Rabu, 21 Oktober 2009

OPOSISI MASYARAKAT SIPIL

Pasca-Pemilu 2009, kita dihadapkan kontestasi politik yang baru pertama kali tercipta pada era reformasi dan mengingatkan kita pada era Orde Baru: semua partai politik besar dalam barisan koalisi yang mendukung pemerintah.

Seberapa solid koalisi ini dan seberapa akomodatif mereka terhadap kemauan politik pemerintah? Kita belum tahu.

Namun, dapat dipastikan parpol yang terlibat koalisi terikat kontrak politik untuk mendukung stabilitas dan kontinuitas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Konflik kepentingan dan pragmatisme politik menjadi keniscayaan saat mereka menjalankan imperatif pengawasan dan regulasi perundang-undangan di DPR. Tanpa oposisi signifikan, sulit mengharapkan unsur-unsur DPR secara konsisten berkata ”tidak” terhadap RUU-RUU inisiatif pemerintah yang katakanlah bertentangan dengan prinsip demokrasi dan pemerintahan yang bersih.

Perubahan pendekatan

Dalam konteks ini, benar sinyalemen bahwa fungsi oposisi dalam lima tahun ke depan akan lebih banyak diperankan kelompok masyarakat sipil dan pers. Jika oposisi dipahami sebagai kelompok penekan, oposisi sejauh ini sudah dijalankan masyarakat sipil dan pers. Namun, kontestasi politik terbaru membutuhkan respons lebih sistematis dan signifikan. Jika advokasi masyarakat sipil sejauh ini cukup terbantu dengan anggota DPR yang mampu bersikap kritis terhadap pemerintah misalnya, apa yang harus dilakukan jika variabel ini kian melemah?

Pendekatan konvensional dalam advokasi kebijakan tidak mencukupi lagi. Sekadar menyampaikan aspirasi melalui audiensi resmi ke DPR jelas tidak memadai. Pengalaman menunjukkan, aspirasi masyarakat belum tentu ditindaklanjuti dan pimpinan DPR juga pintar memanfaatkan audiensi masyarakat untuk mencitrakan diri sebagai legislator terbuka dan aspiratif.

Masyarakat sipil juga perlu mengubah pendekatan lobi yang selama ini terfokus unsur DPR. Ke depan, lobi politik tampaknya lebih mendesak untuk unsur pemerintah. DPR memang lebih terbuka terhadap masyarakat sipil. Namun, fakta politik menunjukkan, pemerintah akan lebih determinan dalam legislasi. Usul inisiatif perundang-undangan akan lebih banyak dari pemerintah. Maka, asistensi materi, dialog, harmonisasi persepsi dengan pemerintah harus mendapat prioritas memadai.

Menyelenggarakan seri seminar, dialog publik, konferensi pers tetap dibutuhkan. Untuk menulis berita, media tidak sekadar membutuhkan informasi, tetapi juga news peg. Kampanye publik harus dilanjutkan dengan aktivitas lobi guna memastikan opini publik yang tercipta secara signifikan memengaruhi sikap para pengambil kebijakan. Perlu juga terobosan agar kegiatan kampanye publik tidak menjadi rutin dan membosankan, serta mampu melibatkan segmen yang lebih beragam: organ parpol, organisasi kepemudaan, asosiasi profesi, unsur mahasiswa.

Imparsialitas media

Efektivitas advokasi masyarakat sipil amat tergantung dukungan pers. Untuk mengegolkan sebuah kebijakan, pemerintah mempunyai kekuatan uang dan lobi. Uang menjadi faktor determinan dalam legislasi undang-undang. Sementara masyarakat sipil praktis amat tergantung kekuatan simbolik: opini publik terbangun melalui media. Pertanyaannya, apakah pers menempatkan diri sebagai pihak yang imparsial dan netral terhadap semua kelompok atau sebagai bagian integral gerakan masyarakat sipil untuk demokratisasi? Dilema ini sedang dialami pers Indonesia.

Pada awal reformasi, pers Indonesia menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan masyarakat sipil. Suara pers adalah suara masyarakat sipil, kegelisahan media adalah kegelisahan lembaga swadaya masyarakat. Namun, belakangan kondisi mulai bergeser. Pers Indonesia berusaha imparsial dan menjaga jarak terhadap semua pihak. Pers lebih berperan sebagai konsumen informasi, isu, fakta sosial yang dilontarkan semua pihak.

Meski pers tetap relatif dekat masyarakat sipil, perlu kerja keras untuk meyakinkan pers agar memberi perhatian ekstra terhadap aneka masalah yang dianggap masyarakat mendesak.

Imparsialitas media harus ditegakkan. Namun, hal ini mengandaikan demokratisasi sudah berjalan ”normal”, pelembagaan kebebasan informasi dan pers telah mengalami penegakan. Masalahnya, dari berbagai segi, demokratisasi masih jauh dari kondisi normal, bahkan mengalami anomali. Indonesia hingga 2009 masih berkutat dengan birokrasi yang korup, DPR yang rentan terhadap penguasaan pemerintah, pemerintah angin-anginan memberantas korupsi. Pemerintah juga masih berambisi merepresi kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi sebagaimana tecermin dalam RUU Rahasia Negara, UU ITE, UU Pornografi, RUU Pers.

Dalam situasi anomali seperti ini, ”imparsialitas” media perlu dikaji ulang. Dukungan media praktis adalah modal terbesar masyarakat sipil guna mengimbangi determinasi uang dan lobi struktural dalam konteks legislasi undang-undang. Kita membutuhkan peran pers sebagai instrumen gerakan demokratisasi, sebagai bagian integral gerakan masyarakat sipil. Imparsialitas dan profesionalisme media harus selalu diletakkan dalam konteks keberpihakan terhadap gerakan demokratisasi dan pemerintahan yang baik.

Agus Sudibyo Pegiat Koalisi untuk Kebebasan Informasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar