Rabu, 21 Oktober 2009

KELINDAN POLITIK

Pertarungan sengit dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar memperebutkan kursi ketua umum pekan lalu—yang sepi dari bursa ide besar, tetapi riuh dengan berita politik uang—telah dimenangi oleh Aburizal Bakrie.

Secara terbuka bagi-bagi uang diakui dan disesalkan beberapa tokoh Golkar. Dengan demikian, harapan Munas Golkar menciptakan spirit, gairah, vitalitas, karakter, dan psike para kader untuk mengubah medan politik sebagai perjuangan telah pupus.

Pusaran arus pragmatisme telah semakin menyedot Golkar dalam turbulensi yang dapat memorakporandakan nilai dan pilar-pilar perjuangan Golkar. Kenikmatan kekuasaan telah menjadi pilihan Golkar yang dapat menjadi titian menuju kematian politik.

Proses itu semakin gamblang karena sang pemenang segera mengunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang oleh banyak kalangan diduga menegaskan keinginannya agar Golkar menjadi bagian dari pemerintahan SBY.

Panggung Munas Golkar telah semakin memperkuat persepsi publik bahwa ranah politik adalah ajang lelang kekuasaan dan wilayah di mana kepentingan apa pun dapat dijadikan transaksi. Inilah lahan subur bagi para politisi melakukan petualangan, baik untuk memanipulasi kekuasaan, mencari proteksi, menghapus sejarah kelam masa lalu, maupun membangun citra.

Koalisi partai politik yang seharusnya ditujukan untuk mengompromikan kebijakan untuk rakyat menjadi sekadar kelindan politik berupa jalinan kepentingan saling mengamankan interes subyektif masing-masing.

Semula, niat SBY mengakomodasi Golkar dianggap strategis agar koalisi pemerintahannya lebih plural dan lebih akseptabel. Mengharapkan dukungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) agak sulit karena hampir lima tahun PDI-P selalu menegaskan sebagai partai oposisi. Hanya kalkulasi pragmatislah yang akhirnya membuat PDI-P melunak sehingga atas dukungan Partai Demokrat, Taufik Kiemas mulus menjadi Ketua MPR. Praktis, PDI-P menjadi pendukung pemerintahan SBY.

Namun, menyaksikan perkembangan Golkar pascamunas, niat untuk mengakomodasi Golkar dalam pemerintahannya tampaknya kurang menguntungkan SBY.

Citra SBY akan terpuruk kalau pemerintahannya hanya dijadikan tempat perlindungan politik atau tempat pembersihan nama tokoh-tokoh Golkar yang pernah terkena atau terimbas berbagai kasus kontroversi, seperti Lapindo, Bank Bali, penyelundupan gula impor, dan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom.

Selain itu, Golkar akan disibukkan dengan potensi eksodusnya tokoh-tokoh andal Golkar yang merasa disingkirkan. Rasa sakit hati semakin menumpuk atas pengangkatan Rizal Mallarangeng, yang secara sengit menghantam habis-habisan tokoh Golkar dalam Pemilu 2009, tiba-tiba menjadi salah satu ketua Partai Golkar.

Cermat

Oleh sebab itu, kemenangan simbolik SBY berupa lebih dari 60 persen dukungan rakyat dan dukungan politik di parlemen lebih dari 50 persen seyogianya membuat SBY lebih cermat dalam mempertimbangkan apakah mengakomodasi Golkar dalam pemerintahannya akan memberikan berkah atau justru menyebabkan musibah.

Sementara itu, harapan Golkar dapat meraih kemenangan signifikan dalam Pemilu 2014 berkat berkelindan dengan SBY juga sangat diragukan. Dalam lima tahun ke depan, SBY masih merupakan tokoh sentral yang tidak dapat dikalahkan siapa pun. Pesona SBY akan dimanfaatkan oleh Partai Demokrat habis-habisan untuk memenangi pemilu 2014.

Secara bertahap, SBY tentu tidak mau kehilangan momentum mentransformasikan karisma dan daya pesonanya untuk menjadikan Partai Demokrat sebagai institusi politik yang andal. Ia tidak akan mewariskan Demokrat hanya sekadar sebagai fans club-nya SBY.

Mimpi

Oleh sebab itu, harapan Aburizal akan memetik keuntungan sebagai partai penguasa yang dapat mendongkrak perolehan Golkar dalam Pemilu 2014 hanya mimpi di siang hari bolong. Bahkan, tidak mustahil Demokrat akan menyedot kader-kader andal yang ditinggalkan oleh Aburizal pasca-Munas Golkar.

Adapun keberadaan Akbar Tandjung, tokoh yang pernah menyelamatkan Golkar dalam Pemilu 1999, diragukan apakah masih memiliki kemampuan mengontrol praktik pragmatisme yang sudah sangat akut.

Oleh sebab itu, sebaiknya Aburizal belajar dari pengalaman Golkar lima tahun lalu. Menjadi bagian kekuasaan tidak otomatis mempunyai peluang meraih kemenangan dalam pemilu.

Lebih baik Golkar tetap berada di luar kekuasaan dan secara bertahap melakukan konsolidasi ideologi, wawasan, dan organisasi.

Pemberantasan korupsi

Agenda lain yang harus dilakukan Golkar agar dapat merebut kembali kredibilitasnya, selain melalui kaderisasi yang benar, adalah Golkar harus memelopori pemberantasan korupsi politik dengan cara memprakarsai dan mengawal penyusunan regulasi yang mewajibkan parpol membuka akses publik terhadap keuangan parpol yang transparan dan akuntabel.

Persyaratan mendirikan parpol juga harus disertai kewajiban parpol mempunyai pelapor yang memenuhi standar sehingga dapat diaudit oleh akuntan publik.

Sanksi yang jelas harus diberikan kepada parpol yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan demikian, Golkar, mela- lui asketisme (mesu budi) politik, akan men- jadi parpol yang tangguh, modern, dan beradab. (Oleh J KRISTIADI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar