Rabu, 30 Desember 2009

DPD Dukung Moratorium

Rabu, 30 Desember 2009 | 03:16 WIB

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah mendukung upaya moratorium pemekaran daerah. DPD juga mendukung pemerintah yang sudah tidak lagi mengajukan usulan rancangan undang-undang pembentukan provinsi/kabupaten/ kota dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014 dan RUU Prioritas 2010.

Posisi politik itu disampaikan Ketua DPD Irman Gusman (Sumatera Barat) saat menyampaikan catatan refleksi DPD menyambut tahun 2010 di Gedung DPD, Selasa (29/12). Hadir juga Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DI Yogyakarta) dan Ketua Komite III Sulistiyo (Jawa Tengah) serta Sekretaris Jenderal DPD Siti Nurbaya.

Menurut Irman, salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan publik dari pemerintah lokal dalam konteks otonomi daerah adalah pemekaran.

”Namun, jika kita melihat kinerja dari 205 daerah otonom baru, perlu dilakukan moratorium atau jeda yang bertujuan untuk menghindari usulan yang hanya memenuhi kebutuhan taktis dan pragmatis, bukan strategis,” ucapnya.

DPD berpandangan, pembentukan dan pemekaran daerah otonom baru yang tidak memenuhi persyaratan administrasi serta keuangan hanya membebani negara. Kebijakan jeda ini untuk mempertimbangkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru yang dibentuk sepuluh tahun terakhir.

Andalkan pemerintah

Meski demikian, DPD sangat mengandalkan pemerintah untuk mengambil peran besar adanya moratorium pemekaran tersebut.

”Pemerintah jangan lagi mengirim surat presiden yang menugaskan menterinya untuk membahas RUU Pemekaran,” ujar Irman.

Ketika ditanya apakah DPD tidak akan lagi mengajukan RUU Pembentukan Daerah Otonom pada masa mendatang, Irman tidak bisa memastikan itu. DPD juga masih akan ikut membahas RUU Pembentukan Daerah Otonom yang diusulkan DPR.

Menurut Irman, implementasi dukungan DPD terhadap moratorium pemekaran lebih pada bentuk sikap kehati-hatian dalam menjustifikasi RUU Pemekaran.(sut)

Senin, 28 Desember 2009

Bagai Pungguk Ketiban Bulan

Oleh Kokon Dharmawan *)

Judul : Produksi Siaran untuk Radio Komunitas
Penulis : Masduki (Adink)
Penerbit : Combine Resource Institution
Tahun : Cetakan pertama tahun 2003
Tbeal : iv + 108 halaman

"Bagaikan pungguk yang ketiban bulan," itulah sebuah ungkapan yang tepat ketika membaca buku panduan bertajuk Produksi Siaran untuk Radio Komunitas, yang disusun oleh Masduki (Adink), seorang praktisi radio yang dekat dengan gerakan pengembangan radio komunitas (rakom). Buku panduan seperti inilah yang sangat dinantikan dari dulu oleh kalangan pengelola rakom.

Pentingnya buku panduan untuk pengelola radio komunitas didasarkan pada fakta tentang masih terbilang barunya kiprah rakom di kancah dunia penyiaran. Realitanya, masih banyak pengelola rakom yang belum bisa menata dan mengatur dirinya dalam mengemban perannya sebagai radio milik warga yang harus mampu memberikan segala akses informasi kepada warga tersebut.

Lewat bahasanya yang lugas dan tidak bertele-tele, buku ini telah banyak menjawab beberapa masalah di atas. Melalui alur penulisannya yang runtut, isi buku ini menjelaskan bagaimana sebuah rakom dapat berperan aktif dalam komunitasnya. Dimulai dari tahap perencanaan pembuatan radio, proses pembuatan radio, peran dan fungsi radio.

Selain itu juga tentang tata kelola rakom, maupun proses kegiatan penyiaran rakom, seperti bagaimana proses mencari informasi: wawancara, investigasi, dan liputan langsung; mengolah informasi: pengumpulan berita, editing; dan menyampaikan kembali informasi tersebut kepada komunitas sasarannya; semuanya telah dijelaskan dengan gamblang. Bahkan, buku ini juga membahas tentang apa itu radio jika dilihat dari segi kelebihan dan kelemahannya jika dibandingkan dengan media lain.

Gambar-gambar ilustrasi yang mengisi buku ini, ikut mempertajam makna dialog dan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan tulisan yang pendek, ditambah dengan ilustrasi yang tepat dan bentuk tuturan dialog yang sederhana, membuat pembaca semakin mengerti maksud dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.

Misalnya, ilustrasi orang yang sedang bersiaran di studio beserta alat-alat siarannya, atau orang yang sedang melakukan wawancara di lapangan beserta narasumbernya, telah menarik imajinasi pembaca untuk melihat sebuah realita keseharian mereka yang biasa dilakukannya. Yang pasti, segala realita keseharian dan kegiatan maupun perilaku mereka selaku insan radio dapat tergambarkan dengan jelas pada isi buku ini.

Buku ini akan makin menarik, jika tata letaknya diatur sedemikian rupa. Ada beberapa halaman yang tata letak gambarnya atau tulisanya telah membuat mata si pembaca meloncat-loncat atau dibuat miring. Padahal hal seperti ini akan membuat si pembaca tidak nyaman dalam membaca dan menjadi cepat lelah.

Terlalu banyak ruang kosong merupakan masalah juga. Padahal halaman-halaman kosong tersebut bisa diisi dengan tulisan lain yang bisa memperjelas atau mempertajam inti pembahasan. Selain itu, bentuk tulisannya pun cukup berbeda-beda, sehingga ada bagian yang terlalu mencolok. Dengan demikian, bagian yang tidak mencolok akan terlewatkan oleh pembaca, padahal bagian itu memiliki nilai penting untuk dibaca.

Untuk memperjelas isi kandungan buku ini, alangkah lebih baiknya lagi jika dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang berisi contoh-contoh profil sebuah rakom, contoh format program siaran rakom yang telah dijalankan, atau contoh naskah berita dan contoh-contoh lainya yang bisa dijadikan sebagai bahan kajian dan perbandingan oleh para pengelola rakom. Karena dengan contoh seperti itu, akan makin mempertajam dan memperjelas pemahaman pembaca. Walau demikian, buku ini telah mampu memberi konstribusi sangat besar bagi perjalanan dan proses berlangsungnya kehidupan sebuah rakom.

*) Fasilitator dan Pegiat Radio Komunitas RASI FM Cisewu, Garut, ]awa Barat

Irianto MS Syafiudin Mampu Membawa Perubahan di Tubuh Golkar Jabar

Rabu, 02 Desember 2009 14:08

PRO3RRI - Bandung:: Dengan terpilihnya Irianto MS Syafiudin alias Yance sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat periode 2009-2014,diharapkan dapat membawa perubahan di tubuh partai Golkar bangkit dari keterpurukan meskipun cukup berat tantangannya

Dengan terpilihnya Irianto MS Syafiudin alias Yance sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat periode 2009-2014,diharapkan dapat membawa perubahan di tubuh partai Golkar bangkit dari keterpurukan meskipun cukup berat tantangannya dengan kondisi partai tersebut pada saat ini,karena pada 2009 Golkar di Jabar terpuruk dari perolehan kursi di DPRD Kabupaten/Kota,Propinsi maupun di tingkat pusat dalam Pemilu lalu. Menurut pengamat politik Kokon Darmawan,Yance harus berani melakukan reformasi strukturisasi artinya berani memunculkan figure-figur baru dengan ide dan gagasan baru. Figur Golkar saat ini tegas Kokon,tidak mampu mendongkrak Golkar dalam reposisi,restrukturisasi,rekonsolidasi dan reorientasi di tubuh Golkar jika Golkar ingin besar di Jawa barat.

”Intinya Yance harus berani mengambil tindakan yang controversial,saya lihat figure yang ada di Golkar Jabar bukan figure yang mampu menjual dan membesarkan Golkar dan mampu merestrukturisasi di tubuh Golkar di DPD II maupun DPD I”.

Sementara itu menurut Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Jabar Sunatra,jika melihat kinerja Irianto MS Syafiudin atau Yance,diantara Ketua Ketua DPD Partai Golkar di Kabupupaten/Kota di Indonesia,Yance merupakan sosok yang berprestasi,artinya satu-satunya Partai Golkar Kabupaten Indramayu yang naik dalam Pemilu 2009 dalam perolehan suara.

”Kalaulah ini gaya kepemimpinan pak Yance diterapkan diterapkan di wilayah Jabar bisa signifikan. Gaya komunikasi pak Yance antar pengurus cukup bagus. Yang paling bagaimana komunikasi politik diantara para pengurus menjadi kompak dan bagaimana memperjuangkan aspirasi rakyat dengan benar”.

Apabila Partai Golkar tidak mau ditinggalkan oleh rakyat,tegas Sunatra maka semua pengurus dan jajaran partai Golkar harus sekuat tenaga berjuang untuk rakyat.

Euforia Calon Perseorangan

Terbit di Kompas Jabar, Halaman D, Forum, Edisi 23 Desember 2009

Terpilihnya pasangan HM Aceng Fikri dan Dicky Candra sebagai pasangan Bupati-Wakil Bupati Garut periode 2009-2014 dari jalur perseorangan pada pemilihan umum kepala daerah (pilkada) Kabupaten Garut tahun 2008 merupakan potret baru atas proses pilkada di Jawa Barat. Pasangan ini mampu mengempaskan pasangan lain yang dicalonkan partai politik.

Kemenangan calon perseorangan tersebut mendatangkan semangat baru dan daya tarik yang luar biasa bagi para politisi, baik dari kalangan partai politik maupun perseorangan, setidaknya bagi mereka yang memiliki obsesi menduduki takhta tertinggi di daerah masing-masing melalui kontes pilkada.

Kita akan segera menyaksikan kontes pilkada di Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok pada 2010. Menyusul kemudian Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya pada awal 2011. Apakah calon perseorangan akan banyak bermunculan, atau kontes pilkada itu hanya milik calon dari partai politik?

Calon perseorangan telah mendapatkan respons luar biasa dari masyarakat. Penelitian Lembaga Studi Indonesia (2008) menunjukkan bahwa komitmen masyarakat (80 persen responden) semakin kuat terhadap demokrasi, tetapi di sisi lain kurang merespons partai politik. Artinya, masyarakat sudah merasa jemu dan bosan dengan partai politik, terlebih kultur masyarakat kita suka mencoba hal-hal yang bersifat baru, termasuk calon perseorangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007 telah membuka kesempatan bagi calon perseorangan untuk maju dalam kontes pilkada. Wajar saja jika ada yang berpendapat bahwa putusan MK tentang calon perseorangan merupakan peringatan bagi partai politik. Itu menunjukkan bahwa kredibilitas partai politik sudah jauh merosot.

Namun, anggapan itu sesungguhnya tidaklah sepenuhnya benar. Penggiat partai politik pun selayaknya tidak menanggapi secara berlebihan atau "kebakaran jenggot" karena logikanya, calon perseorangan, bila dibandingkan dengan sekelompok orang, tentunya akan berlaku peribahasa ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Artinya, kemungkinan menangnya perseorangan jauh lebih kecil dibandingkan dengan sekelompok orang yang bargabung dalam sistem partai politik, yang mana jaringan dan kekuatan mekanisme organisasi akan sangat berperan. Hanya, jika fungsi partai politik tidak berjalan dengan benar, calon perseorangan kemungkinan memiliki peluang paling besar memenangi perhelatan pilkada.

Introspeksi, pembenahan, perbaikan, dan pelayanan yang terbaik oleh partai politik terhadap konstituennya yang notabene adalah rakyat harus lebih ditingkatkan. Ego dan eksklusivitas komunitas partai politik sudah saatnya dibaurkan pada kepentingan rakyat, bukan dibalik, yang mana rakyat harus membaur dan harus mengerti kepentingan partai politik.

Jika ditelisik lebih mendalam, calon perseorangan lebih melekat dengan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari proses awal pencalonannya yang harus mendapatkan dukungan langsung dari masyarakat yang tecermin dari bentuk surat pernyataan dukungan dan fotokopi kartu tanda penduduk. Di lain pihak, calon perseorangan dalam menentukan tim suksesnya ditentukan oleh calon sendiri tanpa intervensi pihak lain. Berbagai tantangan

Berbeda dengan posisi partai politik, yang mana partai politik merupakan kendaraan dan pintu bagi semua calon yang akan ikut dalam pilkada. Dukungan tecermin dari jumlah kursi partai politik bersangkutan di DPRD meski hal itu tidak menjadi jaminan sukses dalam pilkada. Maklum, dalam pilkada faktor figur menentukan. Partai politik memiliki insfrastruktur hingga tingkat kecamatan dan desa. Tim pemenangan pilkada ditentukan partai politik.

Partai politik menghadapi persoalan saat masyarakat sudah apatis dan jenuh dengan partai politik. Partai politik besar pun tidak menjamin menjadi pemenang dalam pilkada. Calon dari partai politik harus melalui tahapan konvensi atau setidak-tidaknya rapat pimpinan dalam partai politik bersangkutan dan harus mendapatkan restu dari pengurus provinsi dan pengurus pusat.

Antara calon perseorangan dan calon dari partai politik masing-masing dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama menyangkut dana dan infrastruktur. Calon perseorangan membutuhkan biaya besar untuk pengumpulan dukungan masyarakat. Misalnya, jika hak pilih di Kabupaten Bandung dalam pilkada 2010 mencapai 2,5 juta orang, pasangan calon perseorangan membutuhkan dukungan minimal sekitar 75.000 orang (3 persen).

Jumlah ini akan berkaitan dengan biaya pengumpulan dukungan. Selain itu, akan muncul juga banyak pihak yang memberikan dukungan terhadap calon perseorangan, dengan konsekuensi membengkaknya beban keuangan bagi biaya operasional mereka. Calon perseorangan juga memerlukan penguatan jaringan infrastruktur hingga ke desa.

Adapun calon dari partai politik akan membutuhkan biaya besar dalam proses konvensi (penggalangan dukungan) dari kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Bagi calon yang bukan kader, akan ada istilah "membeli partai" yang biasanya didasarkan pada jumlah kursi di DPRD atau tergantung komitmen antara calon dan elite partai politik bersangkutan. Calon pun membutuhkan biaya besar dalam proses kampanye karena tim pemenangan akan meliputi tim kampanye internal calon dan tim kampanye yang dibentuk partai politik pengusung calon (double budgeting).

Kehadiran calon perseorangan dalam kontes pilkada semakin hari semakin membumi. Hampir setiap pilkada di kabupaten/kota selalu diikuti calon perseorangan. Namun, keputusan akhir ada pada nurani masyarakat yang akan memilih. Bagaimanapun, faktor figur akan lebih utama dibandingkan dengan kendaraan pengusungnya. Semoga masyarakat tidak salah memilih.

KOKON DARMAWAN, Pemerhati Sosial dan Politik