana pemekaran tersebut, bagaimanapun semangat pemekaran jangan sampai mengorbankan masyarakat luas ke jurang kemiskinan dan kesengsaraan yang lebih parah. Mari kita bersama-sama dengan kelegowoan dan kearifan untuk menunda pemekaran Garsel sampai semua persyaratan kelayakan terpenuhi dan semua pihak telah siap hidup di daerah otonomi baru.

Kita harus sepakat bahwa gairah untuk memekarkan daerah sudah saatnya harus dihentikan. Banyak daerah yang dimekarkan ternyata kemudian menjadi daerah otonom yang membawa sengsara. Itulah pemekaran yang justru memperluas dan menambah parah kemiskinan rakyat. Pangkalnya karena pemekaran daerah cenderung berbasiskan kepentingan sempit, bahkan dari perspektif kebangsaan mundur jauh ke belakang. Mundur, sebab sangat kuat diwarnai kepentingan primordialisme. Sesungguhnya yang sedang terjadi adalah gairah memekarkan dengan tujuan yang kontradiktif, yaitu ingin menyempitkan daerah sehingga menjadi teritorial otonomi primordialisme tertentu.

PERCEPATAN PEMBANGUNAN, TAK HARUS MELALUI PEMEKARAN

Memang betul bahwa peluang pemekaran dimungkinkan oleh UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Namun aturan ini tidak dibuat dengan kesadaran betapa niat pemekaran tak selalu lurus. Pengalaman banyak daerah menunjukkan nilai tambah lebih dirasakan elit yang mendapat jabatan-jabatan baru. Lalu, solusi apa yang bisa dilakukan? Mengacu pada kelemahan daerah induk yang relatif gagal melakukan pemerataan.

Pertama, maka perlu menyusun kebijakan yang berpihak ke daerah pinggir. APBD selalu disahkan oleh DPRD. Anggota DPRD yang berkepentingan harus lebih ngotot memperjuangkan kepentingan daerahnya. Maka kalau ada ketimpangan anggaran yang patut dipertanyakan adalah sejauh mana kontribusi legislator benar-benar mewakili konstituennya dalam menyusun APBD. Kebijakan yang berpihak ini juga bisa dikawal dengan rencana strategis jangka menengah dan jangka panjang.

Kedua, perlu harmonisasi dalam hal kewenangan yang dimiliki provinsi dengan kabupaten dan kota. Ini hal yang sering dipandang sepele namun sensitif. Sebagai contoh kecil di banyak provinsi masih mengeluarkan izin bagi praktek bidan. Ini aneh karena izin praktek dokter malah sudah dikeluarkan kabupaten dan kota. Contoh lain, ada kabupaten yang mengeluarkan izin pendirian SPBU, padahal provinsi juga membuat aturan yang sama. Jadi tak usah heran jika ada SPBU yang mengantongi izin dari provinsi dan ada pula yang dapat dari pemerintah kabupaten.

Ketiga, Gorontalo patut menjadi positive deviant. Pertumbuhan ekonomi selalu di atas 6% yang berarti di atas angka pertumbuhan nasional. Kuncinya adalah inovasi yang dilakukan pimpinan daerah. Dan ini patut jadi contoh tak hanya bagi daerah yang sudah dimekarkan, namun juga bagi daerah yang berniat untuk memekarkan diri. Artinya, mau daerah itu dimekarkan atau tidak, dengan pimpinan daerah yang kuat, inovatif dan tidak korup, maka daerah itu bakal lekas berkembang. Demikian juga sebaliknya. Mau dimekarkan seperti apapun, jika pimpinan daerahnya berbuat biasa-biasa saja, maka jangan harap daerah bisa tumbuh. Maka, penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah yang mampu menjawab tantangan ini.

DAMPAK PEMEKARAN DAERAH

Dampak dari pemekaran daerah ini adalah, jumlah pemerintah daerah baru di Indonesia berkembang sangat fantastis dan cenderung ‘berlebihan’. Tulisan ini akan mengungkapkan lebih jauh dampak pemekaran pemerintah daerah ini terhadap beban APBN.

Berapa jumlah provinsi di Indonesia? Dahulu, pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab yaitu 27 provinsi termasuk Timor Timur. Namun, sejak adanya UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, makin sulit untuk menjawab pertanyaan tadi. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat bingung dengan pesatnya peningkatan jumlah pemerintah daerah baru. Pada 2001, kabupaten/kota di Indonesia berjumlah 336 (di luar DKI Jakarta) dengan 30 provinsi (bertambah empat provinsi baru). Jumlah ini meningkat hingga awal 2004 terdapat 32 provinsi dengan 434 kabupaten/kota.

Tak dapat dimungkiri bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan tekanan terhadap APBN karena adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerintah pusat untuk membuat kriteria yang jelas dan tegas dalam menyetujui pemekaran pemerintah daerah baru.
Berhubungan dengan kriteria tersebut, pemerintahan Presiden Gus Dur pada akhir 2000 telah mengeluarkan PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa daerah dapat dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat antara lain: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Namun, kriteria tersebut dirasakan kurang bersifat operasional misalnya dalam bentuk standardisasi berapa besar nilai setiap indikator, sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan. Selain itu, prosedur pemekaran berdasarkan hasil penelitian oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut, mengandung potensi yang besar pula untuk suatu ‘tindakan manipulasi’.

Sudah menjadi rahasia umum, dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan timbul posisi dan jabatan baru. Dan ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini tentunya tidak terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah.

APBN DAN TRANSFER

Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam.

Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.
Akan tetapi, hal ini menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai.

Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada masyarakat. Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit.

Pada 2003, daerah hasil pemekaran 2002 sebanyak 22 kabupaten/kota baru telah menerima DAU Rp. 1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp. 2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini tentunya juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga memiliki potensi yang besar pula terjadinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban APBN bertambah dengan adanya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran ini.

Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemerintah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk DAK nondana reboisasi. Salah satu jenis dari DAK non-DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana pemerintahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp. 88 miliar hanya untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau setiap daerah pemekaran akan mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar.

Jumlah itu terus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp. 228 miliar. Terlihat jelas bahwa setiap ada pemekaran daerah, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah provinsi. Fakta telah menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota di provinsi baru tersebut.

Penjelasan singkat di atas mengembalikan kita kepada konsep dasar dalam ilmu ekonomi, yaitu opportunity cost. Jelas, bahwa adanya pemekaran telah menimbulkan opportunity cost yang sangat besar pada penyediaan infrastruktur dan pelayanan kepada masyarakat. Kita semua menyadari bahwa pembangunan di daerah bukanlah pembangunan aparat pemerintah daerah, melainkan merupakan pembangunan masyarakat daerah secara keseluruhan.

Pemerintah pusat perlu mengambil tindakan segera untuk menghentikan tuntutan pemekaran daerah yang sangat tidak terkendali ini. Jika pemekaran daerah tidak didasarkan pada kriteria yang tegas dan terukur, maka kondisi hanya menciptakan komoditas dagangan politik belaka. Sudah saatnya pemerintahan di Indonesia mengalokasikan dananya yang sangat terbatas tersebut kepada sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan peningkatan standar kehidupan masyarakat.

Wakil Ketua MPR-RI, A.M. Fatwa mcnyambut baik dan mendukung ajakan Presiden untuk bersama-sama antara Pemerintah, DPR dan DPD melakukan evaluasi terhadap daerah otonomi baru untuk mengetahui manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Hasil kajian tersebut juga dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya mengenai perlu tidak dilakukan pemekaran suatu wilayah.

Pemekaran wilayah baru, menurut Fatwa memang harus dikaji kembali dari berbagai aspek. Kalau pemekaran wilayah itu memang memenuhi persyaratan yang diatur perundangan yang ada dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat wilayah tersebut, bisa saja dilakukan. Yang penting jangan sampai pemekaran wilayah dilakukan hanya karena untuk memenuhi tuntutan para elit politik yang haus akan kekuasan semata. Untuk itu tentunya persyaratan yang ketat dapat saja diterapkan agar tidak terjadi pemborosan keuangan negara

Menurut A.M Fatwa, seyogyanya DPD dapat saja mengambil prakarsa pembuatan aturan tentang pembentukan, pemekaran, dan gabungan wilayah. Hal ini sangat diperlukan sebagai acuan agar keinginan pemekaran wilayah memiliki parameter-parameter yang jelas dan sebagai ukuran menilai tingkat kinerja bagi daerah yang dimekarkan. Dengan adanya aturan perundangan, keinginan pemekaran suatu wilayah tidak dapat di dasarkan pada tuntutan para elit politik, tetapi dilihat prospeknya bagi kemaslahatan rakyat dan untuk mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PEMEKARAN GARSEL VERSUS SEMANGAT MORATORIUM

Aksi kekerasan di Sumatera Utara yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat (3/1) merupakan momentum untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru. Moratorium atau penghentian itu diperlukan untuk membenahi rancangan dasar kebijakan pemekaran daerah yang selama ini telah melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik.

Peristiwa unjuk rasa rusuh yang berujung kematian tersebut terkait desakan pendukung bakal Provinsi Tapanuli terhadap DPRD agar segera mengeluarkan rekomendasi pemekaran, membuat miris semua pihak. Betapa upaya pemekaran wilayah yang niatnya untuk kepentingan rakyat agar lebih sejahtera namun diperjuangkan dengan cara kasar.
Dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, menyimpulkan pemerintah mesti secepatnya mengevaluasi daerah otonomi baru dan sekaligus menyiapkan kerangka besar sebagai panduan pemekaran wilayah. Mardiyanto menyebutkan, kerangka pemekaran itu masih dipersiapkan. Sampai dengan 2025, jumlah provinsi di Indonesia diprediksi bisa mencapai 40 provinsi.

Sebaiknya pemerintah jangan menunda pembentukan daerah baru. Setelah pemilihan legislatif dan presiden, jangan dibuka lagi kesempatan untuk mengajukan proposal pemekaran daerah. Jika hanya ditunda, masyarakat di daerah akan melihat ada peluang untuk memperjuangkan pemekaran daerah. Pemerintah harus bisa lebih tegas. Kalau tidak, tuntutan dari bawah akan menguat terus dan pemerintah tidak akan mampu menghadang. Hadangan selalu jebol seperti pengalaman selama ini.

Dengan kejadian di Medan itu, DPR dan pemerintah harus berani mengambil keputusan politik menetapkan moratorium. Tingginya konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh lemahnya kontrol pemerintah pusat dan luasnya partisipasi masyarakat terhadap pemekaran daerah. Hal ini terlihat dari persiapan dan uji kelayakan yang lebih banyak diserahkan kepada masyarakat. Akibatnya, kebijakan ini pun menjadi sangat mudah dimanfaatkan dan dimanipulasi.

Mudahnya pengajuan aspirasi pemekaran wilayah membuat banyak pihak berlomba-lomba memanfaatkannya dengan tujuan mencari keuntungan. Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, yaitu untuk mengembangkan daerah, menjadi celah untuk mencari keuntungan. Setiap kali pemerintahan daerah wilayah baru terbentuk, dana alokasi umum dari pusat akan langsung mengalir meski dalam perjalannya rentan diselewengkan.

Menurut peneliti otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, dan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, pertimbangan politik masih menjadi acuan utama pemekaran sebuah wilayah otonom. Kerangka normatif yang menjadi prasyarat pembentukan daerah otonom baru justru terabaikan.

Kriteria pemekaran dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran. Namun, aturan itu tidak berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi. Semua kriteria yang sudah terukur jelas menjadi kabur ketika prosesnya menjadi sangat politis. Dalam nuansa politik yang kental itu, uang menjadi faktor dominan.

Kuatnya politisasi dalam pemekaran daerah membuat tujuan pemekaran untuk menciptakan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tak terperhatikan. Pemekaran daerah seharusnya memerhatikan kondisi bangsa yang masih dalam kondisi transisi, dalam politik maupun ekonomi. Karena itu, kemampuan keuangan negara yang lemah harus menjadi faktor utama membentuk daerah otonom baru.

Sejak tahun 1999, otonomi daerah memang dihajatkan untuk bertumpu pada kabupaten dan kota. Namun sayang, ”kue” yang dihasilkan provinsi malah jauh lebih besar. PAD kabupaten dan kota palinglah hanya dari pajak hotel dan restoran, serta pajak galian C yang agak lumayan. Sementara provinsi mendapat PAD salah satunya pajak kendaraan bermotor yang jumlahnya sungguh besar.

Singkatnya, otonomi daerah memperbesar kewenangan tanpa memperkuat struktur keuangan kabupaten dan kota. Wajar pula lantas di banyak kabupaten kota muncul retribusi resmi maupun tak resmi yang aneh-aneh untuk mendatangkan PAD, baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) maupun Keputusan Bupati lainnya. Buntutnya daya saing daerah sebagai tujuan investasi sulit didongkrak.

Dari sini, penulis ingin menjelaskan bahwa ketimpangan sentra dan pinggir ini murni soal struktur. Ini sekaligus membantah pendapat yang menyatakan suatu daerah perlu dimekarkan dengan alasan etnis dan agama. Maka penyelesaian yang dilakukan harusnya juga bersifat struktur. Toh negara ini dibangun bukan untuk membangun sekat primordial. Jika dirunut dari masalah tadi, maka pemekaran wilayah dapat dibaca sebagai upaya instan untuk menyelesaikan masalah. Dan jalan pintas pasti selalu mahal. Hitung saja. pemekaran berarti ada lembaga-lembaga baru. Ada posisi gubernur, anggota DPRD, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang perlu diisi. Ini perlu dibiayai tidak hanya penghasilannya, tapi juga pengadaan kantor, peralatan, perlengkapan, kendaraan dinas, perjalanan dinas, kunjungan kerja, dan masih banyak lagi.

Dengan pengeluaran yang banyak tadi, maka seharusnya kemampuan daerah membiayai diri dari berbagai sektor menjadi sangat penting. Akan jadi aneh jika potensi daerah yang masih jauh dari kesiapan dijadikan bakal sumber pendapatan. Nah, perihal kemampuan daerah inilah yang tidak benar-benar jadi pertimbangan. Buktinya, hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan justru daerah baru mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.